Wajah-Wajah Iblis


SUKRON, Meletakan buku kumpulan cerita pendek yang hampir seminggu di bacanya. Ia pandangi sampul buku bergambar iblis yang di paku kepalanya itu dengan perasaan ketakutan yang luar biasa. Ia merasakan hari – hari esok adalah hari yang penuh keganasan. Apalagi kalau ingat kejadian beruntun dalam seminggu ini. Sewaktu Ia membersihkan sanggar, tiba-tiba Ia di datangi tiga orang berperawakan besar dan berambut gondrong, mengancam akan membunuh bila tidak mau melepas jabatannya sebagai ketua Paguyubn Seni Rakyat (PSR).
Saat itu Ia berpikir hanya gertakan saja, tetapi dua hari berselang Ia mendapati sekretariat sanggar berantakan dan seluruh isinya mabul-mabul bahkan foto –foto yang ada gambarnya di sobek-sobek tanpa ampun. Kemudian Ia di panggil seluruh anggota Paguyuban Seni Rakyat (PSR), lantaran dicurigai membawa uang organisasi.

Sekarang Sukron, merasakan setiap langkah dalam menapaki hari esok mengandung aroma kematian. Kemanapun Sukron melangkah Ia selalu di buntuti wajah-wajah iblis dalam segala bentuk rupa. Rumah yang dulu sangat tentram dan nyaman untuk merebahkan badannya yang lelah kini seprti raksasa berwajah iblis yang siap mencabut nyawanya. Mata Sukron kelihatan rembes karena kurang tidur, setiap malam sepertinya ada yang menyatroni rumah kontrakannya. Sukron benar-benar dihantui ketakutan, sebab nyawanya akan dapat hilang setiap saat.

“Pak tolong saya Pak, Saya benar-benar takut. Sungguh, saya tidak mengada-ada. Saya yakin mereka adalah orang-orang suruhan yang ingin saya mundur dari ketua Paguyuban Seni Rakyat. Benar Pak, tolong saya” Sukron menuturkan pada Pak Joko mantan Paguyuban Seni Rakyat itu di rumahnya.
“Apa saya salah, kalau tidak mau melepaskan jabatan saya sebagai ketua? Saya itukan dulu dipilih secara syah oleh anggota. Bapak juga melihat sendiri pemilihannya. Makanya saya datang kesini dan saya percaya kalau Bapak dapat menyelesaikan persoalan ini.”
Pak Joko hanya tersenyum tipis dan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Sukron.
“Pak tolong saya Pak”
“Begini Mas Sukron, saya ini hanya mantan anggota. Mas Sukron juga tahu sendiri, bahwa namanya mantan anggota itu tidak bisa berbuat banyak. Paling-paling hanya memberi dorongan agar Paguyuban Seni rakyat tetap maju dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya ingin mementingkan kebutuhan pribadi. Saya kan sering ngomong dalam pertemuan-pertemuan anggota maupun pengurus. Dahulukan kepentingan organisasi dari pada kepentingan pribadi. Apalagi sampai mengambil uang organisasi.”
“Tapi, saya tidak mengambil atau memakai uang itu. Saya belum pernah sepeserpun meminta uang pada bendahara. Saya berani sumpah!”
“Saya itu hanya mendengar, kalau Mas Sukron mengambil uang organisasi.”
“Fitnah Pak, itu hanya fitnah!”
“Sudahla Mas Sukron mundur saja dan mengembalikan uang yang dipakai.”

Sukron kaget, mendengar ucapan Pak Joko. Ia merasa Pak Joko yang selama ini Ia hormati dan menjadi panutannya, berubah bagai manusia berwajah iblis yang siap menerkamnya. Sukron cepat-cepat kabur dari tempat terkutuk itu.
“Bajingan!, sompret!, ini benar-benar sudah edan” Sukron memaki dalam hati sambil terus berjalan.
“Ini organisasi apa? Setiap hari mengembar-gemborkan tentang moral, tetapi penghuninya justru tidak bermoral. Seni kita ini untuk rakyat jadi kita harus bermoral. Prek!!”

Langit kelam. Sukron menyusuri lorong-lorong kampung. Masuk Gang dan keluar Gang. Pikiran Sukron jauh menerawang menerobos kekelaman batinnya. Jalanan yang becek sudah tak digubrisnya. Ia terus berjalan masuk perkampungan belok, masuk ke Gang-gang sempit hingga tiba di sebuah rumah kecil dan bersih. Di depan rumah itu Sukron berhenti, tapi Sukron sudah mantap akan meminta bantuan pada Lastri, gadis manis yang juga mantan anggota Paguyuban Seni Rakyat.
“Ada apa Mas? Ada yang bisa saya bantu?” Ucap Lastri pelan. Setelah Sukron di persilahkan duduk di ruang tamu.
“Saya mau pinjam uang, karena saya di tuduh melarikan uang organisasi”
“Siapa yang menuduh Mas? Lastri heran
“Semua tapi kelihatannya di dukung orang-orang mantan anggota PSR. Sebab mereka menginginkan aku mundur dari ketua KSR” ucap Sukron mantap.
Lastri sejenak diam, mendengar penuturan Sukron. Lalu Lastri bangkit dari kursi.
“Ini fitnah Mas, sebab saya yakin Mas Sukron tidak mungkin mengambil uang itu. Saya tahu orang-orangnya Mas, mereka hanya ingin menggantikan posisi Mas Sukron sebab hanya dengan cara memfitnah Mas Sukron mereka mampu menyingkirkan Mas.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Saya lama kenal mereka, bahkan sebelum Mas Sukron masuk di PSR. Sudah Mas Sukron mundur saja dengan begitu masalahnya akan selesai.”
Sukron terpana mendengar penjelasan Lastri yang berapi-api itu.
“Bener juga” Pikir Sukron
“Mereka hanya menginginkan Mas Sukron mundur, setelah itu mereka akan melupakan masalah uang.”
“Kamu tahu siapa di balik semua ini?”
“Ndak usah saya sebutkan, nanti juga tahu sendiri kalau Mas Sukron sudah mundur dari ketua.”

Sukron tersenyum melangkah keluar dari rumah Lastri. Panas matahari terasa memompa setiap langkah kakinya. Ia hanya berharap segara sampai sampai ke rumahnya. Ia akan tulis surat pengunduran diri sebagai ketua Paguyuban Seni Rakyat.

Senja menggelantung. Sukron yang berjalan sedikit berlari, sampai di rumahnya. Tapi alangkah terkejutnya Sukron. Di usap kedua matannya, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Isi Rumahnya berantakan, baju buku, lemari hancur. Sukron duduk lemas diatas tempat tidur yang telah pecah. Ia pandangi seluruh sudut-sudut rumahnya yang telah porak-poranda. Hingga matanya tertuju pada secarik kertas dengan tulisan berwarna hitam. Bergegegas Sukron mengambil itu dan dibacanya pelan.
“Cepat tinggalkan kampung ini, sebelum kami bunuh!” Wajah Sukron pucat dan tubuhnya gemetar hebat. Wajah-wajah iblis itu tiba-tiba hadir di depan mukanya dan makin lama semakin banyak. Sukron menjerit dan meronta lalu ambruk
Hari demi hari di lalui Sukron dengan diam, tanpa makan dan minum hingga tubuhnya semakin kurus. Tetangga yang melihat tingkah laku Sukron, yang semakin nganeh-anehi juga bingung. Bahkan terkadang Ia melempari warga yang melewati di depan rumahnya.
Hingga puncaknya kampung itu di buat geger, karena Sukron di temukan mati mengenaskan, dengan tubuh penuh luka. Darah muncrat-muncrat keseluruh ruangan rumah yang tidak terlalu luas. Agaknya Ia mengalami sakaratul maut yang panjang. Dengan sekejab orang-orang sudah berkerumun bagai dengung lebah. Berdesak-desakan untuk melihat mayat Sukron.

Para anggota Paguyuban Seni Rakyatpun mulai curiga dan bertanya-tanya, siapa kiranya yang melakukan pekerjaan tak berprikemanusiaan itu. Kerumunan berangsur-angsur bubar ketika Pak Joko memberi komando untuk segera memandikan jenazah Sukron dan hari itu juga di makamkan.
Malam hari usai pemakaman Sukron, Pak Joko tersenyum tipis di tempat tidurnya. Ia telah selesaikan tugasnya dengan baik. Hatinya puas sebab Ia akan menggantikan ketua Paguyuban Seni Rakyat yang akan mendapat bantuan dana sepuluh juta. Ia juga teringat bagaimana tadi malam, dengan tangan gemetar, Ia ayunkan pedang membacoki tubuh Sukron.


Yogyakarta, Oktober 2002


Terompet

SUKRON, Malam jumat kliwon itu sengaja tidak keluar rumah. Rasa khawatir dan takut selalu menghantui perasaannya, karena seminggu belakangan ini, ia dicari-cari orang-orang tak di kenal dan mengancam akan membunuh. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang tak di kenal itu, terus mencarinya. Sukron, juga teringat seminggu yang lalu, saat ia akan berangkat kuliah dihadang beberapa orang dengan memakai penutup muka, mengacung-acungkan pedang persis di depan mukanya. Saat itu ia berpikir orang-orang bertopeng itu hanya salah orang. Sebab ia merasa tidak punya masalah dan tidak pernah membuat persoalan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Tetapi sejak peristiwa menakutkan itu, tiap hari ada saja yang mencarinya. Bahkan kemarin ia harus lari menyelamatkan diri, ketika orang-orang bertopeng itu, mengejarnya dan mengibas-ibaskan pedang yang diarahkan ketubuhnya.
“Benar Pak, saya tidak bohong. Orang-orang bertopeng itu, akan membunuh saya” Jelas, Sukron pada Pak RT
“Tiap hari mereka mencari saya untuk dibunuh, betul Pak, saya tidak tahu kesalahan saya.”
Pak RT hanya tersenyum, mendengar penjelasan Sukron.
“Mosok to dik, anda di kejar-kejar akan dibunuh tapi tidak tahu apa kesalahannya” Ucap, Pak RT sambil mengisap rokok
“Betul Pak, saya tidak tahu, kenapa mereka akan membunuh saya”
“Saya mohon maaf Dik, saya itu Cuma ketua RT, jadi saya tidak bisa membantu persoalan Dik Sukron. Tapi perlu Dik Sukron, ketahui kalau orang-orang bertopeng itu, mencari dan akan membunuh Dik Sukron, pasti Dik Sukron punya kesalahan dan kesalahannya itu biasanya perihal keterlibatan seseorang dalam sebuah pergerakan”
Sukron, kaget dan sekaligus ketakutan, setelah mendengar penjelasan Pak RT. Ia cepat-cepat angkat kaki dan keluar dari tempat itu, Sukron merasa Pak RT, tahu keberadaan orang-orang bertopeng yang mengejarnya. Sukron mempercepat langkah agar segera sampai kerumah, rasa was-was dan khawatir terus mengikat perasaannya. Apalagi setelah belokan jalan depan Pak RT, ia merasa ada suara langkah kaki yang membuntutinya.
Sukron terus melangkah dan akhirnya rasa takut itu, memacu langkah kakinya dan secepat kilat, ia berlari tugang langgang memasuki pekarangan rumahnya. Cepat-cepat Sukron, masuk kamar dan mengintip keluar rumah di balik gorden jendela. Sukron, terkejut dan ketakutan yang luar biasa dengan apa yang di lihatnya. Orang-orang bertopeng itu, sudah ada di halaman rumahnya. Ia sudah tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya pasrah dengan apa yang akan terjadi.
Malam terus berlalu, bulan di telan awan hitam. Tubuh Sukron, gemetar tak berdaya, sebab minta tolong ketetanggapun sudah tidak mungkin. Sukron, semakin bingung dengan apa yang akan di lakukan. Rumah yang biasanya ramai itu, malam ini seperti kuburan. Orang tua Sukron serta kedua adiknya, sudah hampir seminggu belum pulang membesuk kakek yang sakit di desa. Belum juga hilang kegelisahan Sukron, tiba-tiba…
“prang!!!” Kaca jendela kamar Sukron, pecah kena lemparan batu dari luar. Sukron berlari ke kamar orang tuanya. Belum juga ia duduk di sudut kamar.
“Prang!!! Prang!!!” kaca jendela kamar orang tuanya pecah, dan salah satu pecahannnya tepat mengenai dahinya. Darah meleleh kemukanya, ia usap darah itu lalu berlari keruang tengah. Namun pandangan Sukron, makin lama makin kabur. Seluruh barang yang ia lihat berubah menjadi dua, kursi, meja, lukisan, vas bunga, pintu, jendela. Ia mencoba melangkah ke arah kursi, tapi belum juga sampai sudah ambruk dan pingsan.
Angin berhembus pelan, mengiringi kepergian orang-orang bertopeng yang penuh dendam dan amarah itu, dari rumah Sukron.
Malam terus bergerak, melepas ribuan hawa menyeramkan di seputar rumahnya. Sukron, terus mempenjarakan keinginannya untuk keluar rumah. Sementara orang-orang tumpah ruah keluar rumah untuk melihat layar tancap dilapangan pojok desa. Cewek-cewek dan teman-temannya pasti ada di lapangan, mereka saling bercanda sambil melihat film yang sengaja diputar oleh perusahaan jamu itu. Sukron, hanya membayangkan segala kemeriahan di luaran. Ia lebih menyanyangi nyawanya dari pada sekedar merayakan tahun baru.
Tepat jam sepuluh malam, masyarakat teriak histeris, ketika adegan-adegan film horor semakin mencakam, teriakan-teriakan ketakutan penonton melambung memenuhi lapangan.
“Praaak!!!” Pintu rumah Sukron, pecah. Sukron terkejut ketika orang-orang bertopeng itu masuk rumahnya dengan paksa. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya tanpa ampun, kemudian ia berlari meloncat jendela dan hilang di kegelapan.
“Mana dia?!!!” Teriak salah seorang
“Terus cari sampai ketemu!!” Ucap, yang lain
“Malam ini Dia harus mati!!!” Teriak, seseorang dengan tubuh tinggi
“He..!! dia kabur meloncat jendela” teriak laki-laki bertopeng itu.
“Kejar!!!!!” Perintah, seseorang bertubuh jangkung itu.
Pedang-pedang mereka berkilatan terkena cahaya lampu. Setelah merusak seluruh isi rumah Sukron, mereka pergi mengejar Sukron.
Malam terus merangkak, bulan berkilauan menebarkan warna perak. Orang-orang masih asyik melihat film. Sukron terus berlari, meloncat dengan nafas tersengal. Kakinya yang melempuh tak digubrisnya lagi, bahkan bajunya sudah basah oleh keringat. Hingga akhirnya Sukron, menghentikan pelariannya dan duduk di sebuah warung. Nafasnya masih belum teratur, meloncat-loncat saling berebut untuk keluar dan masuk dan keluar dari hidung dan mulut.
“Minum apa Mas?” Tanya, perempuan pemilik warung yang matanya sudah ngantuk.
“Es teh” Jawab, Sukron dengan mata terus memandang jalanan depan warung.
“Wah ndak ada, jam satu malam kok cari es teh” Gerutu, pemilik warung
“Ya sudah, teh hangat saja” Sahut, Sukron tak sabar
Belum juga teh hangat selesai dibuat, Sukron melihat konvoi motor dengan orang-orang bertopeng dengan pedang berkilatan. Sukron cepat-cepat lari dari tempat itu.
“Mas wedange tehnya, wow ra urus. Pesen teh hangat kok malah pergi” Ucap, pemilik warung itu dongkol.
Perempuan pemilik warung itu, akhirnya tersenyum. Setelah melihat konvoi motor itu berhenti di depan warungnya.
“Ayo masuk, mau makan apa? Minumannya juga komplit” Ucap, pemilik warung itu, setengah teriak
“Ayo makan!!!” Teriak, orang bertopeng yang berhenti lebih dulu.
“Makan, makan!!!” Teriak, yang lain
Orang-orang bertopeng dengan dua puluh motor itu berhenti, lalu masuk ke warung dan memakan apa saja yang tersaji di meja. Dalam sekejab, tahu, tempe, ayam goreng, telur, roti dan berbagai makanan sudah ludes. Perempuan pemilik warung itu, matanya terbelalak ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Bahkan ia sudah tak mampu lagi mengenali satu-persatu, kalau diminta menghitung yang mereka makan. Tiba-tiba pemilik warung tersenyum tipis, sebab ia sudah mendapatkan jumlah duit yang akan diucapkan pada mereka.
“Dua ratus ribu” Ucap, perempuan pemilik warung itu dalam hati.
Namun perempuan pemilik warung itu, tiba-tiba menjerit-jerit, Minta tolong. Sebab orang-orang bertopeng itu, secepat kilat meloncat ke motonya dan meninggalkan warung tanpa membayar sepeserpun. Perempuan pemilik warung itu, akhirnya ambruk dan pingsan.
Lapangan pojok desa masih ramai, orang-orang masih duduk-duduk di rerumputan setelah melihat film. Sukron menelusup di keramaian, ia mencoba mencari teman-temannya tapi tak diketemukan. Lalu ia sembunyi di kerumunan dan duduk di bawah pohon beringin pojok lapangan. Ia menata perasaan takutnya yang bertubi-tubi menghantuinya. Tanpa di ketahui Sukron, sepasang mata terus mengawasi gerak-geriknya. Tubuh Sukron, lemas dan lelah. Pandangan matanya berkunang-kunang karena kecapaian. Pelan-pelan ia bersandar di batang pohon beringin dan tertidur.
Belum juga lima belas menit ia tertidur,
“Crass!!” Kilatan pedang tajam, tepat mengenai tubuhnya.
Sukron, mengaduh, dan darah segar keluar deras dari tubuhnya. Ia berusaha lari dari tempat itu, tapi lagi-lagi
“Craas!! Craass!!!!” Sabetan pedang, menghajar tepat di kepala dan mukanya. Darah muncrat tak tertahankan, mata Sukron kabur tertutup darah. Hingga dalam dua langkah, iapun ambruk. Orang-orang bertopeng itu dengan membabi buta merajam tubuh Sukron dengan sangat garang. Orang-orang yang melihat kejadian itu, tak bisa berbuat banyak. Melihat keganasan dan anarkisme di depan matanya. Tubuh Sukron yang bersimbah darah, mengejang bagai ayam di sembelih dan akhirnya diam tak bernyawa.
konvoi orang-orang bertopeng itu, meninggalkan lapangan. Sambil berteriak
“Demonstran itu telah mati!!!”
Sidokabul 37-C Yogya 2003



