Dzikir Bulan Perak


Bulan memantulkan cahaya kemilau perak. Bulatan itu, bagai bergerak perlahan, bersamaan gemercik air sungai yang mengalir tenang. Udara menggelepar dingin dan beku, mengisyaratkan keheningan, binatang malam, melesat dari ruang-ruang pengap, menyanyikan simphony malam. Melingkar-lingkar di ubun-ubun seorang lelaki yang berdzikir di tengah sungai.
Tubuh lelaki itu, terendam air sebatas dada. Kedua matanya terpejam dan mulutnya terus berdzikir dengan khusyuk. Sepasang ular naga, bergelantungan di pinggir sungai, lidahnya menjulur seperti mengawasi mangsa yang hendak di telannya. Lima ekor ikan emas, berputar-putar mengelilingi lelaki itu, hingga berkilat-kilat terken cahaya bulan perak.

Sudah seminggu lelaki itu, melepas pagi, siang dan malam dalam aliran sungai. Ia merasa hidupnya, ditakdirkan untuk mencelakakan orang lain. Ia merasa tuhan tidak adil, menghadirkannya di dunia fana ini. Sebab ditangannya, berpuluh-puluh orang, harus kehilangan nyawa. Ia merasa seluruh tubuhnya, penuh dengan noda darah, dari orang-orang yang tak berdosa. Betapa ia, telah merampas hak hidup orang lain, demi lembaran-lembaran uang kertas. Seorang ibu harus kehilangan suami tercintanya, anak-anak harus kehilangan ayahnya, karena perbuatan biadabnya. Hatinya hitam pekat, sehitam sejarah perjalanan sejarah sepanjang hidupnya. Laut hitam adalah pelayaran yang musti ia lampaui. Gunung penuh kobaran lava, yang membuatnya berjingkat dalam menapaki hari esok.

“Aku harus membayar berapa duit, untuk nyawa pengusaha kayu jati itu” ucap Sutarto.
Darah lelaki itu, berdesir keras. Walau sudah hampir seratus orang yang di bunuhya. Namun setiap kali mendapat tawaran untuk membunuh. Jantung lelaki itu, seperti menghantam keras dadanya. Hingga memompa darahnya, ke ubun-ubun.

“Sepuluh jutaanpun akan kubayar, asal pekerjaanmu rapi. Kau tidak mau ada bekas pembunuhan, pada pengusaha kayu itu. Kau apakan terserah padamu. Kau ahlinya, aku hanya minta buatlah mati mendadak, bagai orang yang terkena serangan jantung.” Ucap Sutarto, sambil menyerahkan cek sebesar lima juta.

“Sisanya setelah pekerjaanmu selesai” ucap Sutarto.
“Tapi apa? Pembayaran bapak yang separo itu, membuktikan bahwa bapak tidak percaya dengan pekerjaanku” ucap lelaki, sambil menghisap rokok filternya.
“Baik, ini yang lima juta” ucap Sutarto, sambil menyerahkan cek.
“Dalam dua hari, bapak akan baca di media cetak. Sebab pengusaha kayu jati yang bapak maksud sudah mati” ucap lelaki itu, sambil menerima cek dan keluar dari ruang kantor pak Sutarto.

Waktu berputar, melipat-lipat langit. Bulan, matahari, dan bintang gumintang bergeser saling melepas berjuta-juta cahaya dan melemparnya ke bumi peradaban.
Halaman hotel Space, menebar bau anyir darah. Hotel bintang lima itu, bersimbah darah, menghantarkan nyawa lepas dari jasadnya. Pengusaha kayu jati, menerbangkan tubuhnya, dari lantai sembilan. Tubuh gempal itu, membentur dinding-dinding hotel dan akhirnya terpental jatuh di halaman hotel, kepalanya pecah, kaki dan tangannya patah.

“Bunuh diri” kata pegawai hotel, sambil menelepon polisi. Kematian pengusaha kayu jati itu, dengan cepat sudah menghiasi media cetak dan elektronik. Seorang ibu menangis histeris, saat matanya melihat jenazah suaminya terbujur membiru dan jatuh pingsan. Soerang polisi segera mengangkat ibu itu, kedalam hotel.

