Wajah-Wajah Iblis


SUKRON, Meletakan buku kumpulan cerita pendek yang hampir seminggu di bacanya. Ia pandangi sampul buku bergambar iblis yang di paku kepalanya itu dengan perasaan ketakutan yang luar biasa. Ia merasakan hari – hari esok adalah hari yang penuh keganasan. Apalagi kalau ingat kejadian beruntun dalam seminggu ini. Sewaktu Ia membersihkan sanggar, tiba-tiba Ia di datangi tiga orang berperawakan besar dan berambut gondrong, mengancam akan membunuh bila tidak mau melepas jabatannya sebagai ketua Paguyubn Seni Rakyat (PSR).
Saat itu Ia berpikir hanya gertakan saja, tetapi dua hari berselang Ia mendapati sekretariat sanggar berantakan dan seluruh isinya mabul-mabul bahkan foto –foto yang ada gambarnya di sobek-sobek tanpa ampun. Kemudian Ia di panggil seluruh anggota Paguyuban Seni Rakyat (PSR), lantaran dicurigai membawa uang organisasi.

Sekarang Sukron, merasakan setiap langkah dalam menapaki hari esok mengandung aroma kematian. Kemanapun Sukron melangkah Ia selalu di buntuti wajah-wajah iblis dalam segala bentuk rupa. Rumah yang dulu sangat tentram dan nyaman untuk merebahkan badannya yang lelah kini seprti raksasa berwajah iblis yang siap mencabut nyawanya. Mata Sukron kelihatan rembes karena kurang tidur, setiap malam sepertinya ada yang menyatroni rumah kontrakannya. Sukron benar-benar dihantui ketakutan, sebab nyawanya akan dapat hilang setiap saat.

“Pak tolong saya Pak, Saya benar-benar takut. Sungguh, saya tidak mengada-ada. Saya yakin mereka adalah orang-orang suruhan yang ingin saya mundur dari ketua Paguyuban Seni Rakyat. Benar Pak, tolong saya” Sukron menuturkan pada Pak Joko mantan Paguyuban Seni Rakyat itu di rumahnya.
“Apa saya salah, kalau tidak mau melepaskan jabatan saya sebagai ketua? Saya itukan dulu dipilih secara syah oleh anggota. Bapak juga melihat sendiri pemilihannya. Makanya saya datang kesini dan saya percaya kalau Bapak dapat menyelesaikan persoalan ini.”
Pak Joko hanya tersenyum tipis dan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Sukron.
“Pak tolong saya Pak”
“Begini Mas Sukron, saya ini hanya mantan anggota. Mas Sukron juga tahu sendiri, bahwa namanya mantan anggota itu tidak bisa berbuat banyak. Paling-paling hanya memberi dorongan agar Paguyuban Seni rakyat tetap maju dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya ingin mementingkan kebutuhan pribadi. Saya kan sering ngomong dalam pertemuan-pertemuan anggota maupun pengurus. Dahulukan kepentingan organisasi dari pada kepentingan pribadi. Apalagi sampai mengambil uang organisasi.”
“Tapi, saya tidak mengambil atau memakai uang itu. Saya belum pernah sepeserpun meminta uang pada bendahara. Saya berani sumpah!”
“Saya itu hanya mendengar, kalau Mas Sukron mengambil uang organisasi.”
“Fitnah Pak, itu hanya fitnah!”
“Sudahla Mas Sukron mundur saja dan mengembalikan uang yang dipakai.”

Sukron kaget, mendengar ucapan Pak Joko. Ia merasa Pak Joko yang selama ini Ia hormati dan menjadi panutannya, berubah bagai manusia berwajah iblis yang siap menerkamnya. Sukron cepat-cepat kabur dari tempat terkutuk itu.
“Bajingan!, sompret!, ini benar-benar sudah edan” Sukron memaki dalam hati sambil terus berjalan.
“Ini organisasi apa? Setiap hari mengembar-gemborkan tentang moral, tetapi penghuninya justru tidak bermoral. Seni kita ini untuk rakyat jadi kita harus bermoral. Prek!!”

Langit kelam. Sukron menyusuri lorong-lorong kampung. Masuk Gang dan keluar Gang. Pikiran Sukron jauh menerawang menerobos kekelaman batinnya. Jalanan yang becek sudah tak digubrisnya. Ia terus berjalan masuk perkampungan belok, masuk ke Gang-gang sempit hingga tiba di sebuah rumah kecil dan bersih. Di depan rumah itu Sukron berhenti, tapi Sukron sudah mantap akan meminta bantuan pada Lastri, gadis manis yang juga mantan anggota Paguyuban Seni Rakyat.
“Ada apa Mas? Ada yang bisa saya bantu?” Ucap Lastri pelan. Setelah Sukron di persilahkan duduk di ruang tamu.
“Saya mau pinjam uang, karena saya di tuduh melarikan uang organisasi”
“Siapa yang menuduh Mas? Lastri heran
“Semua tapi kelihatannya di dukung orang-orang mantan anggota PSR. Sebab mereka menginginkan aku mundur dari ketua KSR” ucap Sukron mantap.
Lastri sejenak diam, mendengar penuturan Sukron. Lalu Lastri bangkit dari kursi.
“Ini fitnah Mas, sebab saya yakin Mas Sukron tidak mungkin mengambil uang itu. Saya tahu orang-orangnya Mas, mereka hanya ingin menggantikan posisi Mas Sukron sebab hanya dengan cara memfitnah Mas Sukron mereka mampu menyingkirkan Mas.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Saya lama kenal mereka, bahkan sebelum Mas Sukron masuk di PSR. Sudah Mas Sukron mundur saja dengan begitu masalahnya akan selesai.”
Sukron terpana mendengar penjelasan Lastri yang berapi-api itu.
“Bener juga” Pikir Sukron
“Mereka hanya menginginkan Mas Sukron mundur, setelah itu mereka akan melupakan masalah uang.”
“Kamu tahu siapa di balik semua ini?”
“Ndak usah saya sebutkan, nanti juga tahu sendiri kalau Mas Sukron sudah mundur dari ketua.”

Sukron tersenyum melangkah keluar dari rumah Lastri. Panas matahari terasa memompa setiap langkah kakinya. Ia hanya berharap segara sampai sampai ke rumahnya. Ia akan tulis surat pengunduran diri sebagai ketua Paguyuban Seni Rakyat.

Senja menggelantung. Sukron yang berjalan sedikit berlari, sampai di rumahnya. Tapi alangkah terkejutnya Sukron. Di usap kedua matannya, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Isi Rumahnya berantakan, baju buku, lemari hancur. Sukron duduk lemas diatas tempat tidur yang telah pecah. Ia pandangi seluruh sudut-sudut rumahnya yang telah porak-poranda. Hingga matanya tertuju pada secarik kertas dengan tulisan berwarna hitam. Bergegegas Sukron mengambil itu dan dibacanya pelan.
“Cepat tinggalkan kampung ini, sebelum kami bunuh!” Wajah Sukron pucat dan tubuhnya gemetar hebat. Wajah-wajah iblis itu tiba-tiba hadir di depan mukanya dan makin lama semakin banyak. Sukron menjerit dan meronta lalu ambruk
Hari demi hari di lalui Sukron dengan diam, tanpa makan dan minum hingga tubuhnya semakin kurus. Tetangga yang melihat tingkah laku Sukron, yang semakin nganeh-anehi juga bingung. Bahkan terkadang Ia melempari warga yang melewati di depan rumahnya.
Hingga puncaknya kampung itu di buat geger, karena Sukron di temukan mati mengenaskan, dengan tubuh penuh luka. Darah muncrat-muncrat keseluruh ruangan rumah yang tidak terlalu luas. Agaknya Ia mengalami sakaratul maut yang panjang. Dengan sekejab orang-orang sudah berkerumun bagai dengung lebah. Berdesak-desakan untuk melihat mayat Sukron.

Para anggota Paguyuban Seni Rakyatpun mulai curiga dan bertanya-tanya, siapa kiranya yang melakukan pekerjaan tak berprikemanusiaan itu. Kerumunan berangsur-angsur bubar ketika Pak Joko memberi komando untuk segera memandikan jenazah Sukron dan hari itu juga di makamkan.
Malam hari usai pemakaman Sukron, Pak Joko tersenyum tipis di tempat tidurnya. Ia telah selesaikan tugasnya dengan baik. Hatinya puas sebab Ia akan menggantikan ketua Paguyuban Seni Rakyat yang akan mendapat bantuan dana sepuluh juta. Ia juga teringat bagaimana tadi malam, dengan tangan gemetar, Ia ayunkan pedang membacoki tubuh Sukron.


Yogyakarta, Oktober 2002


Terompet

SUKRON, Malam jumat kliwon itu sengaja tidak keluar rumah. Rasa khawatir dan takut selalu menghantui perasaannya, karena seminggu belakangan ini, ia dicari-cari orang-orang tak di kenal dan mengancam akan membunuh. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang tak di kenal itu, terus mencarinya. Sukron, juga teringat seminggu yang lalu, saat ia akan berangkat kuliah dihadang beberapa orang dengan memakai penutup muka, mengacung-acungkan pedang persis di depan mukanya. Saat itu ia berpikir orang-orang bertopeng itu hanya salah orang. Sebab ia merasa tidak punya masalah dan tidak pernah membuat persoalan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Tetapi sejak peristiwa menakutkan itu, tiap hari ada saja yang mencarinya. Bahkan kemarin ia harus lari menyelamatkan diri, ketika orang-orang bertopeng itu, mengejarnya dan mengibas-ibaskan pedang yang diarahkan ketubuhnya.
“Benar Pak, saya tidak bohong. Orang-orang bertopeng itu, akan membunuh saya” Jelas, Sukron pada Pak RT
“Tiap hari mereka mencari saya untuk dibunuh, betul Pak, saya tidak tahu kesalahan saya.”
Pak RT hanya tersenyum, mendengar penjelasan Sukron.
“Mosok to dik, anda di kejar-kejar akan dibunuh tapi tidak tahu apa kesalahannya” Ucap, Pak RT sambil mengisap rokok
“Betul Pak, saya tidak tahu, kenapa mereka akan membunuh saya”
“Saya mohon maaf Dik, saya itu Cuma ketua RT, jadi saya tidak bisa membantu persoalan Dik Sukron. Tapi perlu Dik Sukron, ketahui kalau orang-orang bertopeng itu, mencari dan akan membunuh Dik Sukron, pasti Dik Sukron punya kesalahan dan kesalahannya itu biasanya perihal keterlibatan seseorang dalam sebuah pergerakan”
Sukron, kaget dan sekaligus ketakutan, setelah mendengar penjelasan Pak RT. Ia cepat-cepat angkat kaki dan keluar dari tempat itu, Sukron merasa Pak RT, tahu keberadaan orang-orang bertopeng yang mengejarnya. Sukron mempercepat langkah agar segera sampai kerumah, rasa was-was dan khawatir terus mengikat perasaannya. Apalagi setelah belokan jalan depan Pak RT, ia merasa ada suara langkah kaki yang membuntutinya.
Sukron terus melangkah dan akhirnya rasa takut itu, memacu langkah kakinya dan secepat kilat, ia berlari tugang langgang memasuki pekarangan rumahnya. Cepat-cepat Sukron, masuk kamar dan mengintip keluar rumah di balik gorden jendela. Sukron, terkejut dan ketakutan yang luar biasa dengan apa yang di lihatnya. Orang-orang bertopeng itu, sudah ada di halaman rumahnya. Ia sudah tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya pasrah dengan apa yang akan terjadi.
Malam terus berlalu, bulan di telan awan hitam. Tubuh Sukron, gemetar tak berdaya, sebab minta tolong ketetanggapun sudah tidak mungkin. Sukron, semakin bingung dengan apa yang akan di lakukan. Rumah yang biasanya ramai itu, malam ini seperti kuburan. Orang tua Sukron serta kedua adiknya, sudah hampir seminggu belum pulang membesuk kakek yang sakit di desa. Belum juga hilang kegelisahan Sukron, tiba-tiba…
“prang!!!” Kaca jendela kamar Sukron, pecah kena lemparan batu dari luar. Sukron berlari ke kamar orang tuanya. Belum juga ia duduk di sudut kamar.
“Prang!!! Prang!!!” kaca jendela kamar orang tuanya pecah, dan salah satu pecahannnya tepat mengenai dahinya. Darah meleleh kemukanya, ia usap darah itu lalu berlari keruang tengah. Namun pandangan Sukron, makin lama makin kabur. Seluruh barang yang ia lihat berubah menjadi dua, kursi, meja, lukisan, vas bunga, pintu, jendela. Ia mencoba melangkah ke arah kursi, tapi belum juga sampai sudah ambruk dan pingsan.
Angin berhembus pelan, mengiringi kepergian orang-orang bertopeng yang penuh dendam dan amarah itu, dari rumah Sukron.
Malam terus bergerak, melepas ribuan hawa menyeramkan di seputar rumahnya. Sukron, terus mempenjarakan keinginannya untuk keluar rumah. Sementara orang-orang tumpah ruah keluar rumah untuk melihat layar tancap dilapangan pojok desa. Cewek-cewek dan teman-temannya pasti ada di lapangan, mereka saling bercanda sambil melihat film yang sengaja diputar oleh perusahaan jamu itu. Sukron, hanya membayangkan segala kemeriahan di luaran. Ia lebih menyanyangi nyawanya dari pada sekedar merayakan tahun baru.
Tepat jam sepuluh malam, masyarakat teriak histeris, ketika adegan-adegan film horor semakin mencakam, teriakan-teriakan ketakutan penonton melambung memenuhi lapangan.
“Praaak!!!” Pintu rumah Sukron, pecah. Sukron terkejut ketika orang-orang bertopeng itu masuk rumahnya dengan paksa. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya tanpa ampun, kemudian ia berlari meloncat jendela dan hilang di kegelapan.
“Mana dia?!!!” Teriak salah seorang
“Terus cari sampai ketemu!!” Ucap, yang lain
“Malam ini Dia harus mati!!!” Teriak, seseorang dengan tubuh tinggi
“He..!! dia kabur meloncat jendela” teriak laki-laki bertopeng itu.
“Kejar!!!!!” Perintah, seseorang bertubuh jangkung itu.
Pedang-pedang mereka berkilatan terkena cahaya lampu. Setelah merusak seluruh isi rumah Sukron, mereka pergi mengejar Sukron.
Malam terus merangkak, bulan berkilauan menebarkan warna perak. Orang-orang masih asyik melihat film. Sukron terus berlari, meloncat dengan nafas tersengal. Kakinya yang melempuh tak digubrisnya lagi, bahkan bajunya sudah basah oleh keringat. Hingga akhirnya Sukron, menghentikan pelariannya dan duduk di sebuah warung. Nafasnya masih belum teratur, meloncat-loncat saling berebut untuk keluar dan masuk dan keluar dari hidung dan mulut.
“Minum apa Mas?” Tanya, perempuan pemilik warung yang matanya sudah ngantuk.
“Es teh” Jawab, Sukron dengan mata terus memandang jalanan depan warung.
“Wah ndak ada, jam satu malam kok cari es teh” Gerutu, pemilik warung
“Ya sudah, teh hangat saja” Sahut, Sukron tak sabar
Belum juga teh hangat selesai dibuat, Sukron melihat konvoi motor dengan orang-orang bertopeng dengan pedang berkilatan. Sukron cepat-cepat lari dari tempat itu.
“Mas wedange tehnya, wow ra urus. Pesen teh hangat kok malah pergi” Ucap, pemilik warung itu dongkol.
Perempuan pemilik warung itu, akhirnya tersenyum. Setelah melihat konvoi motor itu berhenti di depan warungnya.
“Ayo masuk, mau makan apa? Minumannya juga komplit” Ucap, pemilik warung itu, setengah teriak
“Ayo makan!!!” Teriak, orang bertopeng yang berhenti lebih dulu.
“Makan, makan!!!” Teriak, yang lain
Orang-orang bertopeng dengan dua puluh motor itu berhenti, lalu masuk ke warung dan memakan apa saja yang tersaji di meja. Dalam sekejab, tahu, tempe, ayam goreng, telur, roti dan berbagai makanan sudah ludes. Perempuan pemilik warung itu, matanya terbelalak ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Bahkan ia sudah tak mampu lagi mengenali satu-persatu, kalau diminta menghitung yang mereka makan. Tiba-tiba pemilik warung tersenyum tipis, sebab ia sudah mendapatkan jumlah duit yang akan diucapkan pada mereka.
“Dua ratus ribu” Ucap, perempuan pemilik warung itu dalam hati.
Namun perempuan pemilik warung itu, tiba-tiba menjerit-jerit, Minta tolong. Sebab orang-orang bertopeng itu, secepat kilat meloncat ke motonya dan meninggalkan warung tanpa membayar sepeserpun. Perempuan pemilik warung itu, akhirnya ambruk dan pingsan.
Lapangan pojok desa masih ramai, orang-orang masih duduk-duduk di rerumputan setelah melihat film. Sukron menelusup di keramaian, ia mencoba mencari teman-temannya tapi tak diketemukan. Lalu ia sembunyi di kerumunan dan duduk di bawah pohon beringin pojok lapangan. Ia menata perasaan takutnya yang bertubi-tubi menghantuinya. Tanpa di ketahui Sukron, sepasang mata terus mengawasi gerak-geriknya. Tubuh Sukron, lemas dan lelah. Pandangan matanya berkunang-kunang karena kecapaian. Pelan-pelan ia bersandar di batang pohon beringin dan tertidur.
Belum juga lima belas menit ia tertidur,
“Crass!!” Kilatan pedang tajam, tepat mengenai tubuhnya.
Sukron, mengaduh, dan darah segar keluar deras dari tubuhnya. Ia berusaha lari dari tempat itu, tapi lagi-lagi
“Craas!! Craass!!!!” Sabetan pedang, menghajar tepat di kepala dan mukanya. Darah muncrat tak tertahankan, mata Sukron kabur tertutup darah. Hingga dalam dua langkah, iapun ambruk. Orang-orang bertopeng itu dengan membabi buta merajam tubuh Sukron dengan sangat garang. Orang-orang yang melihat kejadian itu, tak bisa berbuat banyak. Melihat keganasan dan anarkisme di depan matanya. Tubuh Sukron yang bersimbah darah, mengejang bagai ayam di sembelih dan akhirnya diam tak bernyawa.
konvoi orang-orang bertopeng itu, meninggalkan lapangan. Sambil berteriak
“Demonstran itu telah mati!!!”
Sidokabul 37-C Yogya 2003



Serangan Fajar


PAGI CERAH. Darpo dan beberapa orang masih memperbincangkan Pasangan presiden mana kiranya yang akan menang dalam pemilu mendatang. Mereka saling berdebat bagai pengamat politik.
“Kalau aku pasti Pasangan Rukmini dan Mas Ngabei yang menang” Ucap Cemplon
“Wah yang ndak bisa, hampir semua penduduk di negeri ini, sudah percaya dengan Pak Gembul dan Pak Siku. Jadi aku pastikan bahwa merekalah yang akan mejadi presiden dan wakil presiden” Sahut Dalijo
“Itu dulu Kang, tapi sekarang belum tentu. Kelihatanya saja banyak, tapi belum tentu menang dalam PEMILU nanti” Sanggah Joyo
“Kamu kemarin lihat sendiri, bagaimana kampanye Pasangan Ibu Rumini dan Mas Ngabei to?. Mbludak bagai lautan. GOR kota penuh sesak oleh pendukungnya. Seluruh jalan protokol macet total, penuh dengan bendera bergambar foto-foto mereka. Ucap Sukiman, sombong
“Kampanye itu, tidak bisa dijadikan ukuran” Sela Darpo
“Kok bisa begitu Lik” Tanya Cemplon
“Lha wong yang pada kampanye itu, pada di kasih duit kok. Bisa jadi lho, hari ini kampanye Pasangan Ibu Rumini dan Mas Ngabei, besuk kampanye pasangan Pak Gembul dan Pak Siku. Lusanya lagi ikut kampanye pasangan Pak Singgih dan Pak Sonto” Jelas Darpo, sambil mengisap rokok filter.
“Iyo po Lik” Tanya Dalijo
“Bener. Kamu tahu Pak Jiman to?” Ucap Darpo
“Pak Jiman, tim sukses pasangan Pak Gembul dan Pak Siku itu? Tanya Cemplon
“Iya, setiap kampanye selalu memberikan uang 25 ribu dan kalau janji mau mencoblos Pak Gembul dan Pak Siku dijanjikan akan di kasih duit 100 ribu” Jelas Darpo, serius
“Wow, makanya kalau mau kampanye pada ngumpul di rumah Pak Jiman” Ucap Joyo, sambil melepas kopiahnya.
“Lha kalau sampeyan itu, pendukung siapa Lik?” Tanya Dalijo
“Aku mendukung semua Pasangan Calon presiden dan wakil presiden itu,” Jawab Darpo, sambil tertawa ngakak.
“Wah edan kalau itu” Sahut Cemplon
“Edan piye? Para Capres itu, kalau ke pilih dapat gaji besar lho. Makanya mereka juga harus membayar kita untuk menaikan para Capres itu” Jawab Darpo
“Bener lho. Kalau mereka ke pilih yang menggaji mereka itu, kita-kita juga lho” Ucap Cemplon
“ Makanya pagi menjelang coblosan nanti, siap-siap sebab ada Serangan Fajar” Ucap Darpo
“Serangan Fajar? Piye” Ucap Cemplon Joyo, Dalijo, bersamaan.
“Pokoknya harus hati-hati pasti ada serangan fajar” Ucap Darpo, sambil melangkah pergi.
“Wah kalau begitu, aku pulang dulu” Ucap Cemplon
“Bener, kita harus mengasah pedang, clurit apa saja yang penting bisa untuk senjata. Ucap Dalijo, sambil melangkah pergi
“Jo tunggu, aku pinjam Cluritmu” Teriak Joyo, lari menyusul Dalijo

MENJELANG BEDUG SUBUH, Darpo sudah meloncat dari ranjang mimpinya. Kunci pintu kamar tamunya sengaja dibuka, dan lampu minyak yang menempel di dindingpun dihidupkan. Darpo ingin menunjukan pada orang-orang bahwa ia sudah bangun dari tidurnya. Ia juga telah mempersiapkan segala sesuatunya, untuk menghadapi serangan Fajar. Darpo duduk gelisah di ruang tamu yang tak terlalu luas itu.
“Tok!! Tok!! Tok!!!” Suara daun pintu di ketuk dari luar
“Siapa?” bisik Darpo, dengan gemetar
“Saya Harun, tim sukses pasangan Pak Gembul dan Pak Siku” Jawab orang dari balik pintu itu
“Sebentar” Ucap Darpo, sambil meloncat mengambil koas bergambar Capres dan Cawapres pak Gembul dan Pak Siku lalu di pakainya.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?” Ucap Darpo setelah mempersilahkan tamunya itu duduk.
“Pak Darpo sudah memperolah kartu pemilih?” Tanya Pak Harun
“Sudah Pak, ini punya saya dan ini punya istri saya” Jawab Darpo, sambil meletakan Jartu Pemilih berwarna biru seukuran KTP itu dimeja.
“Bagus. Bapak ikut kampanye Pasangan Pak Gembul dan Pak Siku to? Ucap Pak Harun, tersenyum
“Hampir setiap ada kampanye Pasngan Pak Gembul dan Pak Siku saya selalu ikut, tapi ikut di truk. Maklum Pak tidak punya motor” Jawab Darpo, Bangga
“Bagus, itu satu bukti bahwa Pak Darpo memang pendukung Pak Gembul dan Pak Siku. Maka kedatangan saya kesini, diutus pak Gembul dan Pak Siku, untuk memberikan ini” Ucap Pak Harun, sambil meletakan dua amplop di meja.
“Ee.. ini apa?” Tanya Darpo, pelan
“Wujud terima kasih Pak Gembul dan Pak Siku dan beliau berpesan agar pada pemilu presiden nanti siang, bapak di minta mencoblos Pasangan Pak Gembul dan Pak siku” Jelas Pak Harun
“Oooo. Iya Pak. Tentu saya akan coblos” Ucap Darpo meyakinkan
“Baik Pak saya permisi dulu,” Ucap Pak Harun sambil melangkah keluar
“Pak Harun harus datang kerumah, Dalijo dan Cemplon” Bisik Darpo
“Baik, saya akan kesana” Ucap Pak Harun
BEDUG SUBUH MENGUMANDANG. Menyambut pagi. Burung-burung melemparkan kicauan. Udara segar menerobos masuk ruang tamu. Cepat-cepat Darpo menutup pintu ruang tamu, lalu dengan cekatan membuka dua amplop yang tergeletak di meja.
“Dua ratus ribu” Ucap Darpo, sambil tertawa cekikian. Ia merasa bangga dengan dirinya yang telah mampu mengibuli Pak Harun. Ia menciumi uang kertas itu, dengan girang.
“Tok!!Tok!! Tok!!” Pintu ruang tamu Darpo, diketuk dari luar
secepat kilat Darpo, melompat ke pintu. Uang kertas segera di masukan di saku celananya.
“Siapa? Ucap Darpo, pelan
“Pak Darpo tidak perlu tahu saya, bukalah pintu rumah bapak. Saya Cuma sebentar” Ucap seseorang itu.
Darpo dengan berlahan membuka pintu, tidak terlalu lebar. Namun Darpo mampu melihat seseorang berperawakan besar itu. Memakai topi untuk menyembunyikan mukanya.
“Ini ada rejeki sedikit, Bapak Harus comblos Pasangan presiden dan wakil presiden Bu Rukmini dan Mas Ngabei” Ucap seseorang itu, sambil menyerahkan dua amplop
“Ingat coblos Bu rukmini dan mas Ngabei” Tegas, seseorang itu.
“Baik, saya akan coblos permintaan Bapak” Jawab Darpo, sambil menerima dua amplop.
Setelah Darpo menerima dua amplop itu, seseorang berperawakan besar bergeges meninggalkan rumah Darpo dan hilang di kegelapan. Segera Darpo menutup pintu dan membuka dua amplop di tangannya.
“150 ribu” Pekik Darpo tertahan, penuh kegembiraan. Belum juga pudar kebahagian Darpo. Tiba-tiba Darpo mendengar langkah kaki di depan pintunya. Sesaat Darpo menunggu orang itu, mengetuk pintu. Namun seseorang itu, tidak juga mengetuk pintu Darpo. Kecemasan merasuki diri Darpo, perasaannya diliputi pertanyaan besar. Siapa kiranya orang yang didepan pintu rumahnya.
“Pak Darpo harus mencoblos, Pak Singgih dan Pak Sonto. Ingat itu. Permisi” Ucap seseorang dari balik pintu, sambil mamasukan dua amplop dari celah-celah bawah pintu.
Darpo tanpa menjawab, segera mengambil dua amplop itu dan langsung membukanya.
“Gusti Matur nuwun aku dapat dua ratus ribu lagi” Uacp Darpo, sambil memasukan uang itu dalam celananya.
PAGI MENJELANG. Matahari memutar cahaya megah. Panitia di TPS sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan dari surat suara, bilik suara, sound System, kursi. Dan pelengkapan lainnya.
Suti istri Darpo telah siap untuk berangkat. TPS 20 di kampung Darpo sudah ramai. Mereka sengaja datang lebih pagi agar dapat mencoblos lebih dulu.
“Kang ayo berangkat, kok malah belum mandi” Ucap Suti
“Kamu duluan saja, aku nunggu Joyo, Cemplon dan Dalijo” Ucap Darpo, sambil menyerahkan kartu pemilih dan undangan coblosan pada istrinya.
PAGI MERANGKAK. Darpo masih tetap menunggu, serangan fajar dari tim sukses Capres dan Cawapres yang lain. Satu jam, dua jam serangan fajar yang ditunggu-tunggu Darpo tak juga muncul. Maka dengan segera Darpo mencuci muka dan berangkat ke TPS 20.
TPS 20 sudah sangat ramai, setelah mendaftar Darpo duduk di kursi tunggu. Namun tiba-tiba kampung itu, dibuat geger. Beberapa orang di TPS meninggalkan tempat duduknya. Mereka berlarian menuju rumah Dalijo, Cemplon dan Joyo.
“Ada apa dengan Cemplon, Dalijo dan Joyo? Tanya Darpo
“Mereka di tangkap Polisi” Ucap Yu Warih
“Memangnya kenapa” Tanya Darpo penasaran
“Dalijo, Joyo dan Cemplon membunuh orang dan mayatnya sekarang masih di rumah mereka masing-masing” Sahut Pak Sugeng
“Katanya, mereka membabat habis orang-orang mencurigakan yang datang menjelang pagi tadi” Jelas Sodron.
Darpo terperanjat, mendengar penjelasan Sodron. Ia segera berlari menuju rumah Dalijo, Joyo dan Cemplon. Ia terunduk lemas setelah melihat. Mayat yang berlumuran darah itu, adalah Pak Harun, seseorang yang berperawakan besar dan Pak Widi tim sukses Capres dan Cawapres Pak Singgih dan Pak Sonto yang mendatangi rumahnya menjelang subuh tadi.
Komunitas seni Timoho Yogya,2004