Serangan Fajar


PAGI CERAH. Darpo dan beberapa orang masih memperbincangkan Pasangan presiden mana kiranya yang akan menang dalam pemilu mendatang. Mereka saling berdebat bagai pengamat politik.
“Kalau aku pasti Pasangan Rukmini dan Mas Ngabei yang menang” Ucap Cemplon
“Wah yang ndak bisa, hampir semua penduduk di negeri ini, sudah percaya dengan Pak Gembul dan Pak Siku. Jadi aku pastikan bahwa merekalah yang akan mejadi presiden dan wakil presiden” Sahut Dalijo
“Itu dulu Kang, tapi sekarang belum tentu. Kelihatanya saja banyak, tapi belum tentu menang dalam PEMILU nanti” Sanggah Joyo
“Kamu kemarin lihat sendiri, bagaimana kampanye Pasangan Ibu Rumini dan Mas Ngabei to?. Mbludak bagai lautan. GOR kota penuh sesak oleh pendukungnya. Seluruh jalan protokol macet total, penuh dengan bendera bergambar foto-foto mereka. Ucap Sukiman, sombong
“Kampanye itu, tidak bisa dijadikan ukuran” Sela Darpo
“Kok bisa begitu Lik” Tanya Cemplon
“Lha wong yang pada kampanye itu, pada di kasih duit kok. Bisa jadi lho, hari ini kampanye Pasangan Ibu Rumini dan Mas Ngabei, besuk kampanye pasangan Pak Gembul dan Pak Siku. Lusanya lagi ikut kampanye pasangan Pak Singgih dan Pak Sonto” Jelas Darpo, sambil mengisap rokok filter.
“Iyo po Lik” Tanya Dalijo
“Bener. Kamu tahu Pak Jiman to?” Ucap Darpo
“Pak Jiman, tim sukses pasangan Pak Gembul dan Pak Siku itu? Tanya Cemplon
“Iya, setiap kampanye selalu memberikan uang 25 ribu dan kalau janji mau mencoblos Pak Gembul dan Pak Siku dijanjikan akan di kasih duit 100 ribu” Jelas Darpo, serius
“Wow, makanya kalau mau kampanye pada ngumpul di rumah Pak Jiman” Ucap Joyo, sambil melepas kopiahnya.
“Lha kalau sampeyan itu, pendukung siapa Lik?” Tanya Dalijo
“Aku mendukung semua Pasangan Calon presiden dan wakil presiden itu,” Jawab Darpo, sambil tertawa ngakak.
“Wah edan kalau itu” Sahut Cemplon
“Edan piye? Para Capres itu, kalau ke pilih dapat gaji besar lho. Makanya mereka juga harus membayar kita untuk menaikan para Capres itu” Jawab Darpo
“Bener lho. Kalau mereka ke pilih yang menggaji mereka itu, kita-kita juga lho” Ucap Cemplon
“ Makanya pagi menjelang coblosan nanti, siap-siap sebab ada Serangan Fajar” Ucap Darpo
“Serangan Fajar? Piye” Ucap Cemplon Joyo, Dalijo, bersamaan.
“Pokoknya harus hati-hati pasti ada serangan fajar” Ucap Darpo, sambil melangkah pergi.
“Wah kalau begitu, aku pulang dulu” Ucap Cemplon
“Bener, kita harus mengasah pedang, clurit apa saja yang penting bisa untuk senjata. Ucap Dalijo, sambil melangkah pergi
“Jo tunggu, aku pinjam Cluritmu” Teriak Joyo, lari menyusul Dalijo

MENJELANG BEDUG SUBUH, Darpo sudah meloncat dari ranjang mimpinya. Kunci pintu kamar tamunya sengaja dibuka, dan lampu minyak yang menempel di dindingpun dihidupkan. Darpo ingin menunjukan pada orang-orang bahwa ia sudah bangun dari tidurnya. Ia juga telah mempersiapkan segala sesuatunya, untuk menghadapi serangan Fajar. Darpo duduk gelisah di ruang tamu yang tak terlalu luas itu.
“Tok!! Tok!! Tok!!!” Suara daun pintu di ketuk dari luar
“Siapa?” bisik Darpo, dengan gemetar
“Saya Harun, tim sukses pasangan Pak Gembul dan Pak Siku” Jawab orang dari balik pintu itu
“Sebentar” Ucap Darpo, sambil meloncat mengambil koas bergambar Capres dan Cawapres pak Gembul dan Pak Siku lalu di pakainya.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?” Ucap Darpo setelah mempersilahkan tamunya itu duduk.
“Pak Darpo sudah memperolah kartu pemilih?” Tanya Pak Harun
“Sudah Pak, ini punya saya dan ini punya istri saya” Jawab Darpo, sambil meletakan Jartu Pemilih berwarna biru seukuran KTP itu dimeja.
“Bagus. Bapak ikut kampanye Pasangan Pak Gembul dan Pak Siku to? Ucap Pak Harun, tersenyum
“Hampir setiap ada kampanye Pasngan Pak Gembul dan Pak Siku saya selalu ikut, tapi ikut di truk. Maklum Pak tidak punya motor” Jawab Darpo, Bangga
“Bagus, itu satu bukti bahwa Pak Darpo memang pendukung Pak Gembul dan Pak Siku. Maka kedatangan saya kesini, diutus pak Gembul dan Pak Siku, untuk memberikan ini” Ucap Pak Harun, sambil meletakan dua amplop di meja.
“Ee.. ini apa?” Tanya Darpo, pelan
“Wujud terima kasih Pak Gembul dan Pak Siku dan beliau berpesan agar pada pemilu presiden nanti siang, bapak di minta mencoblos Pasangan Pak Gembul dan Pak siku” Jelas Pak Harun
“Oooo. Iya Pak. Tentu saya akan coblos” Ucap Darpo meyakinkan
“Baik Pak saya permisi dulu,” Ucap Pak Harun sambil melangkah keluar
“Pak Harun harus datang kerumah, Dalijo dan Cemplon” Bisik Darpo
“Baik, saya akan kesana” Ucap Pak Harun
BEDUG SUBUH MENGUMANDANG. Menyambut pagi. Burung-burung melemparkan kicauan. Udara segar menerobos masuk ruang tamu. Cepat-cepat Darpo menutup pintu ruang tamu, lalu dengan cekatan membuka dua amplop yang tergeletak di meja.
“Dua ratus ribu” Ucap Darpo, sambil tertawa cekikian. Ia merasa bangga dengan dirinya yang telah mampu mengibuli Pak Harun. Ia menciumi uang kertas itu, dengan girang.
“Tok!!Tok!! Tok!!” Pintu ruang tamu Darpo, diketuk dari luar
secepat kilat Darpo, melompat ke pintu. Uang kertas segera di masukan di saku celananya.
“Siapa? Ucap Darpo, pelan
“Pak Darpo tidak perlu tahu saya, bukalah pintu rumah bapak. Saya Cuma sebentar” Ucap seseorang itu.
Darpo dengan berlahan membuka pintu, tidak terlalu lebar. Namun Darpo mampu melihat seseorang berperawakan besar itu. Memakai topi untuk menyembunyikan mukanya.
“Ini ada rejeki sedikit, Bapak Harus comblos Pasangan presiden dan wakil presiden Bu Rukmini dan Mas Ngabei” Ucap seseorang itu, sambil menyerahkan dua amplop
“Ingat coblos Bu rukmini dan mas Ngabei” Tegas, seseorang itu.
“Baik, saya akan coblos permintaan Bapak” Jawab Darpo, sambil menerima dua amplop.
Setelah Darpo menerima dua amplop itu, seseorang berperawakan besar bergeges meninggalkan rumah Darpo dan hilang di kegelapan. Segera Darpo menutup pintu dan membuka dua amplop di tangannya.
“150 ribu” Pekik Darpo tertahan, penuh kegembiraan. Belum juga pudar kebahagian Darpo. Tiba-tiba Darpo mendengar langkah kaki di depan pintunya. Sesaat Darpo menunggu orang itu, mengetuk pintu. Namun seseorang itu, tidak juga mengetuk pintu Darpo. Kecemasan merasuki diri Darpo, perasaannya diliputi pertanyaan besar. Siapa kiranya orang yang didepan pintu rumahnya.
“Pak Darpo harus mencoblos, Pak Singgih dan Pak Sonto. Ingat itu. Permisi” Ucap seseorang dari balik pintu, sambil mamasukan dua amplop dari celah-celah bawah pintu.
Darpo tanpa menjawab, segera mengambil dua amplop itu dan langsung membukanya.
“Gusti Matur nuwun aku dapat dua ratus ribu lagi” Uacp Darpo, sambil memasukan uang itu dalam celananya.
PAGI MENJELANG. Matahari memutar cahaya megah. Panitia di TPS sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan dari surat suara, bilik suara, sound System, kursi. Dan pelengkapan lainnya.
Suti istri Darpo telah siap untuk berangkat. TPS 20 di kampung Darpo sudah ramai. Mereka sengaja datang lebih pagi agar dapat mencoblos lebih dulu.
“Kang ayo berangkat, kok malah belum mandi” Ucap Suti
“Kamu duluan saja, aku nunggu Joyo, Cemplon dan Dalijo” Ucap Darpo, sambil menyerahkan kartu pemilih dan undangan coblosan pada istrinya.
PAGI MERANGKAK. Darpo masih tetap menunggu, serangan fajar dari tim sukses Capres dan Cawapres yang lain. Satu jam, dua jam serangan fajar yang ditunggu-tunggu Darpo tak juga muncul. Maka dengan segera Darpo mencuci muka dan berangkat ke TPS 20.
TPS 20 sudah sangat ramai, setelah mendaftar Darpo duduk di kursi tunggu. Namun tiba-tiba kampung itu, dibuat geger. Beberapa orang di TPS meninggalkan tempat duduknya. Mereka berlarian menuju rumah Dalijo, Cemplon dan Joyo.
“Ada apa dengan Cemplon, Dalijo dan Joyo? Tanya Darpo
“Mereka di tangkap Polisi” Ucap Yu Warih
“Memangnya kenapa” Tanya Darpo penasaran
“Dalijo, Joyo dan Cemplon membunuh orang dan mayatnya sekarang masih di rumah mereka masing-masing” Sahut Pak Sugeng
“Katanya, mereka membabat habis orang-orang mencurigakan yang datang menjelang pagi tadi” Jelas Sodron.
Darpo terperanjat, mendengar penjelasan Sodron. Ia segera berlari menuju rumah Dalijo, Joyo dan Cemplon. Ia terunduk lemas setelah melihat. Mayat yang berlumuran darah itu, adalah Pak Harun, seseorang yang berperawakan besar dan Pak Widi tim sukses Capres dan Cawapres Pak Singgih dan Pak Sonto yang mendatangi rumahnya menjelang subuh tadi.
Komunitas seni Timoho Yogya,2004

Sinden



DESA KEMBARAN malam itu, begitu ramai. Panggung besar berdiri megah di sudut lapangan. Para pedagang sudah menjajakan dagangannya sejak pagi. Usai bedug maghrib,Orang-orang kampung telah memadati lapangan pojok desa itu. Mereka rela berdesak-desakan di depan panggung, untuk melihat dari dekat Sinden yang terkenal cantik dan merdu suaranya. Tak begitu lama, para pengrawit tiba dan menempatkan diri mereka di panggung. Seperangkat gamelan nampak berkilat di timpa lampu berwarna-warni. Orang-orang nampak bersorak-sorak riang, sebab jika pengrawit sudah siap pertunjukan akan segera mulai. Maka orang-orang semakin berdesak-desakan, untuk duduk di depan panggung.
“Jam berapa sinden itu datang?” Ucap Pak Lurah, gelisah
“Sebentar lagi Pak, mereka dalam perjalanan” Jawab Karyo
“Sampai kapan orang-orang itu, harus menunggu? Siapa yang kamu suruh menjeput?” Ucap Pak Lurah, sambil menyelipkan sebatang rokok ke mulutnya.
“Joyo Pak. Pakai mobil bapak dari jam lima sore. Kalau tidak ada apa-apa sebentar lagi akan sampai.” Jawab Karyo, sambil mencoba menenangkan diri.
“Kalau sampai tidak datang, kamu harus bertanggung jawab. Orang-orang itu, bisa ngamuk dan kalau sudah kecewa, mereka tidak akan memilihku lagi jadi Lurah” Ucap Pak Lurah, semakin tegang.
“Iya pak, saya tahu” Ucap Karyo
“Iya Pak, saya tahu. Tahu apa kamu ini. Sekarang sudah jam delapan malam tapi sinden itu belum datang.
Nampaknya kegelisahan tidak saja, menyelimuti Pak Lurah dan seluruh panitia. Orang-orang juga dirasuki kegelisahan, sebab terlalu lama mereka menunggu. Sehingga tanpa di komando, orang-orang itu berteriak-teriak.
“Ayo cepat di mulai, kami telah capak menunggu!!” Teriak seseorang
“Betul!!! Mana sindennya!!” Teriak yang lain
“Kita robohkan saja panggungnya!!” Teriak salah satu warga.
“Betul kita robohkan saja panggungnya!” Suara orang-orang dengan emosi
Melihat orang-orang sangat marah, pimpinan pengrawit dengan sigap. Mengkomando pengrawit yang lain.
“Kita mainkan lagu pembuka!” ucap pimpinan pengrawit setengah teriak
Bersamaan orang-orang akan merengsek maju ke panggung, tiba-tiba suara musik berbunyi bertalu-talu. Hingga mengurungkan niatan orang-orang yang marah itu, untuk merobohkan panggung. Saat musik pembuka akan berakhir, sinden dan Joyo datang ditempat itu.
“Syukurlah kalian telah datang, kalian telah menyelamatkan pertunjukan ini dari malapetaka. ” Ucap Pak Lurah
“Maaf kami terlambat Pak” Ucap Joyo, pelan
“Sudah tidak apa-apa, cepat Sinden itu,segera suruh naik ke panggung” Perintah Pak Lurah.
LAMPU WARNA-WARNI, menebar disegala sudut panggung. Saat sinden yang cantik dan bahenol itu, masuk panggung. Orang-orang berteriak-teriak girang.
“Selamat malam semua, sudah kangen pada saya” Ucap Sinden itu, genit
“Iya!!!” Jawab seluruh penonton yang memadati lapangan
‘Baik, malam ini saya akan menghibur anda sekalian nembang dan goyang habis-habisan. Setuju!!”
“Setuju!!!!!!” sahut penonton bersemangat
Tanpa bicara panjang lebar lagi, Sinden mulai beraksi dengan suara yang merdu, genit dan goyangan ala Inul Daratista.
BULAN TERUS BERJAGA. Joyo duduk diam di sudut panggung. Pak Lurah tersenyum puas, berdiri di samping Joyo.
“ Kamu kok tidak joget, biasanya kamu joget seperti kuda lumping yang kesurupan” Ucap Pak Lurah, sambil menghisap rokok kreteknya.
Joyo hanya tersenyum,mendengar ucapak Pak Lurah. Kedua matanya terus memandangi sinden yang beraksi diatas panggung.
“Kamu itu tidak usah takut, acara sudah berjalan lancar. Sinden sudah sampai kesini, walau terlambat sedikit. Sekarang senang-senanglah dulu, nanti kalau sudah selesai kamu ngantar lagi Sinden itu pulang” Ucap Pak Lurah
Lagi-lagi Joyo hanya tersenyum, mendengar perintah Pak Lurah itu. Ia tetap tidak bergeming dari tempat duduknya. Pak Lurah heran, melihat sikap Joyo yang nganeh-anehi itu. Sebab memang tidak biasa Joyo, bersikap diam seperti itu. Apalagi kalau mendengar sinden menyanyi dan bergoyang.
“Joyo ini pasti merasa bersalah” Ucap Pak Lurah dalam hati.
MALAM SEMAKIN PANAS. Sinden terus bergoyang dan melantunkan lagu-lagu dangdut. Orang-orang semakin girang dan ikut berjoget. Bahkan ada beberapa orang yang diamankan hansip kelurahan, gara-gara joget sambil meneguk minuman keras. Warga Desa Kembaran malam itu, benar-benar mendapatkan hiburan yang luara biasa. Semua orang bergembira, dan mengacungi jempol kepemimpinan Pak Lurah Waskito.
“Kita besuk pilih lagi saja Pak Waskito, biar kita bisa joget terus” Ucap Jamingun sambil bergoyang
“Bener Pak Waskito itu, tahu kebutuhan kita” Sahut Kirun
“Pokoknya kalau Pak Waskito jadi lurah lagi, kita minta Inul Daratista untuk manggung kesini” Ucap Lik Jiwo.
“Wah bugus Sinden ini, daripada Inul’ Sela Kirun
“Ya kta minta Inul dan Sinden ini” Sahut Jamingun
‘Wah iyo, betul itu” Sahut yang lain.
TEPAT PUKUL 12 MALAM. Pertunjukan itu berakhir. Orang-orang benar-benar terhibur dengan kehadiran sinden. Pak Lurah serta merta menghampiri Sinden dan Joyo.

“Terima kasih. Malam ini kamu memberikan hiburan bagi desa kami” Ucapak Pak Lurah sambil memberikan amplop pada Sinden.
”Tidak usah Pak, kehadiran kami disini untuk membahagiakan masyarakat bapak. Permisi. Ucap Sinden datar, sambil melangkah menuju mobil dimana Joyo telah menunggu di belakang stir.
Belum juga hilang rasa bingung Pak Lurah, mobil itu telah berlalu dari hadapannya. Pak Lurah seperti tersadar dari tidur, dengan tangan masih menggenggam amplop berisi uang. Ia semakin heran kenapa sinden itu, tidak mau menerima uang. Ia juga heran mengapa Joyo, jadi kurang ajar tidak pamit padanya. Padahal mobil yang di pakai mengatar itu, monil miliknya. Perasaan pak Lurah semakin bingung, dengan kejadian-kejadian yang mengherankan itu.
“Ah, semoga ini bukan firasat buruk” Bisik Pak Lurah dalam hati.
BEDUG SUBUH MEMECAH SUNYI. Orang-orang masih terlelap dalam tidurnya. Pak Lurah justru semakin gelisah, setiap ia mencoba memejamkan kedua matanya, tapi justru semakin terang benderang. Rasa kuatir semakin merambat keseluruh tubuhnya. Rumah besar itu menjadi sangat sunyi, hanya terdengar beberapa kokokan ayam jantan mengisyaratkan pagi.
Akhirnya Pak Lurah keluar dan duduk di teras rumah. Ia terus merokok untuk mengusir kegundahan hatinya. Selang beberapa saat, menjelang matahari merekah.
“Thing,.. thong… thing… thong….” Suara bel, menganggetkan lamunan Pak Lurah.
“Mohon maaf pak, kami terlalu pagi untuk bertamu” Ucap orang berperawakan besar dan berjacket hitam itu.
“Tidak apa-apa. Anda berdua ini siapa? Ucap Pak lurah, setelah kedua tamu itu, dipersilahkan duduk.
“Kami dari kepolisiaan, saya Sersan Agus dan ini Sertu Winata” Ucap Sersan Agus, memperkenalkan diri.
“Oh, ada yang bisa saya bantu Pak” Ucap pak Lurah gugup.

“Kami ingin memberitahukan, kalau mobil Bapak terjadi kecelakaan. Sopir bernama Joyo dan sinden yang ia jemput meninggal dunia” Jelas Sersan Agus
‘Kapan terjadinya pak?” Tanya Pak Lurah
“Kemarin sore sekitar jam lima” Jelas Sersan Agus
“Lho semalam sinden itu nyanyi di sini, Joyo yang menjemput dan mengatar pulang Sinden itu” Ucap pak Lurah bingung.
“Tidak mungkin Pak, mobil yang mereka tumpangi ringsek. Kedua orang itu terjepit dan baru bisa kita evakuasi saat adzan subuh tadi.” Sela sertu Winata.
“Jadi semalam adlah arwah mereka” Bisik Pak Lurah dalam hati
“Bagaimana pak? Tanya Sersan Agus
“E,e Saya akan urus jenasahnya Pak” Jawab Pak Lurah gelagapan.
MATAHARI MENYIRAM CAHAYA KE SELURUH JAGAT. Melepas jenasah Sinden dan Joyo dalam rumah keabadian. Orang-orang Desa Kembaran, masih terus bertanya-tanya. Benarkah semalam yang menghibur mereka arwah Sinden iitu.


Yogya. 2004


Pusara Leluhur



WARGA RINGIN KURUNG,sore itu berkumpul di depan cungkup makam. Mereka duduk berdoa bersama, untuk para penghuninya. Makam yang terletak di pojok desa itu, terancam akan digusur untuk pembangunan pabrik sepatu. Musyawarah yang dilakukan masyarakat mengalami jalan buntu, bahkan kepala proyek pembangunan pabrik mengancam akan mendatangkan pasukan pengamanan kalau masyarakat berani menghalangi. Belum juga selesai mereka berdoa, mereka mendengar teriakan Wiro.
“Siap-siap!!! Siap-siap!!!. Mereka datang!!
Orang-orang terkejut dan menghentikan doanya, lalu berbalik mendekati Wiro yang berdiri dengan nafas tersengal.
“Siap untuk apa?” Tanya Yu Sengkrang
“Iya, siapa yang datang” Teriak Lik Sukap
“Buldozer-buldozer itu, sudah datang di kelurahan” Jelas, Wiro
Orang-orang jadi panik, mendengar perkataan Wiro. Mereka saling bicara,saling menyanggah, dan saling menuding bagai suasana pasar di pagi hari.
“Sudah!! Sudah!!!, sekarang tidak usah saling menyalahkan. Kini kita justru semakin yakin, bahwa mereka akan nekat mengambil tanah makam ini” Teriak Mbah Sastro, menenangkan.
“Lalu gimana Mbah?” Tanya, Yu Sengkrang, geregetan.
“Kita harus bersiap-siap, untuk mempertahankan Makam ini sampai titik darah pengambisan” Jelas Mbah Sastro berapi-api.
SIANG TERUS MENERJANG. Orang-orang dengan kemarahan yang membara menyiapkan pedang, clurit, pacul, tombak, keris, dan senjata-senjata lainnya. Mereka menunggu kedatangan buldozer-buldozer yang akan membongkar makam leluhur mereka.
“Pokoknya kita jangan sampai lengah kita harus menjaga makam ini pagi, siang atau malam secara bergantian” Ucap Lik Sukap, sambil mengacungkan pedang keatas.
“Setuju!!!” Sambut masyarakat, bergemuruh.
SEMENTARA beberapa buldozer, sudah berhenti di depan kelurahan. Kepala Proyek dan beberapa kuli bangunan berbincang dengan Pak Lurah.
“Sampai kapan kita harus menunggu Pak Lurah” Tanya Kepala Proyek, tak sabar.
“Saya tidak mau rugi, buldozer-buldozer itu harus segera bekerja. Perlu Pak Lurah ketahui, tidak sedikit uang yang saya keluarkan untuk menyewa alat-alat berat itu.”
“Saya tahu Pak, tapi kita harus menunggu Bapak Kepala Kota Praja. Sebab beliau yang mengantongi ijin pembongkaran makam itu.” Jelas Pak Lurah, sambil mengisap rokok kreteknya.
“Itu hanya tekhnis saja Pak, sebab ijin pembongkaran makam sudah keluar”
“Tidak, saya tidak bertanggung jawab, kalau Bapak Kepala Kota Praja belum rawuh dan membawa surat ijin pembongkaran makam” Ucap Pak Lurah, sambil melangkah masuk kantor Kelurahan.
“Sompret!!, Lurah kampungan!!” Gerutu Kepala Proyek, sambil duduk di sebelah para kuli dan sopir buldozer yang sedang minum teh.
“Kriiiiiing!!!!” Suara telepon, mengagetkan Pak Lurah yang duduk dengan gelisah.
“Hallo, selamat siang” Suara lembut perempuan, mendinginkan kegelisahan Pak Lurah
“Ini Pak Lurah”
“Betul”
“Saya sekretaris Bapak Kepala Kota Praja”
“Oh.. iya, bagaimana Mbak?”
“Memberitahukan, kalau Bapak Kepala Kota Praja tidak bisa datang. Beliau pesan agar pelaksanaan pembongkaran makam ditunda besok pagi. Sebab beliau sendiri yang akan melakukan pembongkaran batu pertama” Terima kasih, selamat siang”
Pak Lurah meletakan gagang telepon dan segera keluar memberitahukan pada Kepala Proyek.
“Ini keterlaluan!! “ Ucap Kepala Proyek, marah.
“Jangan marah pada saya, kalau saya boleh usul biar saja pegawai Bapak tidur di pendopo sambil mempersiapkan buldozer-buldozer itu besok pagi”
“Ya, terima kasih!!” Jawab Kepala Proyek, ketus.
MALAM KELAM. Bulan disapu awan hitam. Orang-orang masih bergerombol menjaga makam. Mereka duduk-duduk di dalam cungkup makam, beberapa orang menyiapkan minum di perapian yang mereka buat di depan makam.
“Ada kabar buruk” Ucap Gino, anggota Hansip yang bekerja di Kelurahan.
“Tenang dulu, duduk baru bicara” Sela Lik Sukap.
“Makam ini, resmi akan di bongkar besuk pagi. Kepala Kota Praja yang akan meresmikan pembongkaran batu pertama” Jelas Gino, sambil duduk di pinggir lantai cungkup.
“Wah gawat ini, kalau Kepala Kota Praja yang meresmikan pembongkaran batu pertama. Makam ini akan di penuhi Polisi dan Tentara” Ucap Sastro, gelisah.
“Njur piye” Tanya Dirjo, bingung
“Ini siasat mereka, sengaja kita akan di adu dengan aparat’ Ucap Lik Sukap, sambil berdiri.
Orang-orang yang di luar makam, melangkah masuk cungkup. Mereka berembug mengatur siasat untuk melawan aparat. Semakin malam makam itu, tambah ramai. Seluruh masyarakat tumpah ruah di makam, bahkah mereka sudah membentuk pagar betis yang melingkari makam.
“Apapun yang terjadi, kita harus pertahankan makam ini!!!!” Teriak Sastro, bersemangat.
“Setuju!!!!” Sambut masyarakat, dengan mengangkat senjata-senjata yang mereka pegang. Pekikan-pekikan kemarahan warga membelah malam, Mata-mata merah mereka menyapu awan dan mengantar bulan kepembaringan.
PAGI tiba, cahaya matahari bergerak pelan. Orang-orang semakin gelisah. Mereka saling memompa semangat dan keberanian untuk menjaga dan mempertahankan makam.
Teriakan dan pekik terus menggelora, bagai kilatan-kilatan petir di musim penghujan. Genderang perang telah di tabuh di hati mereka, menyulut api kebengisan dan keganasan dan siap mencincang siapapun yang berani membongkar makam leluhur mereka.
“Mereka Datang!!!!” Teriak seseorang, sambil berlari menuju makam.
“Siap!!!” Perintah Lik Sukap, sambil mengangkat senjata
“Siap!!!!!!” Sambut warga, lantang
Sepasukan pengamanan datang di depan makam, mengamankan tempat itu. Buldozer-bildozer bergerak pelan dan berhenti berjajar di sisi kanan makam. Suasana tempat itu jadi tegang, warga diam tak bergerak. Bahkan yang paling mengherankan mereka nampak tidak ada penolakan, mereka justru nampak gembira menyambut kedatangan Kepala Kota Praja. Senjata-senjata mereka di sembunyikan dibalik baju.
Tiba-tiba beberapa mobil beriringan tiba di depan makam. Nampak Kepala Kota Praja yang di kawal dua orang ajudan, Kepala Proyek dan Pak Lurah berjalan menuju cungkup makam. Warga duduk diam, seperti menunggu sesuatu.
“Saudara-saudara sekalian, sebelum peresmian pembongkaran batu pertama di mulai. Yang terhormat Kepala Kota Praja akan memberikan sepatah dua patah kata. Waktu dan tempat kami haturkan” Ucap Pak Lurah, memecah kesunyian. Tepuk tangan gemuruh, mengiringi langkah Kepala Kota Praja.
“Terima kasih… Terima kasih….. Bapak-bapak, Ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian. Hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan, sebab sebentar lagi kampung ini akan memiliki pabrik berskala internasional. Kami harapkan warga masyarakat, natinya bisa membantu menjadi pegawai di pabrik tersebut. Baik dengan ini, saya resmikan pembongkaran batu pertama dan nanti akan diteruskan dengan Buldozer. Terima kasih” Ucap Kepala Kota Praja, mengakhiri sambutan.
Kepala Kota Praja melangkah dan palu sudah siap di tangan. Tapi saat palu akan di hantamkan di tembok makam.
“Praak!!” Sebuah telur busuk pecah di muka Kepala Kota Praja. Bau busuk dengan cepat terbang bersama angin, membuat seluruh aparat menutup hidung. Seorang ajudan segera meloncat dan membersihkan muka Kepala Kota Praja dengan sapu tangannya. Suasana tempat itu jadi gaduh, orang-orang seperti di komando bergerak membuat pagar betis dengan bergandengan tangan melingkari makam. “Dor!!! Dor!! Dor!!!” Suara tembakan peringatan, membumbung ke udara.
Tembakan peringatan itu, tidak membuat masyarakat jadi surut nyalinya. Mereka justru meringsek maju sambil mengacung-acungkan sanjata yang di bawanya.
“Makam ini akan menjadi kuburan masal bagi kalian!!!” Teriak Kepala Kota Praja, sambil muntah-muntah.
Orang-orang semakin berang mendengar ancaman Kepala Kota Praja, Lik Sukap berlari akan menusukan pedang ke tubuh Kepala Kota Praja. Melihat Kepala Kota Praja terancam, seorang ajudan segera menarik tangannya masuk mobil dan menyingkir dari tempat itu. Pak Lurah yang ketakutan juga ikut lari tunggang langgang.
Udara semakin panas, orang-orang sekarang berhadapan dengan aparat keamanan. Buldozer-buldozer meraung-raung bergerak mendekati tembok makam. Orang-orang tak mampu mendekati dan menghentikan laju Buldozer. Sabab sepasukan keamanan terus berjaga disisi kanan kiri buldozer.
“Kita harus hentikan buldozer itu!!!” Teriak, Wiro
“Jangan sampai buldozer-buldozer itu merobohkan tembok makam!!!” Teriak yang lain.
Buldozer terus bergerak mendekati cungkup makam. Tiba-tiba Mbah Sastro meloncat di atas Buldozer dan siap membabat leher pengemudinya.
“Dor!! “ Sebuah peluru, menembus dada Sastro. Ia terhuyung dan jatuh di pinggir Buldozer.
Orang-orang menjerit, melihat Mbah Sastro tertembak. Sebagian dari mereka lari karena takut, ada juga yang diam menghentikan perlawanannya ketika bebarapa tembok makam sudah hancur.
“Kita harus tetap mempertahankan makam ini sampai titik darah penghambisan” Teriak Lik Sukap, sambil meloncat di depan cungkup.
“Bangsat!!! Lebih baik kalian kubur kami disini!!”, Teriak Yu Sengkrang, histeris.
Beberapa orang itu, terus mempertahankan cungkup makam. Teriakan dan pekik mereka, pelan-pelan menghilang saat Buldozer menggasak cungkup makam. Dalam waktu sekejab bangunan makam itu sudah rata dengan tanah. Bersama terkuburnya Yu Sengkrang, Lik Sukap, Wiro, Gino, dan beberapa warga yang lain.
Senja menempatkan mentari di peraduan. Makam leluhur mereka, telah hilang, bersama beberapa warga yang terkubur ditanah itu.
“Tanah makam itu milik kami, disana juga kami akan di kubur” Ucap salah satu warga, sambil melangkah pergi yang diikuti masyarakat yang lain.

Sanggar Komunitas Seni Timoho Yogya, 2003



Ziarah Idul Fitri


AKHIRNYA Handoko, duduk di kereta api eksekutif Taksaka satu yang menuju Yogyakarta. Hatinya melonjak-lonjak penuh kegembiraan yang luar biasa dahsyatnya. Kereta api bergerak meninggalkan Stasiun Gambir. Pikirannya sudah sampai di kampung halaman, jauh mendahului kecepatan Kereta api yang melaju sangat kencang.
Sejak dua puluh tahun yang lalu Handoko, bermimpi untuk dapat menginjakan kaki di kampung kelahirannya yang penuh keramahan dan kesederhanaan para penghuninya itu. Kampung yang selalu melintas-lintas dalam setiap ranjang mimpinya. Kenangan mandi di sungai yang bening airnya, naik kerbau, main gobak sodor, mencari belut di sawah, menimba air untuk mengisi bak mandi. Handoko juga masih ingat betul saat guru ngajinya, membentak dan memarahi lantaran Ia tidak mampu menghafal surat Yasin. Handoko juga sangat ingat, tradisi di keluarganya sesudah sholat Hari Raya Idul Fitri. Semua keluarga berkumpul dan berjalan bersama ziarah di makam Bapak.
Ziarah di makam Bapak, hanya Handoko rasakan sekali saat masih berumur sepuluh tahun. Sebab setelah itu Ia harus tinggal di Jakarta di rumah Budenya sampai dewasa. Pekerjaan di Jakarta benar-benar membuat nurani dan kemanusiaannya mati. Setiap detik, setiap jam dan setiap matanya terbuka hanya bagaimana mendapatkan uang dan uang. Hidup Handoko, selalu dihantui kekawatiran dan ketakutan bila hidup miskin. Maka niatan untuk mudik lebaran tahun ini sudah tak terbendung lagi, apapun yang terjadi Ia harus pulang, apalagi simboknya dalam surat sudah wanti-wanti agar Ia pulang dan ziarah di makam Bapak.
Menjelang senja kereta api berhenti di Stasiun Tugu. Bergegas Handoko, turun dan sengaja naik andong agar bisa melihat-lihat kota Yogya yang sudah lama ditinggalkan. Handoko benar-benar bagai turis domistik yang baru melihat Yogya pertama kali. Hampir semua sudut-sudut kota sudah berubah, Maliboro, Alun-alun, sepanjang jalan Gondomanan, Kotagede, semua sudah berubah.
“Rupanya kemacetan juga sudah menghantui di kota yang penuh berbagai macam predikat ini.” Ucap, Handoko dalam hati.