“Kriiiiing……kriiiing…..”. laki-laki itu, mengangkat gagang telepon. “Bagus, pekerjaanmu sangat rapi dan profesional. Mereka semua pasti menganggap pengusaha kayu jati itu, bunuh diri” ucap Sutarto, sambil tertawa puas.
“Terimakasih” ucap laki-laki itu, datar.
“Oh. Iya, kau harus datang di hotel Paris, kamar 12, nanti malam. Temanku akan memberi pekerjaan hebat padamu. Jangan lupa kau harus datang. Sudah ya, thank” ucap Sutarto sambil menutup telepon.
“Hotel Paris kamar 12” ucap laki-laki itu, sambil menulis di atas kertas.

Bulan bertengger. Cahaya berebut dengan kumpulan awan hitam. Malam redup, dibilas angin yang berhamburan menusuk setiap lubang pori-pori.
“Ini cek 50 juta, kau bunuh perempuan ini” ucap Hambali, sambil menyerahkan foto, seorang perempuan yang cukup cantik.
“Kenapa perempuan cantik ini harus mati?” ucap lelaki itu, sambil tersenyum.
“Sudahlah bunuh saja, tidak usah banyak tanya” jawab Hambali, sambil mempersilakan lelaki itu, keluar kamar.

Hampir setahun lelaki kurus dan berkumis itu, menggeluti pekerjaan penuh kematian. Setiap hari telepon berdering, saat itu juga ia harus menjadi malaikat pencabut nyawa. Apart kepolisian dibuat tidak berkutik, dengan serangkaian pembunuhan yang tak pernah ada barang bukti dan saksi. Sudah 40 korban meninggal dengan mengenaskan, belum terungkap pelakunya. Polisi hanya menduga serangkaian pembunuhan itu, dilakukan seorang yang profesional.

Pagi berhias molek. Pepohonan mandi matahari. Lelaki itu, duduk di bawah pohon rindang di ujung jalan. Matanya terus, menatap tajam gapura sekolah dasar. Rencan telah disusun, untuk menghabisi seorang ibu muda bernama Sukesi. Foto ibu Sukesi, terus dilihatnya setiap ada seorang ibu mengantar anaknya. Hampir satu jam ia menunggu. Namun tak seorangpun yang sama, dengan foto ditangannya.

“Teng!!! Teng!!!! Teng!!!” Bel sekolah tanda masuk terdengar keras. Murid-murid berhamburan masuk kelas. Lelaki itu, gelisah betapa targetnya hari itu bakalan tidak terlaksana. Saat lelaki itu akan memasukkan foto di saku jacketnya, sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti dengan tergesa. Seorang perempuan muda dengan anak berseragam sekolah dasar keluar dari mobil. Lelaki itu, menatap yajam ibu muda itu, lalu dilihatnya foto ukuran postcard yang ia bawa.
“Persis” ucap lelaki itu, sambil menstater motor dan tancap gas melesat bagai busur panah, mengarah pada perempuan muda yang menggandeng anak yang sedang menyeberang itu.
Kurang tiga meter motor lelaki itu, siap menabvrak perempuan muda dengan anaknya itu. Namun tiba-tiba anak itu, melihat motor yang dikendarai laki-laki itu.
“Ibu awas!!!!” teriak anak kecil itu, sambil mendorong ibunya.
“Brak!!!!” motor lelaki itu, menabrak anak kecil itu, hingga terpental. Lelaki itu, geragapan, melihat anak berseragam sekolah dasar itu, bersimbahan darah. Tanpa pikir panjang di kebut laju motornya dan hilang di ujung jalan.
“Intan!!!!” teriak perempuan muda itu histeris.

Orang-orang berlarian menolong. Namun anak itu, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Lelaki itu, terus di buru peasaan bersalah. Maka ia putuskan, mengakhiri pekerjaan terkutuk itu. Malam inilah, saat bulan perak adalah titik awal, bagi lelaki itu untuk pasrah dan bertaubat.
Senja menenggelamkan sang surya, di pembaringan malam. Lelaki itu, meneteskan air mata. Bersama bulan perak, memancar sepanjang jagat. Mengantar lelaki itu, ke rumah Allah.
Yogya, 2004
Buat, Cyntia dan Dewi di Jakarta

Tidak ada komentar: