Pusara Leluhur



WARGA RINGIN KURUNG,sore itu berkumpul di depan cungkup makam. Mereka duduk berdoa bersama, untuk para penghuninya. Makam yang terletak di pojok desa itu, terancam akan digusur untuk pembangunan pabrik sepatu. Musyawarah yang dilakukan masyarakat mengalami jalan buntu, bahkan kepala proyek pembangunan pabrik mengancam akan mendatangkan pasukan pengamanan kalau masyarakat berani menghalangi. Belum juga selesai mereka berdoa, mereka mendengar teriakan Wiro.
“Siap-siap!!! Siap-siap!!!. Mereka datang!!
Orang-orang terkejut dan menghentikan doanya, lalu berbalik mendekati Wiro yang berdiri dengan nafas tersengal.
“Siap untuk apa?” Tanya Yu Sengkrang
“Iya, siapa yang datang” Teriak Lik Sukap
“Buldozer-buldozer itu, sudah datang di kelurahan” Jelas, Wiro
Orang-orang jadi panik, mendengar perkataan Wiro. Mereka saling bicara,saling menyanggah, dan saling menuding bagai suasana pasar di pagi hari.
“Sudah!! Sudah!!!, sekarang tidak usah saling menyalahkan. Kini kita justru semakin yakin, bahwa mereka akan nekat mengambil tanah makam ini” Teriak Mbah Sastro, menenangkan.
“Lalu gimana Mbah?” Tanya, Yu Sengkrang, geregetan.
“Kita harus bersiap-siap, untuk mempertahankan Makam ini sampai titik darah pengambisan” Jelas Mbah Sastro berapi-api.
SIANG TERUS MENERJANG. Orang-orang dengan kemarahan yang membara menyiapkan pedang, clurit, pacul, tombak, keris, dan senjata-senjata lainnya. Mereka menunggu kedatangan buldozer-buldozer yang akan membongkar makam leluhur mereka.
“Pokoknya kita jangan sampai lengah kita harus menjaga makam ini pagi, siang atau malam secara bergantian” Ucap Lik Sukap, sambil mengacungkan pedang keatas.
“Setuju!!!” Sambut masyarakat, bergemuruh.
SEMENTARA beberapa buldozer, sudah berhenti di depan kelurahan. Kepala Proyek dan beberapa kuli bangunan berbincang dengan Pak Lurah.
“Sampai kapan kita harus menunggu Pak Lurah” Tanya Kepala Proyek, tak sabar.
“Saya tidak mau rugi, buldozer-buldozer itu harus segera bekerja. Perlu Pak Lurah ketahui, tidak sedikit uang yang saya keluarkan untuk menyewa alat-alat berat itu.”
“Saya tahu Pak, tapi kita harus menunggu Bapak Kepala Kota Praja. Sebab beliau yang mengantongi ijin pembongkaran makam itu.” Jelas Pak Lurah, sambil mengisap rokok kreteknya.
“Itu hanya tekhnis saja Pak, sebab ijin pembongkaran makam sudah keluar”
“Tidak, saya tidak bertanggung jawab, kalau Bapak Kepala Kota Praja belum rawuh dan membawa surat ijin pembongkaran makam” Ucap Pak Lurah, sambil melangkah masuk kantor Kelurahan.
“Sompret!!, Lurah kampungan!!” Gerutu Kepala Proyek, sambil duduk di sebelah para kuli dan sopir buldozer yang sedang minum teh.
“Kriiiiiing!!!!” Suara telepon, mengagetkan Pak Lurah yang duduk dengan gelisah.
“Hallo, selamat siang” Suara lembut perempuan, mendinginkan kegelisahan Pak Lurah
“Ini Pak Lurah”
“Betul”
“Saya sekretaris Bapak Kepala Kota Praja”
“Oh.. iya, bagaimana Mbak?”
“Memberitahukan, kalau Bapak Kepala Kota Praja tidak bisa datang. Beliau pesan agar pelaksanaan pembongkaran makam ditunda besok pagi. Sebab beliau sendiri yang akan melakukan pembongkaran batu pertama” Terima kasih, selamat siang”
Pak Lurah meletakan gagang telepon dan segera keluar memberitahukan pada Kepala Proyek.
“Ini keterlaluan!! “ Ucap Kepala Proyek, marah.
“Jangan marah pada saya, kalau saya boleh usul biar saja pegawai Bapak tidur di pendopo sambil mempersiapkan buldozer-buldozer itu besok pagi”
“Ya, terima kasih!!” Jawab Kepala Proyek, ketus.
MALAM KELAM. Bulan disapu awan hitam. Orang-orang masih bergerombol menjaga makam. Mereka duduk-duduk di dalam cungkup makam, beberapa orang menyiapkan minum di perapian yang mereka buat di depan makam.
“Ada kabar buruk” Ucap Gino, anggota Hansip yang bekerja di Kelurahan.
“Tenang dulu, duduk baru bicara” Sela Lik Sukap.
“Makam ini, resmi akan di bongkar besuk pagi. Kepala Kota Praja yang akan meresmikan pembongkaran batu pertama” Jelas Gino, sambil duduk di pinggir lantai cungkup.
“Wah gawat ini, kalau Kepala Kota Praja yang meresmikan pembongkaran batu pertama. Makam ini akan di penuhi Polisi dan Tentara” Ucap Sastro, gelisah.
“Njur piye” Tanya Dirjo, bingung
“Ini siasat mereka, sengaja kita akan di adu dengan aparat’ Ucap Lik Sukap, sambil berdiri.
Orang-orang yang di luar makam, melangkah masuk cungkup. Mereka berembug mengatur siasat untuk melawan aparat. Semakin malam makam itu, tambah ramai. Seluruh masyarakat tumpah ruah di makam, bahkah mereka sudah membentuk pagar betis yang melingkari makam.
“Apapun yang terjadi, kita harus pertahankan makam ini!!!!” Teriak Sastro, bersemangat.
“Setuju!!!!” Sambut masyarakat, dengan mengangkat senjata-senjata yang mereka pegang. Pekikan-pekikan kemarahan warga membelah malam, Mata-mata merah mereka menyapu awan dan mengantar bulan kepembaringan.
PAGI tiba, cahaya matahari bergerak pelan. Orang-orang semakin gelisah. Mereka saling memompa semangat dan keberanian untuk menjaga dan mempertahankan makam.
Teriakan dan pekik terus menggelora, bagai kilatan-kilatan petir di musim penghujan. Genderang perang telah di tabuh di hati mereka, menyulut api kebengisan dan keganasan dan siap mencincang siapapun yang berani membongkar makam leluhur mereka.
“Mereka Datang!!!!” Teriak seseorang, sambil berlari menuju makam.
“Siap!!!” Perintah Lik Sukap, sambil mengangkat senjata
“Siap!!!!!!” Sambut warga, lantang
Sepasukan pengamanan datang di depan makam, mengamankan tempat itu. Buldozer-bildozer bergerak pelan dan berhenti berjajar di sisi kanan makam. Suasana tempat itu jadi tegang, warga diam tak bergerak. Bahkan yang paling mengherankan mereka nampak tidak ada penolakan, mereka justru nampak gembira menyambut kedatangan Kepala Kota Praja. Senjata-senjata mereka di sembunyikan dibalik baju.
Tiba-tiba beberapa mobil beriringan tiba di depan makam. Nampak Kepala Kota Praja yang di kawal dua orang ajudan, Kepala Proyek dan Pak Lurah berjalan menuju cungkup makam. Warga duduk diam, seperti menunggu sesuatu.
“Saudara-saudara sekalian, sebelum peresmian pembongkaran batu pertama di mulai. Yang terhormat Kepala Kota Praja akan memberikan sepatah dua patah kata. Waktu dan tempat kami haturkan” Ucap Pak Lurah, memecah kesunyian. Tepuk tangan gemuruh, mengiringi langkah Kepala Kota Praja.