Jam tujuh malam Handoko, sampai di rumah. Rumah peninggalan Bapaknya ini tak banyak perubahan, kecuali warna cat yang membilas pintu dan jendela. Simbok dan adiknya sudah menunggu di kursi bambu depan rumah. Rukmini adik satu-satunya itu, meloncat dari kursi saat Handoko, masuk pekarangan rumah.
“Mas dari jakarta Jam berapa?’
“Bawa oleh-oleh apa Mas?”
Rukmini terus nerocos menghujamkan pertanyaan-pertanyaan, sambil merebut tas dari genggaman Handoko.
“Sudah, biar Mas Handoko istirahat dulu” Ucap Simbok
“Biar saja Mbok, aku seneng. Lagi pula aku juga tidak pernah ketemu” Ucap, Handoko sambil memeluk perempuan yang telah melahirkannya itu dengan sangat erat. Ia benar-benar sangat rindu, sudah lama sekali Ia tak merasakan pelukan Simboknya. Ia seperti masih umur lima tahun dalam dekapan Simbok, Tanpa terasa Handoko meneteskan air mata begitu juga dengan Simboknya.
“Simbok sehat to?” Tanya Handoko, pelan
Simbok mengangguk sambil melepas pelukannya. Mata yang sayu itu terus menatap Handoko, tak kedip.
“Mas kok di luar to, sudah tak buatkan minum di meja ruang tengah” Suara Rukmini memecah kesunyian. Handoko dan simboknya seperti tersadar dari lamunan.
Malam itu pertama kali Handoko makan bersama dengan orang-orang yang sangat dirindukan selama ini. Simbok dan Rukmini juga merasakan kegembiraan yang sama seperti yang dirasakan Handoko. Setelah makan Rukmini meminta Handoko bercerita pengalamannya kerja di Jakarta. Bahkan malam itu mereka tidur jam satu malam hanya untuk mendengarkan cerita Handoko hidup di Jakarta.
Pagi itu beberapa tetangga berdatangan. Kabar kepulangan Handoko, menjadi pembicaraan utama di kampung. Ada yang hanya ingin melihat wajahnya, ada juga yang memang ingin tahu pekerjaan Handoko di Jakarta.
“Kamu masih ingat aku to Le?” Tanya perempuan setengah baya itu, sambil mengulurkan tangannya yang sudah mulai berkerut.
Handoko, menyambut uluran tangan itu, dengan penuh hormat. Tapi Ia benar-benar tidak ingat, siapa perempuan yang berdiri tepat dihadapannya.
“Aku Mbah Rawit, waduh kamu lupa to. Dulu kamu sering tak gendong” Jelas perempuan itu sambil tersenyum.
“Maaf Mbah, saya lupa”
“Ya ndak apa-apa, Lha wong sudah lama ndak ketemu je”
Seharian itu, banyak tetangga yang datang. Dari yang tua-tua sampai temen-temen Handoko semasa kecil. Mereka sangat ramah dan baik menyambut kedatangannya. Handoko seperti orang asing yang baru pertama kali mereka lihat.
Malamnya Rukmini dan Simboknya, sengaja tidur lebih awal karena capai seharian menerima tamu, hingga Handoko tak ada teman ngobrol. Ia duduk di ruang keluarga yang tidak terlalu luas, pakirannya melompat jauh ketika Bapaknya masih hidup. Sepertinya Bapaknya ada di sebelahnya. Beliau duduk menatap Handoko, sambil mengisap rokok klembaknya.
“Kapan datang?”
“Kemarin pagi” Jawab Handoko, pelan
“ Mestinya setiap tahun kamu datang ke tempat Bapak, Jangan hanya kalau libur. Kamu tidak kangen sama Bapakmu ini”
“ Ya, kangen Pak, tapi sulit mendapatkan cuti dari kantor”
“Ya sudah, sekarang kamu sudah kesini, cepat kerumah Bapak”
Tiba-tiba sosok Bapaknya hilang dari tempat duduk.
Suara derit roda kereta api yang bergesekan dengan rel, membuyarkan semua lamunannya. Handoko geragaban dan mengusap kedua matanya yang tidak gatal. Dan saat itu juga, sudah berdiri di sampingnya seorang pegawai restorasi menawarkan makan.
“Pak silahkan makan siang dan Bapak mau minum teh atau kopi?”
“ Teh saja” Jawab, Handoko.
Setelah makan dan minum Handoko, menjadi semakin bingung, sebab Bapaknya sudah duduk di sebelahnya. Memakai baju putih dan celana hitam melihat Handoko sambil tersenyum.
“Kamu itu tak tunggu kok tidak terasa kalau di tunggu” Ucapnya pelan.
“Bapak menunggu saya?” Jawab, Handoko binggung.
“Katanya mau kerumah Bapak” Jawab Bapak heran
“Aku mau kerumah Bapak?” Tanya, Handoko tak kalah heran
“Iya, kamu mau ziarah to? Jelas Bapak
“Iya Pak” Jawab, Handoko penuh keraguan
“Ayo, bareng Bapak” Ajak, Bapak Handoko sambil berdiri dan menggandeng tanganya.
Seperti orang yang terbius Handoko, mengikuti ajakan Bapaknya. Sungguh fantastis jalanan yang dilalui Handoko, sungguh cerah dan halus. Bunga-bunga bernekaran di kanan kiri jalanan. Orang-orang yang bertemu Handoko, semua menunduk hormat. Hingga bapaknya mengajak masuk di pemakaman. Handoko hanya mampu mengikuti apa yang di lakukan Bapaknya. Hingga berhenti di dua buah kundukan makam. Bapak meminta Handoko, untuk jongkok dan berdoa, Ia mengikuti permintaan Bapaknya itu. Tapi alangkah kagetnya Handoko, ketika melihat kedua gundukan itu. Ia tampar sendiri kedua pipinya.
“Tidak mimpi” Pikirnya dalam hati.
“Kamu tidak mimpi, ini sungguhan” Ucap Bapak, seperti mengetahui apa yang ada di pikiran Handoko .
Handoko, semakin mencermati nama yang tertulis di kayu nisan yang menancap di gundukan tanah di depan Bapaknya jongkok dan berdoa.
“Suparjo, meninggal 10 Juni 1980” Handoko, membaca dalam hati.
Handoko semakin bingung, bagaimana mungkin orang yang sudah di makamkan berdoa untuk dirinya sendirinya.
Angin bertiup kencang, menghamburkan dedaunan kering diseputar tempat Handoko jongkok. Ia kemudian berdoa di gundukan yang terletak persis didepanya. Handoko, dilanda kecemasan yang luar biasa dan seperti tidak percaya, ketika matanya melihat tulisan di kayu nisan yang menancap di gundukan tanah. Lagi-lagi Handoko, menepuk kedua pipinya, untuk meyakinkan kalaut tidak mimpi. Matanya terus menatap tajam tulisan di kayu nisan itu.
“Handoko, meninggal 10 Nopember 2000” Suaranya, seperti tersangkut di tenggorokan. Bagaimana mungkin namaku ada di kayu nisan ini?”,
Handoko menatap arloji untuk melihat tanggal. Alangkah terkejutnya Handoko, bahwa tanggal di arlojinya menunjukan tanggal 10 bulan sebelas tahun 2000. Belum juga rasa terkeujutnya hilang, tiba-tiba Bapaknya sudah memegang tangannya.
“Tidak Pak, jangan Pak” Pintanya memohon sama Bapaknya
“Kamu harus temani Bapak, Kita akan tinggal di rumah Bapak” Ucap Bapaknya sangat lembut dan pegangan tangannya semakin kuat
Handoko meronta sekuat tenaga, sambil memohon agar Bapaknya tidak mengajak tinggal bersamanya. Akhirnya bapaknya melepaskan pegangan tangannya lalu memeluk Handoko dengan penuh kasih sayang.
“Pulanglah Nak, tapi seringlah kau tengok Bapak” Ucapnya lirih
Handoko mengangguk dan cepat-cepat pergi dari tempat itu. Menyusuri jalanan yang penuh kedamaian. Hingga tak terasa tubuhnya begitu lemas, kaki kanannya terasa ngilu. Sedang tangan kanannya sudah di tusuk Jarum infus. Simbok dan adiknya Rukmini sudah berdiri di sisi tempat tidur yang serba putih itu sambil menangis. Mereka memeluk dan mencium Handoko.
“Ada apa Mbok” Tanya Handoko pelan?
“Kereta Api yang kamu tumpangi bertabrakan dan puluhan orang meninggal dan terluka” Ucap Simbok sambil menangis.
“Jadi aku… ?”
“Benar kamu selamat” Jelas Simbok dengan menangis
Adzan Magrib berkumandang ke segala penjuru raya, bersama senja menggelantung di cakrawala. Mengumandangkan kebesaran Tuhan.
“Bapak damailah di pembaringanmu, aku pasti ziarah di rumahmu” Ucap Handoko”. Sambil meneteskan air mata.

Untuk Almarhum Bapak
Yogyakarta, 2002



Eksekusi


MENJELANG BEDUG SUBUH, kamar Wiro, di dobrak dari luar. Rasa kaget membuat kedua matanya yang ngatuk, spontan terbuka lebar. Dalam kegelapan, ia masih melihat dua sosok manusia bertubuh tegap dengan topeng seperti film Ninja masuk kamarnya. Tiba-tiba tangan salah seorang dari mereka, menghantam ulu hatinya
“Buk!! Buk!!”
Pukulan itu, membuat dadanya sesak. Matanya berkunang-kunang, bumi seakan berputar dengan sangat cepat. Dalam kondisi hampir pingsan itu, ia juga masih ingat tubuhnya diseret dan dimasukan ke dalam mobil. Ia juga masih mendengar walau sangat samar-samar, ucapan-ucapan beberapa orang yang menunggunya di dalam mobil.
“Kita tembak saja, orang ini sudah ndak punya hati” Ucap, salah seorang laki-laki bertopeng itu, sambil menginjak kepalanya.
“Jangan gegabah, kita tunggu perintah selanjutnya” Ucap seseorang yang duduk di samping sopir.
“Kalau tidak ingat ini perintah, sudah aku pecah batok kepala manusia berhati binatang ini!!” Ucap laki-laki bertopeng yang memukulnya di kamar.
Ucapan itu yang terakhir ia dengar, sebab tiba-tiba matanya gelap, dan Wiro sudah tak ingat apa-apa lagi.
WIRO, tak mampu menghitung berapa jam ia tak sadarkan diri. Ia hanya merasakan tubuhnya basah oleh air, matanya gelap tertutup kain hitam dan kedua tangannya terikat di belakang. Ia juga merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit. Ia hanya bisa mendengar makian dan bentakan-bentakan.
“kamu yang memimpin, demonstrasi di depan gedung Kepala Kota Prajakan!!” Bentak seseorang.
“Sekarang kamu ngaku saja, siapa yang menyuruh kamu dan kawan-kawanmu itu” Tanya, seseorang yang lain.
“Saya tidak tahu Pak, saya tidak pernah ikut demontrasi” Ucap Wiro, pelan.
“Plaak!!!” Bogem mentah, tepat mengenai mulut Wiro. Darah segar keluar dari bibir Wiro yang pecah.
“Demi Tuhan Pak, saya tidak pernah ikut Demontrasi” Ucap Wiro, menahan sakit.
“Tidak usah menyebut nama Tuhan disini! Apa prilakumu menunjukan kalau kamu masih punya Tuhan?” Hardik seseorang itu, sambil menampar muka Wiro.
Hampir dua jam Wiro, di paksa mengakui kalau ia memimpin sebuah demontrasi di depan gedung Kepala Kota Praja. Dalam dua jam, pukulan dan tendangan mendarat di sekujur tubuhnya. Ia jadi yakin kalau yang menculik dan menghajarnya habis-habisan itu, adalah aparat keamanan. Cuma ia heran dan bingung mengapa mereka menangkapnya, padahal ia tak pernah ikut demonstrasi apalagi terlibat dalam pergerakan-pergerakan yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah. Pikiran dan perasaannya terus meloncat-loncat dalam kegelapan. Betapa seluruh tubuhnya semakin perih kerena luka, dan kedua matanya pedas oleh ikatan kain hitam yang sangat kencang. Hingga tiba-tiba tubuh Wiro gemetar dan pelan-pelan melemah lalu ambruk tak sadarkan diri.
Sudah hampir seminggu Wiro, menempati ruang gelap dan sempit itu. Ia sudah tak tahu lagi waktu, hari bahkan tanggal dan tahun. Ia hanya merasakan sakitnya pukulan, dinginnya air saat di guyurkan ke tubuhnya dan kerasnya bentakan maupun makian yang terus menyerbu ke tubuhnya.
“Namamu Wiro?” Bisik, seseorang ke telingannya.
“Betul” Desis Wiro, sambil menahan sakit
“Kamu hebat, andai orang-orang pergerakan seradikal kamu. Pasti Negeri ini akan cepat maju, dan tidak dipimpin oleh orang-orang korup dan ingin menguntungkan diri sendiri beserta kelompoknya” Ucap seseorang itu, dengan setengah berbisik.
Orang itu, terus membisikan kata demi kata, yang membuat darah Wiro, mendidih. Kata-kata orang itu, benar-benar mensugesti daya semangat dan keberanian Wiro.
“Kebenaran dan keadilan harus ditegakan!” Ucap seseorang itu, untuk yang terakhir kalinya. Sebab tiba-tiba pintu ruang penyekapan itu, di buka dan orang itu diseret keluar.
“Keparat, kau masih berani juga bicara tentang kebodohanmu disini” Bentak salah seorang aparat itu, smabil memukul dan menyeret keluar ruangan.
“Kawan, namaku Sukendar. Ingat Kebenaran dan keadilan harus di tegakan!!” Teriaknya, sambil meronta.
“Sukendar, jadi nama orang itu Sukendar” Ucap Wiro, dalam hati. Belum juga selesai ia mengingat-ingat nama seseorang yang memberi daya semangat hidupnya itu.
“Dor!! Dor!! Dor!!!” Suara tembakan, memecah kesunyian bersama teriakan Sukendar yang tertahan.
Wiro diserbu ketakutan yang luar biasa, pikirannya dihantui kekuatiran akan nasipnya.
“Ya Tuhan, apakah kematianku telah Kau tentukan hari ini” Ucap Wiro, sambil beringsut di pojok ruang yang sempit dan pengap itu.
Wiro terus menggumamkan beberapa doa yang ia hafalkan, sambil mencoba melepas tali yang mengikat kedua tangannya. Luka yang melingkar di kedua pergelangan tangannya, membuatnya tak bisa berbuat banyak.
“Untuk apa kau berdoa, Tuhan tidak pernah akan mendengar doamu” Ucap salah seorang penjaga, ketika masuk dan melihat Wiro.
“Kau baru ingat Tuhan, saat akan mati” Ucap penjaga yang lain, sambil tertawa
“Biar dia berdoa sepuasnya, toh sebentar lagi juga mati” Ucap yang lain
Ruang yang pengap itu, penuh canda dan tawa dari para penjaga. Wiro terus berdoa bahkan semakin keras, ia tak peduli dengan cemooh para penjaga itu.
Malam merambat, Wiro sudah tak ingat lagi berapa kali ia mengucapkan doa yang sama. Para penjaga itupun, sudah tertidur pulas. Hingga tepat jam dua belas malam, Wiro di seret keluar ruangan.
“Kalian jangan memperlakukan aku seprti ini, aku akan turuti apa yang kalian perintahkan. Kalau malam ini kalian akan menembaku, aku sudah siap” Ucap Wiro, sambil melangkah tenang.
‘Baik, kau tidak akan kami seret.” Ucap salah seorang penjag, sambil menggandeng memegang pundak Wiro.
Pasukan penembak sudah siap, Wiro diikat dalam sebatang kayu. Vonis tembak mati siap dilaksanakan. Wiro hanya pasrah menerima hukuman tanpa pengadilan ini, ia sudah iklas dengan apa yang akan terjadi.
“Ada yang ingin kamu katakan, sebelum kau mati?” Tanya seseorang, yang berdiri disisi kanan badannya.
“Ada, aku ingin melihat siapa kalian ini?’ Ucap Wiro, tegas.
“Baik, kau akan melihat siapa kami” Jawab, seseorang itu, sambil membuka kain penutup mata Wiro.
Pedih dan memerah, saat kedua mata Wiro terbuka. Ia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Lima orang bertopeng sudah lengkap dengan senjata, berdiri sepuluh meter di depannya. Ia terus mengamati semua orang bertopeng itu, dari sepatu, baju, senjata dan badan mereka.
‘Sudah?”
“Satu lagi, aku ingin tahu apa salah saya?” Tanya Wiro.
“Kamu yang menghacurkan Mall, kilang minyak, gedung walikota, gardu PLN, dan instalasi-instalasi vital lainnya” Jelas, seseorang itu.
“Jadi aku terdakwa, bagi kalian?”
“Bukan dengan kami, tapi dengan pemerintah”
“Tapi aku tidak melakukan semua yang dituduhkan itu”
“Itu bukan urusan kami” Ucap, seseorang itu, sambil menutup mata Wiro
Bulan tinggal sepenggal. Wiro terus meronta dan berteriak-teriak. Seseorang itu, memberikan aba-aba dengan sangat lantang dan tegas.
“Tembak!!!!!!”
Serentetan peluru tajam menembus dada Wiro, darah segar muncrat membasahi seluruh tubunya. Pelan nafas Wiro berhenti, bersama dering telepon genggam seseorang itu berbunyi.
“Cepat lepaskan orang itu, kita salah tangkap”
“Tapi Pak?”
“Jangan membantah, detik ini juga kau harus lepaskan orang itu”
“Kami telah menembaknya Pak”
“Apa!!?”
Bulan hilang ditelan awan hitam, para penjaga segera menurunkan mayat Wiro. Tubuh yang penuh darah itu, di mandikan dan letakan di atas meja kantor. Belum juga penyesalan itu berakhir. Tiba-tiba orang-orang bertopeng, dengan senjata lengkap mendobrak pintu kantor dan menembaki mereka.

Sanggar Komunitas Seni Timoho Yogyakarta,2003


Kabar dari Pulau Kulingkinari



GANIS, Jatuh persis di depan pintu rumah, aroma alkohol keluar dari mulutnya. Hampir setiap hari Ganis menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan di warung Pak Binar, dan pulang dalam kondisi teler berat. Nasehat dan bentakan orang tuanya sudah tak digubris lagi. Bahkan Ia berani mencuril perhiasan Ibunnya untuk membeli minum-minuman keras. Hingga puncaknya kemarahan Ayahnya sudah tak tertahankan lagi. Malam itu Ganis dalam keadaan teler berat diseret Ayahnya.
“Kau bisa menghentikan kebiasaan mabuk ndak!!?” bentak , Ayahnya sambil menampar pipi Ganis.
“ Jika kau tak bisa di atur, lihat saja Bapak akan pergi dari rumah ini” Ancam, Ayahnya dengan mata memarah.
Ganis, diam dan tubunya lemas. Kepalanya sangat berat dan akhirnya muntah-muntah di ruang tamu. Melihat itu Ayahnya hanya menggeleng dan cepat-cepat melangkah masuk kamar.
Ganis, hanya tersenyum tipis mendengar ancaman yang keluar dari mulut Ayahnya itu. Sebab ancaman itu sudah sangat sering di lontarkan Ayahnya, tapi tidak pernah terjadi. Ayahnya tidak pernah meninggakan rumah terlalu lama. Apalagi sampai pergi dari rumah dan tidak kembali.
Belum juga rasa sinis dalam hati Ganis hilang. Tiba-tiba Ibunya menangis sambil berteriak-teriak minta tolong.
“Ganis, tolong Ayah!!”
Dengan sempoyongan Ganis, meloncat masuk kamar. Tapi sungguh kaget dan terpana saat mata Ganis melihat tubuh Ayahnya. Tubuh renta itu kejang-kejang tak berdaya.
“Cepat kau minta tolong tetangga untuk mengatar Ayah Ke Rumah Sakit” Perintah, Ibunya dengan terus menangis.
Ganis tak mampu bicara, kecuali mengangguk dan bergegas lari kerumah tetangga.
Hampir dua bulan Ayah Ganis, di rawat di Rumah Sakit karena Stroke. Peristiwa mengerikan itu, membuat Ganis tidak menyentuh minuman yang memabukan. Hingga Ganis, di kirim ke Yogya untuk melanjutkan kuliah. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, saat Ibunya mengirimkan kabar kalau Ayahnya sudah sembuh Ganis mulai lagi mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol lagi. Bahkan Ganis, sudah jarang masuk kuliah.
Ayah dan Ibu Ganis, sangat lega. Mereka pikir Ganis, sudah berubah. Apalagi sudah setahun Ganis di Yogya, selalu mengabarkan berbagai kesibukannya di kampus. Ibunya yang pernah datang ke Yogya, juga terlihat gembira melihat kamar kost Ganis yang penuh buku. Ganis benar-benar mampu memperdaya dan menipu kedua orang tuanya itu dengan sangat lihai. Sehari sebelum kedatangan Ibunya, Ia bersihkan kamar kostnya dan Ia pinjam buku-buku teman-temannya untuk di pajang di rak buku kamar kostnya
Kepiawaian Ganis menipu itu, memompa semangat Ayahnya hingga mampu bekerja kembali. Perjalanan rumah tangga keluarga Ganis, kembali normal. Hingga siang itu, Ganis berkenalan dengan seorang gadis manis, asal Solo. Hilda begitu kalau Ganis memanggilnya, gadis berkaca mata dan berambut panjang itu akhirnya jadi kekasihnya. Romantika perjalanan cinta mereka, tak ada yang menghalangi. Apalagi orang tua Hilda, juga merestui hubungan cinta mereka.
Setengah tahun Ganis menjalin cinta dengan Hilda. Cinta mereka terus tumbuh bermekaran bagai cendawan di musim hujan. Tapi pagi itu, Hilda menangis di pangkuan Ganis.
“Ada apa?” Tanya, Ganis penuh kelembutan
Hilda bangkit dan duduk di samping Ganis, dan menatap Ganis penuh kecemasan.
“Ayolah, kamu punya persoalan apa?, kalau kamu tidak bicara bagaimana aku akan tahu apa yang membuat kamu menangis” Bujuk, Ganis.
“Mas Ganis mencintai saya?” Tanya, Hilda sambil mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.
“Aku sangat mencintai kamu” Ucap, Ganis sambil mencium dan memeluk kekasihnya itu.
“Tapi kenapa kamu tanyakan itu? Tanya, Ganis heran
“Aku hamil” Ucap, Hilda pelan.
Detak jantung Ganis, berdetak sangat keras, mendengar ucapan Hilda. Ganis melangkah menghela nafas, sebab tiba-tiba dadanya begitu sesak. Bingung dan cemas nampak diraut muka Ganis, sebab wajah Ayahnya secepat kilat sudah ada dihadapannya. Ganis begitu Khawatir, bila kejadian ini ketahuan Ayahnya dan penyakit strokenya akan kambuh.
“Kamu mau bertanggung jawab to Nis?” Tanya, Hilda
Ganis menatap kekasihnya itu dengan perasaaan iba. Tapi Ganis juga tak mampu menjawab pertanyaan Hilda itu, suaranya seperti tersangkut ditenggorokan. Pikiran Ganis, justru melesat jauh di rumahnya. Bagaimana Ia akan memberi kabar pada kedua orang tuanya di Sulawesi Tengah. Lalu bagaimana Ayahnya kalau tahu, Ia telah menghamili seorang gadis.
“Gimana Nis?” Tanya, Hilda memecah lamunan Ganis.
“ Kita akan menikah” Jawab, Ganis geragaban.
Hilda menangis mendengar jawaban Ganis, Ia lari dan memeluk Ganis dengan perasaan yang sangat gembira.
Matahari berjaga, membilas dedaunan di sepanjang jagat raya. Ganis dengan kekuatiran yang teramat sangat, akhirnya memberi kabar kedua orang tuannya di Sulawesi tengah. Kedua orang tuanya hanya pasrah mendengar kabar dari Ganis. Walau Ayahnya, sangat terpukul dan kecewa mendengar kejadian itu, tapi tidak nampak di raut mukanya. Ia merasakan selama ini tak mampu mendidik anak. Getir dan perih membalut-balut jiwanya.
“Suatu saat, aku akan pergi meninggalkan semuanya, sebab aku tak mampu menjadi Ayah bagi anak-anakku” Ucapnya, pelan.
Ganis dan Hilda akhirnya menikah walau tanpa kehadiran orang tua Ganis. Keramaian pernikahan tapi sunyi hati Ganis, kedua orang tuanya yang diharapkan bisa hadir dalam acara pernikahan, ternyata tidak bisa memenuhi harapan Ganis.
Natalpun tiba, Hilda telah melahirkan bayi mungil dan cantik. Ibu Ganis sangat gembira mendengar kabar itu, tapi hal itu tidak terjadi pada Ayah Ganis. Ia terus di hantui perasaan bersalah, karena tidak mampu mendidik anak. Ayah Ganis justru banyak diam dan terkadang merenung sendiri di kamarnya.
Malam itu Ganis dan Hilda tidak bisa tidur. Anaknya yang berumur tiga bulan itu, menangis terus-menerus. Terkadang mata bayi itu, menatap langit-langit kamar lalu menangis lagi. Ganis dan Hilda semakin bingung. Belum juga tangis anaknya reda, tiba-tiba Ganis meloncat kaget. Sebab kepalanya kejatuhan cicak, tepat di ubun-ubunnya.
“Ada apa Nis?’ Tanya, Hilda sambil menggendong bayinya.
“Aku kejatuhan cicak” Jawab, Ganis
“Ya, Tuhan, ini firasat apa?” Ucap, Hilda sambil mencium bayinya.
Sungguh di luar dugaan, tiba-tiba tangis bayi itu berhenti dan tidur dengan pulas.
Pagi menjelang, Ayah Ganis mengeluarkan motor yang baru seminggu di belinya.
“Mau pergi kemana Pak? Tanya, Ibu Ganis
“Aku mau ke Wakay, mengecek kayu-kayu yang akan di kirim” Jawab, Ayah Ganis sambil duduk di atas motor.
Kapal penyebrangan antar pulau KM. Wana Bakti telah menunggu. Ayah Ganis, masuk ke kapal dengan motornya. Penumpang mulai berdatangan, kapal kecil itu akhirnya penuh sesak dengan penumpang. Mereka saling berdesakan sebab kapal itu membawa penumpang melebihi kapasitas.
Udara Cerah menghembus di teluk Tomini, Kapal KM. Wana Bakti bergerak pelan meninggalkan pelabuhan Ampana menuju pelabuhan Wakay. Orang-orang mulai berbincang, dari persoalan politik, keamanan, dan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang beranjak naik.
Ayah Ganis dan beberapa teman sekampunnya, duduk dibagian depan kapal Wana Bakti. Air laut yang tenang, seperti terbelah saat kapal melaju kencang.
“Bang, berapa kau beli motor ini?” Tanya, Udin
“Sepuluh juta, tapi aku kridit. Uang mukanya Cuma satu juta” Jawab, Ayah Ganis.
“Aku tertarik juga Bang, dimana kau kridit motor ini?”
“Daeler Sahabat”
“Bisa kau antar aku setelah pulang dari Wakay?”
“Bisa” Jawab, Ayah Ganis sambil menyelipkan sebatang rokok kretek di mulutnya.
Sudah hampir dua jam, kapal Wana Bakti melaju di tengah laut. Jam menunjukan pukul sebelas waktu Indonesia Tengah. Sungguh di luar dugaan ketika Kapal Wana Bakti sampai antara pulau Tanjung Api dan pulau Kulingkinari. Tiba-tiba hujan turun sangat deras dan angin bertiup kencang. Orang-orang mulai terdiam dengan perasaannya masing-masing. Ada yang berdoa, ada yang cemas tapi ada juga yang justru bergurau.
Kapal Wana Bakti terus bergerak pelan, walau terkadang goyang dan bergerak tidak stabil karena di gempur angin kencang. Namun tiba-tiba orang-orang berteriak dan panik.
“Awas ada badai!!” Teriak, salah satu penumpang dengan cemas.
Hujan semakin deras, badai melabrak kapal Wana Bakti dengan sangat kencang. Orang-orang menjerit, menangis penuh kecemasan yang luar biasa. Air laut sudah merengsek mulai masuk lambung kapal, beberapa penumpang menjeburkan diri ke laut. Belum juga selesai orang-orang melihat air masuk ke lambung kapal. Tiba-tiba…..
“Praaaaaak!!”
Kayu beberapa bagian kapal mulai pecah, air masuk lambung kapal semakin besar. Para penumpang semakin banyak yang menjeburkan ke laut.
“Awas badai besar datang lagi!!” Teriak, salah satu penumpang.
Orang-orang semakin cemas, melihat kapal bagian belakang sudah terendam air.
“Tolong!!” Teriak, penumpang
Teriakan-teriakan minta tolong dan jerit tangis seperti tertelan deburan ombak yang mengantam kapal yang mereka tumpangi. Ayah Ganis, duduk tenang dengan beberapa temannnya dibagian depan kapal yang belum terendam air.
Satu jam mereka begelut dengan badai, sepertiga penumpang sudah hanyut terbawa ombak. Hujan mulai reda, kapal-kapal penolong sudah berdatangan. Para penumpang harus antri untuk naik kapal-kapal penolong.
Ayah Ganis dan beberapa temannya masih duduk dibagian depan kapal yang belum terendam. Hingga satu kapal penolong datang lagi.
“Pak Ganis, ayo cepat naik” Teriak kawannya
“Aku terakhir saja, dahulukan orang tua dan anak-anak kecil” Jawab, Ayah Ganis.
“Baik, kau hati-hati sebentar lagi kapal penolong akan datang lagi” Jelas, kawan Ayah Ganis sambil menyelamatkan penumpang yang lain.
Kapal Wana Bakti yang pecah itu, tinggal berisi sepuluh orang termasuk Ayah Ganis. Tapi hujan turun lagi, angin juga bertiup sangat kencang. Ayah Ganis dan beberapa teman, semakin gelisah. Kapal penolong belum juga nampak.
“Awas badai!!” Teriak, Ayah Ganis
Penumpang yang tinggal sepuluh orang itu panik, berteriak-teriak histeris. Mereka saling meloncat, Ayah Ganis terlempar bersama motor barunya. Saat kapal penolong datang, sepuluh penumpang itu sudah hilang tak berbekas.
Penyisiran untuk mencari sepuluh penumpang itu, tak membawa hasil. Ayah Ganis, dinyatakan telah hilang bersama sembilan penumpang yang lain. Ibu Ganis, hanya pasrah menerima cobaan ini.
Dua hari setelah Ayah Ganis, dinyatakan hilang. Ibu Ganis menelpon Ganis di Yogya.
“Kriiiing…..”
“Hallo, ini Ganis?”
“Iya, ini siapa?” Tanya. Ganis
“Ibu”
“ada apa Bu”
“Kau harus pulang, Ayah kecelakan di pulau Kulingkinari dan mayatnya belum di ketemukan” Jelas, Ibu Ganis sambil menangis.
“Sudah ya, cepat kau pulang”
Ganis, menutup telepon, perasaan bersalah pada Ayahnya. Tiba-tiba berderet muncul di hadapannya.
Setahun setelah peristiwa tragis itu, Ganis masih tidak percaya kalau Ayahnya telah meninggal. Tiap hari Ia selalu berdoa dan berdoa. Semoga Ayahnya belum meninggal.
“Ayah, pulanglah, kami sangat merindukanmu” Ucap, Ganis, menutup doanya.

Untuk Teman Mamat Abas, di Sulawesi Tengah
dan Ayahmu yang entah ada dimana
Yogyakarta, 2002


Kampanye


WIRO GONDRONG, sejak pagi telah mempersiapkan motor bututnya Saringan knalpotnya dicopot, hingga suara mesin motor itu, menggelegar bagai petir. Jadwal kampanye partainya, sudah ia dengar dari kawan-kawan kampungnya seminggu yang lalu. Rambut Wiro yang gondrong sebahu itu, dicukur plontos dan ia gambari partai politik pilihannya. Ia memang janji dalam hati, kalu kampanye pertamanya akan mencukur seluruh rambutnya.
“Ro kamu tidak usah ikut-ikutan kampanye” Ucap Mbok Genuk
“Biar, kampanye itu, pestanya rakyat” Jawab Wiro, sambil mengelap motor bututnya.
“Wong edan, coba bercermin sana. Kepala itu, kamu gambari apa? Ucap Perempuan setengah baya itu, bersungut-sungut
‘Wah Simbok itu, tidak tahu. Ini yang namanya fanatik partai Mbok” Jawab wiro, dengan bangga
“Fanatik gundulmu itu, sudah pokoknya kamu tidak boleh ikut kampanye memakai motor peninggalan Bapkmu itu” Ucap Mbok Genuk, geregetan.
“Tapi aku sudah janji, akan ikut kampanye” Jawab Wiro, pelan
“Tidak boleh, jangan sekali-kali kamu pakai motor Bapakmu untuk kampanye” Ancam mbok genuk, dengan nada tinggi.
“Ah luweh!!” Jawab Wiro, sambil menghidupkan motor dan tancap gas.
“Wiro!! Wiro.!!! Jangan nekat…” Teriak Mbok Genuk, cemas.
Di pojok desa, kawan-kawan Wiro telah menunggu. Kehadiran wiro, membuat mereka semakin bersemangat. Apalagi melihat kepala Wiro, dengan kepala botak bergambar partai idola mereka.
“Wah hebat kamu ro, kamu akan jadi pusat perhatian di alun-alun nanti” Ucap Joko, memuji.
“Betul ro, para wartawan pasti akan memotret kamu dan di muat di koran” Ucap Menot, bangga
“Kita bakalan terkenal, pokoknya kamu akan jadi maskot partai kita” Ucap yang lain.
‘Sudah, kita berangkat ke alun-alun” Teriak Joko
“Kita putar-putar kampung dulu, biar semua melihat Wiro” Ucap Menot
“Baik, semua motor di belakangnya Wiro” Perintah joko, bersemangat.
HARI MERANGKAK SIANG. Matahari menyengatkan ke tubuh simpatisan partai itu, bersama raung knalpot. Orang-orang kampung berlarian di pinggir-pinggir jalanan kampung. Mereka berteriak-teriak gembira melihat Wiro dan rombongan.
“Hidup Wiro!! Hidup Wiro!!!!” Teriak orang-orang kampung, sambil melambaikan tangan.
“Edan tenan, wiro mencukur rambutnya sampai plontos” Ucap Yu Suti
“Tapi Wiro jadi tambah ganteng lho” Ucap Bude Jimah, sambil tertawa ngakak.
“Iyo, Wiro bakalan terkenal dengan, rambut gundul bergamabar partai itu, sahut Pakde Jingun.
Rombongan motor, wiro terus berkonvoi keluar dari kampung. Suara knalpot terus bersahutan bagai simponi. Orang-orang terus membicarakan Wiro, hampir semua senang melihat perubahan dalam diri Wiro. Bukan lantaran Wiro ikut kampanye, tapi wiro telah menepati janjinya untuk memotong rambutnya.
ALUN-ALUN penuh dengan simpatisan partai pilihan Wiro, Mereka melakukan berbagai atraksi. Dari mulai atraksi musik dengan knalpot, baju yang dipakai maupun bendera lambang partai mereka. Suasana alun-alun semakin ramai, ketika penyanyi dangdut mulai bernyanyi dan bergoyang. Wiro dan semua simpatisan larut ikut bergoyang.
Namun tiba-tiba ….Penyanyi itu berteriak,
“Kamu yang kepalanya Botak naik ke panggung, bergoyang denganku!!”
Dengan sedikit malu, Wiro melangkah naik ke panggung. Wiro bergoyang dan bernyanyi bersama. Para simpatisan banyak yang bangga melihat dandanan dan kepala wiro yang bergambar partai. Wiropun semakin bersemangat, apalagi setelah salah satu panitia menemui Wiro.
“ Pak Cepres, meminta anda ada disampingnya saat beliau berpidato” Ucap Panitia.
“Wah saya ndak berani mas” Jawab Wiro
“Tolong Mas, Pak Capres sendiri yang meminta” Pinta, panitia itu, dengan memohon.
“Saya nanti harus berbuat apa” Ucap Wiro, Bingung
“Anda hanya berdiri, disamping Pak Capres” Jelas, Panitia itu, sambil menunjukan tempat wiro akan berdiri di panggung.
“O.. Cuma berdiri, Ok –lah” Jawab Wiro, santai
“Terima kasih Mas, anda memang simpatisan militan” Ucap panitia itu, sambil menyamalami Wiro.
MENJELANG SORE. Simpatisan partai sudah tidak sabar. Mereka berteriak-teriak agar Capres mereka mulai berpidato.
“saudara-saudara para simpatisan partai yang saya banggakan, mari kita sambut Capres kita” Suara MC, bersemangat.
Pak Capres melangkah ke panggung yang di ikuti oleh Wiro di belakangnya. Kehadiran Pak Capres di panggung disambut yel-yel partai dari simpatisan. Lapangan itu, nyaris tanpa suara knalpot. Semua simpatisan berdiri, melihat Pak Capres dan Wiro berdiri dengan gagah di sampingnya. Para wartawan baik koran dan TV, bergerak di depan panggung. Kamera TV, dan koran berjejal mengambil momen itu.
“Saudara-saudara kader partai yang saya cintai, siang ini kita harus memperkuat barisan kita. Negara ini harus bersih dari korupsi,Kolusi dan nepotisme. Partai kita harus menyatakan kebenaran, maka coblos partai yang kita banggakan ini, sebab partai ini, akan membawa negara ini dari menuju gerbang kesejahteraan. Sekali lagi coplos partai yang kita banggakan ini. Sekian” Pak Capres, mengakihiri orasinya, sambil menjabat dan merangkul Wiro. Kejadian luar biasa itu, tidak di sia-siakan seluruh wartawan.
Gelegar suara knalpot, dan yel-yel simpatisan mengiringi turunya Pak Capres dan Wiro dari panggung.
KAMPANYE di lapangan itu, diakhiri dengan konvoi kendaraan. Wiro diminta panitia dibarisan terdepan dengan motor bututnya. Wiro benar-benar seperti pejabat. Warga kota gembira dengan pawai cantik itu, mereka berdiri dipinggir-pinggir jalan protokol. Menonton kampanye itu, dengan antusias. Orang-orang yang melihat kampanye itu, kagum dan bangga dengan Wiro yang berkepala plontos bergambar partai.
BEDUG MAGHRIB BERKUMANDANG. Para simpatisan mengakhiri konvoi. Wiro dengan motor bututnya melaju berlahan, menuju rumah. Ia sudah tidak ingat kawan-kawan sekampungnya, apakah sudah pulang atau masih dijalan. Sepanjang perjalanan, perasaan Wiro penuh kegembiraan dan bangga yang luar biasa. Ia tak menyangka, akan seterkenal ini. Ia juga membayangkan, betapa orang-orang kampung akan bangga. Sebab wajahnya akan terpampamg di koran dan televisi bersama tokoh Nasioanl Pak Capres. Ia juga akan katakan pada Simboiknya, bahwa ia telah dipeluk Pak Capres. Perasaan Wiro benar-benar, melambung.
MALAM MERANGKAK. Degup Jantung Wiro, semakin keras. Saat motor butut itu, akan memasuki gerbang kampungnya. Dalam kegelapan ia, melihat beberap motor, menunggu di pintu gerbang kampung. Wiro tersenyum bangga, ternyata kawan-kawanya menunggunya.
“Mereka pasti akan, menyambutnya dengan penuh perasaan bangga. Mereka juga pasti akan menanyakan, perasaanku berdiri diatas satu panggung dengan Pak Capres. Mereka juga akan mengatakan senang, kalau besuk pagi akan melihat wajahku di terpampang di koran dan televisi.” Ucap Wiro dalam hati.
Namun saat Wiro mendekati pintu gerbang, tiba-tiba orang-orang itu mengeluarkan pedang. Wiro hanya sempat melihat orang-orang itu, memakai penutup muka. Sebab tanpa ampun orang-orang itu, mengibaskan pedang mereka ke tubuh Wiro. Darah segar, muncrat dari sekudur tubuh Wiro. Teriakan dan keakitan wiro, menambah orang-orang bertopeng itu semakin beringas. Setelah puas, orang-orang bertopeng itu memacu motor mereka hilang di kegelapan. Wiro tak lagi mampu bergerak, seluruh tubuhnya penuh darah. Nafasnya tersengal dan mati.
PAGI HARI, Orang-orang kampung diliputi kedukaan. Mbok Genuk, pasrah melihat putra satu-satunya itu, ditemukan sudah tak bernyawa. Kabar meninggalnya Wiro, tersebar luas ke pelosok negeri. Mereka berdatangan dan mengucapkan simpati dan belasungkawa. Orang-orang hanya terheran-heran, siapa yang tega melakukan perbuatan biadab itu. Semua orang juga menyesalkan mengapa pesta Demokrasi selalu membawa korban.
Usai memakamkan jenazah Wiro, orang-orang kampung berkumpul di rumah Pak RT. Mereka membaca koran yang memuat wajah Wiro dan melihat tanyangan televisi yang meliput Wiro bersama Pak Capres saat kampanye.
Orang-orang kampung hanya diam, melihat wajah Wiro di televisi. Mereka tak mampu bicara sepatah katapun. Mbok Genuk terus meneteskan air mata di sudut ruang. Hingga Pak RT, berdiri dan ….
“Wiro adalah tumbal pesta demokrasi Negeri ini, kita hanya bisa berharap para wakil rakyat yang terpilih nanti akan memikirkan rakyat. Sebab mereka menjadi wakil rakyat, berkat pengorbanan rakyat kecil seperti Wiro “ Ucap Pak RT.
“Amin…. “ Sahut orang-orang kampung.


Yogya,2004
Pesan bagi calon-calon wakil rakyat




Dzikir Bulan Perak


Bulan memantulkan cahaya kemilau perak. Bulatan itu, bagai bergerak perlahan, bersamaan gemercik air sungai yang mengalir tenang. Udara menggelepar dingin dan beku, mengisyaratkan keheningan, binatang malam, melesat dari ruang-ruang pengap, menyanyikan simphony malam. Melingkar-lingkar di ubun-ubun seorang lelaki yang berdzikir di tengah sungai.
Tubuh lelaki itu, terendam air sebatas dada. Kedua matanya terpejam dan mulutnya terus berdzikir dengan khusyuk. Sepasang ular naga, bergelantungan di pinggir sungai, lidahnya menjulur seperti mengawasi mangsa yang hendak di telannya. Lima ekor ikan emas, berputar-putar mengelilingi lelaki itu, hingga berkilat-kilat terken cahaya bulan perak.

Sudah seminggu lelaki itu, melepas pagi, siang dan malam dalam aliran sungai. Ia merasa hidupnya, ditakdirkan untuk mencelakakan orang lain. Ia merasa tuhan tidak adil, menghadirkannya di dunia fana ini. Sebab ditangannya, berpuluh-puluh orang, harus kehilangan nyawa. Ia merasa seluruh tubuhnya, penuh dengan noda darah, dari orang-orang yang tak berdosa. Betapa ia, telah merampas hak hidup orang lain, demi lembaran-lembaran uang kertas. Seorang ibu harus kehilangan suami tercintanya, anak-anak harus kehilangan ayahnya, karena perbuatan biadabnya. Hatinya hitam pekat, sehitam sejarah perjalanan sejarah sepanjang hidupnya. Laut hitam adalah pelayaran yang musti ia lampaui. Gunung penuh kobaran lava, yang membuatnya berjingkat dalam menapaki hari esok.

“Aku harus membayar berapa duit, untuk nyawa pengusaha kayu jati itu” ucap Sutarto.
Darah lelaki itu, berdesir keras. Walau sudah hampir seratus orang yang di bunuhya. Namun setiap kali mendapat tawaran untuk membunuh. Jantung lelaki itu, seperti menghantam keras dadanya. Hingga memompa darahnya, ke ubun-ubun.

“Sepuluh jutaanpun akan kubayar, asal pekerjaanmu rapi. Kau tidak mau ada bekas pembunuhan, pada pengusaha kayu itu. Kau apakan terserah padamu. Kau ahlinya, aku hanya minta buatlah mati mendadak, bagai orang yang terkena serangan jantung.” Ucap Sutarto, sambil menyerahkan cek sebesar lima juta.

“Sisanya setelah pekerjaanmu selesai” ucap Sutarto.
“Tapi apa? Pembayaran bapak yang separo itu, membuktikan bahwa bapak tidak percaya dengan pekerjaanku” ucap lelaki, sambil menghisap rokok filternya.
“Baik, ini yang lima juta” ucap Sutarto, sambil menyerahkan cek.
“Dalam dua hari, bapak akan baca di media cetak. Sebab pengusaha kayu jati yang bapak maksud sudah mati” ucap lelaki itu, sambil menerima cek dan keluar dari ruang kantor pak Sutarto.

Waktu berputar, melipat-lipat langit. Bulan, matahari, dan bintang gumintang bergeser saling melepas berjuta-juta cahaya dan melemparnya ke bumi peradaban.
Halaman hotel Space, menebar bau anyir darah. Hotel bintang lima itu, bersimbah darah, menghantarkan nyawa lepas dari jasadnya. Pengusaha kayu jati, menerbangkan tubuhnya, dari lantai sembilan. Tubuh gempal itu, membentur dinding-dinding hotel dan akhirnya terpental jatuh di halaman hotel, kepalanya pecah, kaki dan tangannya patah.

“Bunuh diri” kata pegawai hotel, sambil menelepon polisi. Kematian pengusaha kayu jati itu, dengan cepat sudah menghiasi media cetak dan elektronik. Seorang ibu menangis histeris, saat matanya melihat jenazah suaminya terbujur membiru dan jatuh pingsan. Soerang polisi segera mengangkat ibu itu, kedalam hotel.

“Kriiiiing……kriiiing…..”. laki-laki itu, mengangkat gagang telepon. “Bagus, pekerjaanmu sangat rapi dan profesional. Mereka semua pasti menganggap pengusaha kayu jati itu, bunuh diri” ucap Sutarto, sambil tertawa puas.
“Terimakasih” ucap laki-laki itu, datar.
“Oh. Iya, kau harus datang di hotel Paris, kamar 12, nanti malam. Temanku akan memberi pekerjaan hebat padamu. Jangan lupa kau harus datang. Sudah ya, thank” ucap Sutarto sambil menutup telepon.
“Hotel Paris kamar 12” ucap laki-laki itu, sambil menulis di atas kertas.

Bulan bertengger. Cahaya berebut dengan kumpulan awan hitam. Malam redup, dibilas angin yang berhamburan menusuk setiap lubang pori-pori.
“Ini cek 50 juta, kau bunuh perempuan ini” ucap Hambali, sambil menyerahkan foto, seorang perempuan yang cukup cantik.
“Kenapa perempuan cantik ini harus mati?” ucap lelaki itu, sambil tersenyum.
“Sudahlah bunuh saja, tidak usah banyak tanya” jawab Hambali, sambil mempersilakan lelaki itu, keluar kamar.

Hampir setahun lelaki kurus dan berkumis itu, menggeluti pekerjaan penuh kematian. Setiap hari telepon berdering, saat itu juga ia harus menjadi malaikat pencabut nyawa. Apart kepolisian dibuat tidak berkutik, dengan serangkaian pembunuhan yang tak pernah ada barang bukti dan saksi. Sudah 40 korban meninggal dengan mengenaskan, belum terungkap pelakunya. Polisi hanya menduga serangkaian pembunuhan itu, dilakukan seorang yang profesional.

Pagi berhias molek. Pepohonan mandi matahari. Lelaki itu, duduk di bawah pohon rindang di ujung jalan. Matanya terus, menatap tajam gapura sekolah dasar. Rencan telah disusun, untuk menghabisi seorang ibu muda bernama Sukesi. Foto ibu Sukesi, terus dilihatnya setiap ada seorang ibu mengantar anaknya. Hampir satu jam ia menunggu. Namun tak seorangpun yang sama, dengan foto ditangannya.

“Teng!!! Teng!!!! Teng!!!” Bel sekolah tanda masuk terdengar keras. Murid-murid berhamburan masuk kelas. Lelaki itu, gelisah betapa targetnya hari itu bakalan tidak terlaksana. Saat lelaki itu akan memasukkan foto di saku jacketnya, sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti dengan tergesa. Seorang perempuan muda dengan anak berseragam sekolah dasar keluar dari mobil. Lelaki itu, menatap yajam ibu muda itu, lalu dilihatnya foto ukuran postcard yang ia bawa.
“Persis” ucap lelaki itu, sambil menstater motor dan tancap gas melesat bagai busur panah, mengarah pada perempuan muda yang menggandeng anak yang sedang menyeberang itu.
Kurang tiga meter motor lelaki itu, siap menabvrak perempuan muda dengan anaknya itu. Namun tiba-tiba anak itu, melihat motor yang dikendarai laki-laki itu.
“Ibu awas!!!!” teriak anak kecil itu, sambil mendorong ibunya.
“Brak!!!!” motor lelaki itu, menabrak anak kecil itu, hingga terpental. Lelaki itu, geragapan, melihat anak berseragam sekolah dasar itu, bersimbahan darah. Tanpa pikir panjang di kebut laju motornya dan hilang di ujung jalan.
“Intan!!!!” teriak perempuan muda itu histeris.

Orang-orang berlarian menolong. Namun anak itu, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Lelaki itu, terus di buru peasaan bersalah. Maka ia putuskan, mengakhiri pekerjaan terkutuk itu. Malam inilah, saat bulan perak adalah titik awal, bagi lelaki itu untuk pasrah dan bertaubat.
Senja menenggelamkan sang surya, di pembaringan malam. Lelaki itu, meneteskan air mata. Bersama bulan perak, memancar sepanjang jagat. Mengantar lelaki itu, ke rumah Allah.
Yogya, 2004
Buat, Cyntia dan Dewi di Jakarta

Tafakur di Pusara Istri

HAMPIR DUA TAHUN, Sukendar mengarungi pelayaran kehidupan di kota yang penuh keganasan penghuninya. Jakarta yang ia yakini mampu mendongkrak kehidupan keluarganya agar lebih baik, ternyata hanya sebuah impian. Pergulatan panjang dan melelahkan yang ia lakoni selama ini, hanya menghasilkan harapan-harapan kosong. Maka awal tahun ini, ia berniat untuk pulang kampung. Ketetapan hatinya sudah mantap dan ia tak ingin kembali lagi ke Jakarta. Sukendar sudah siap dengan berbagai cibiran saudara-saudaranya maupun tetangga kanan kiri.
SENJA MENGGELANTUNG. Bus yang membawanya ke Yogya, bergerak perlahan keluar dari terminal Pulo Gadung. Perasaannya terus di belenggu kegelisahan yang luar biasa hebat. Wajah-wajah sinis saudara-saudaranya tiba-tiba menyergapnya tanpa ampun. Umpatan dan cibiran terdengar bagai dengung lebah yang terus mengiang-ngiang di telinganya.
“Kamu itu seorang laki-laki pecundang!!” Umpat bude Ratri, sambil meludah di depannya.
“ Kamu Laki-laki yang kalah di telan zaman” ucap Pakde Karno, sambil membuang puntung rokok tepat di depan mukanya.
“Kamu itu, Lelaki yang mengejar impian, tanpa memikirkan keluarga” Sela Yu Suti, sambil melengos.
“Kalau kamu tidak nekat ke Jakarta, istrimu tidak akan sakit seperti ini” Ucap Lik Prenggo, sambil melangkah keluar rumah.
Sukendar tak mampu berbuat apa-apa, kecuali menunduk. Mulutnya seperti terkunci, walau hatinya bergemuruh keras. Ia ingin menjawab seluruh cemooh dan makian yang ditujukan padanya. Namun keinginan itu, hanya berkobar-kobar di dalam hatinya. Hingga….
“Makan-makan!! Kita istirahat silahkan makan malam!” Teriak kondektur Bus, sambil menghidupkan lampu di dalam bus.
Sukendar geragapan, ia usap kedua matanya. Bus yang bergerak berlahan dan berhenti tepat di depan Rumah makan. Tak lebih dari setengah jam bus istirahat, untuk memberi kesempatan para penumpang makan dan minum.
MALAM KELAM. Bulan disaput awan hitam. Hampir semua penumpang tertidur pulas. Sukendar pelan-pelan mencoba memejamkan kedua matanya. Jalanan yang halus, membuat sang sopir memacu bus lebih cepat. Namun kecepatan laju bus itu, tak secepat pikiran dan perasaan Sukendar yang telah sampai di kampung halamannya.
PAGI MENJELANG. Bus bergerak memasuki terminal Yogyakarta. Sukendar sengaja naik becak, untuk mengantar sampai ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang, ia tak mampu menyembunyikan perasaan rindunya pada kota kelahirannya itu. Kota yang mempertemukan dirinya dengan perempuan yang akhirnya menjadi pendaping hidupnya. Kota yang menjadi saksi,seluruh kenangan manis bersama istri tercintanya. Kota yang terpaksa ia tinggalkan, untuk mengejar impian-impian duniawi.
‘Mas kamu tidak usah mendengarkan omongan orang lain, yang penting istrimu sudah merestuimu untuk pergi ke jakarta” Ucap Wandri, istri Sukendar
“Sebenarnya aku terlalu berat, meninggalkan kamu” Jawab Sukendar, sambil menghisap rokok filter.
“Mas Sukendar ndak perlu mikir aku dulu, aku akan jaga anak kita” Jawab istrinya, meyakinkan
“Tapi kamu itu sakit lho” Sela Sukendar
“Makanya mas Kendar harus cari duit banyak, untuk bawa aku ke Rumah Sakit” Ucap istrinya, sambil tersenyum.
“Kamu tega bener to, awas nanti kalau kangen” Jawab Sukendar, sambil tangannya menepuk pantat istrinya. Tawa Suami istri itupun akhirnya pecah.
“Ada apa Mas Kok tertawa sendiri” Tanya tukang becak, sambil mengayuh pedalnya.
“Ndak apa-apa, saya ingat anak saya” Jawab Sukendar, geragapan.
“Ooo, nggihpun. Saya kira ada apa, kok gemujeng kiambak” Ucap, lelaki tua itu, sambil mengayuh becaknya perlahan.
“Sampun Pak, berhenti di depan Gapura itu” ucap Sukendar
“Njih…” Jawab, Lelaki tua itu, sambil menghentikan laju becak.
MATAHARI BERCAHAYA TERANG. Saat Sukendar menapakan kaki di teras rumah. Semua keluarga sudah menunggu, menatap penuh berjuta tanya. Setelah mencuci muka dan kaki, Sukendar bergegas menemui istrinya yang terbaring di kamar.
“Jam berapa kemarin dari Jakarta?” Tanya Wandri, pelan
“Jam lima sore” Jawab Sukendar, sambil duduk disisi tempat tidur
“ Sudah sarapan, kalau belum ini ada roti” Kata Wandri, sambil menunjuk roti diatas meja.
Sukendar menatap istrinya, penuh keharuan. Betapa istrinya masih saja memperhatikan dirinya dalam kondisi sakit seperti ini. Betapa Kasih sayangnya pada dirinya, bagai sungai gangga. Betapa ia tak memikirkan kondisi tubuhnya, hanya untuk membahagiakan suaminya. Tak terasa butiran bening, jatuh dari kelopak mata Sukendar.
“Lho mas, suruh sarapan kok malah nangis. Ucap istri Sukendar
“Aku tidak tega, lihat kamu seperti ini. Maafkan aku ya” Ucap Sukendar, sambil mencium kening istrinya.
“ Aku sudah lega Mas Kendar pulang” Ucap Wandri, sambil tersenyum
SUDAH SEMINGGU. Sukendar berada di rumah. Ia sudah bertekat merawat anak dan istri tercintanya. Segala pekerjaan yang selama ini dikerjakan istrinya, kini ia yang mengerjakannya. Dari mulai masak air, mencuci, setrika. Memandikan putri satu-satunya hingga mengantar sekolah.
HINGGA SENJA ITU TIBA. Istrinya kesakitan dengan nafas tersengal.
“Bawa aku ke rumah sakit Mas” ucap istrinya, pelan
“ Cari taksi” Teriak Sukendar gugup.

HAMPIR DUA MIMGGU. Istri Sukendar terkulai lemas di Rumah Sakit. Selang pernafasan dan jarum infus terus terpasang di tubuhnya. Sukendar tak mampu bicara banyak, dihadapan istri tercintanya. Ia hanya mampu berdoa semoga Tuhan menolong istrinya. Menyembuhkan segala penderitaan istrinya.
“Katup Jantung istri anda bocor” Ucap Dokter Budi
“Bagaimana agar istri saya sembuh Dok” Ucap Sukendar, gemetar
“Jalan satu-satunya hanya dengan operasi”
“Operasi Dok?, berapa biayanya?” Tanya, Sukendar
“50 juta, bagiama?” Tanya dokter, sambil menulis resep
“Apa dengan operasi istri saya, akan sembuh Dok?”
“Kemungkinan berhasilnya hanya 5 persen. Bapak pikir dulu dan ini saya kasih resep untuk menghilangkan sesak nafas dan kebugaran tubuhnya. Ucap Dokter budi, sambil menyerahkan resep.
SENJA TEMARAM. Sukendar tak henti-hentinya meneteskan air mata. Betapa berat cobaan yang menimpa keluarganya. Pikiran dan perasaanya terus dihantui kecemasan yang luar biasa.
“Tuhan tolong saya, apa yang mesti aku lakukan” Mulut Sukendar terus berdoa, setelah ia mengerjakan sholat malam. Sukendar menangis sesunggukan, diatas sajadah. Ia terus memohon ampun, atas segala yang ia lakukan. Apapun akan ia lakukan asal istri tercintanya sembuh.
“Besuk boleh pulang” Ucap istrinya, dengan senyum mengembang
“Infus di tanganmu belum dicopot” Kata Sukendar, sambil menggendong putri satu-satunya.
“Ini infus terakhir, nanti malam kalau habis akan di copot” Ucap istrinya, sambil mencium gadis berumur 6 tahun itu.
Sukendar haru melihat, istrinya yang begitu bahagia. Betapa istrinya sangat kangen bercanda dengan putri satu-satunya itu.
SIANG MENJELANG. Sukendar dan putrinya berangkat ke Rumah Sakit. Setelah membereskan seluruh urusan administrasi, akhirnya istrinya keluar dari Rumah sakit. Ada kebahagiaan yang memancar dari wajah istrinya, sepanjang lorong Rumah Sakit. Apalagi Mentari putrinya, minta pangku di kursi roda tempatnya duduk yang didorong perawat jaga.
“Sudah sehat to nduk” Ucap Mbah Darmo, ketika istrinya sudah sampai rumah.
“Nggih lumayan Mbah” Jawab istri Sukendar, pelan
“ Yang penting jangan terlalu capek” Sela Bude Darmi
‘Iya, harus banyak istirahat” Ucap, perempuan yang duduk di sudut ruang
SENJA MERANGKAK. Sukendar mencuci dan istrinya sudah tidur siang setalah kecapaian menemui sedulur-sedulur yang datang.
“Aku mau dimandikan di kamar atau di kamar mandi” Tanya istrinya, ketika Sukendar masuk ke kamar
“Kamar Mandi” Jawab Sukendar, sambil memberikan handuk pada istrinya. Cahyo keluar untuk mempersiapkan air hangat.
“Buk!!” Terdengar suara benda jatuh dari kamar. Cahyo segara melompat lari masuk kamar.
“Astagfirulaahal’ Azhiim!!!!!” Sukendar terus merangkul istrinya yang terjatuh dari tempat tidur. Kepanikan Sukendar semakin bertambah ketika istrinya lunglai tak berdaya. Sukendar terus menyebut asma Allah, mohon perlindungan dan mohon ampun. Sukendar terus teriak-teriak histeris, ketika degup jantung istrinya tiba-tiba berhenti. Ia terus mencoba menolong istrinya dengan memberi bantuan pernafasan.
“ Ya Allah, tolong istri saya!!! Astagfirulaahal’ Azhim!!” Sukendar terus mencoba menolong istrinya. Senja itu, Istrinya segera di larikan ke Rumah sakit. Namun Allah telah memanggilnya, Allah telah meminta kembali istrinya.
SENJA BERGERAK PELAN. Menaburkan berjuta-juta kepiluan. Angin berhembus, menebarkan duka yang luka. Sukendar terduduk lesu, memandang Pusara perempuan yang selama ini, menjadi pendaping hidupnya. Mulut Sukendar terus berzikir.
“Pak sudah selesai berdoanya?” Ucap Mentari, sambil berdiri di samping Sukendar.
Sukendar hanya mampu menggangguk, sambil mencium kedua pipi putrinya.
“Pun nggih Bu ” Ucap mentari, Sambil menggandeng tangan Sukendar.

Yogya, 2004
Untuk Almarhumah tercinta
Dari Mutiara Harwinda cahya mentari