“Terima kasih… Terima kasih….. Bapak-bapak, Ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian. Hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan, sebab sebentar lagi kampung ini akan memiliki pabrik berskala internasional. Kami harapkan warga masyarakat, natinya bisa membantu menjadi pegawai di pabrik tersebut. Baik dengan ini, saya resmikan pembongkaran batu pertama dan nanti akan diteruskan dengan Buldozer. Terima kasih” Ucap Kepala Kota Praja, mengakhiri sambutan.
Kepala Kota Praja melangkah dan palu sudah siap di tangan. Tapi saat palu akan di hantamkan di tembok makam.
“Praak!!” Sebuah telur busuk pecah di muka Kepala Kota Praja. Bau busuk dengan cepat terbang bersama angin, membuat seluruh aparat menutup hidung. Seorang ajudan segera meloncat dan membersihkan muka Kepala Kota Praja dengan sapu tangannya. Suasana tempat itu jadi gaduh, orang-orang seperti di komando bergerak membuat pagar betis dengan bergandengan tangan melingkari makam. “Dor!!! Dor!! Dor!!!” Suara tembakan peringatan, membumbung ke udara.
Tembakan peringatan itu, tidak membuat masyarakat jadi surut nyalinya. Mereka justru meringsek maju sambil mengacung-acungkan sanjata yang di bawanya.
“Makam ini akan menjadi kuburan masal bagi kalian!!!” Teriak Kepala Kota Praja, sambil muntah-muntah.
Orang-orang semakin berang mendengar ancaman Kepala Kota Praja, Lik Sukap berlari akan menusukan pedang ke tubuh Kepala Kota Praja. Melihat Kepala Kota Praja terancam, seorang ajudan segera menarik tangannya masuk mobil dan menyingkir dari tempat itu. Pak Lurah yang ketakutan juga ikut lari tunggang langgang.
Udara semakin panas, orang-orang sekarang berhadapan dengan aparat keamanan. Buldozer-buldozer meraung-raung bergerak mendekati tembok makam. Orang-orang tak mampu mendekati dan menghentikan laju Buldozer. Sabab sepasukan keamanan terus berjaga disisi kanan kiri buldozer.
“Kita harus hentikan buldozer itu!!!” Teriak, Wiro
“Jangan sampai buldozer-buldozer itu merobohkan tembok makam!!!” Teriak yang lain.
Buldozer terus bergerak mendekati cungkup makam. Tiba-tiba Mbah Sastro meloncat di atas Buldozer dan siap membabat leher pengemudinya.
“Dor!! “ Sebuah peluru, menembus dada Sastro. Ia terhuyung dan jatuh di pinggir Buldozer.
Orang-orang menjerit, melihat Mbah Sastro tertembak. Sebagian dari mereka lari karena takut, ada juga yang diam menghentikan perlawanannya ketika bebarapa tembok makam sudah hancur.
“Kita harus tetap mempertahankan makam ini sampai titik darah penghambisan” Teriak Lik Sukap, sambil meloncat di depan cungkup.
“Bangsat!!! Lebih baik kalian kubur kami disini!!”, Teriak Yu Sengkrang, histeris.
Beberapa orang itu, terus mempertahankan cungkup makam. Teriakan dan pekik mereka, pelan-pelan menghilang saat Buldozer menggasak cungkup makam. Dalam waktu sekejab bangunan makam itu sudah rata dengan tanah. Bersama terkuburnya Yu Sengkrang, Lik Sukap, Wiro, Gino, dan beberapa warga yang lain.
Senja menempatkan mentari di peraduan. Makam leluhur mereka, telah hilang, bersama beberapa warga yang terkubur ditanah itu.
“Tanah makam itu milik kami, disana juga kami akan di kubur” Ucap salah satu warga, sambil melangkah pergi yang diikuti masyarakat yang lain.

Sanggar Komunitas Seni Timoho Yogya, 2003



Tidak ada komentar: