Tafakur di Pusara Istri

HAMPIR DUA TAHUN, Sukendar mengarungi pelayaran kehidupan di kota yang penuh keganasan penghuninya. Jakarta yang ia yakini mampu mendongkrak kehidupan keluarganya agar lebih baik, ternyata hanya sebuah impian. Pergulatan panjang dan melelahkan yang ia lakoni selama ini, hanya menghasilkan harapan-harapan kosong. Maka awal tahun ini, ia berniat untuk pulang kampung. Ketetapan hatinya sudah mantap dan ia tak ingin kembali lagi ke Jakarta. Sukendar sudah siap dengan berbagai cibiran saudara-saudaranya maupun tetangga kanan kiri.
SENJA MENGGELANTUNG. Bus yang membawanya ke Yogya, bergerak perlahan keluar dari terminal Pulo Gadung. Perasaannya terus di belenggu kegelisahan yang luar biasa hebat. Wajah-wajah sinis saudara-saudaranya tiba-tiba menyergapnya tanpa ampun. Umpatan dan cibiran terdengar bagai dengung lebah yang terus mengiang-ngiang di telinganya.
“Kamu itu seorang laki-laki pecundang!!” Umpat bude Ratri, sambil meludah di depannya.
“ Kamu Laki-laki yang kalah di telan zaman” ucap Pakde Karno, sambil membuang puntung rokok tepat di depan mukanya.
“Kamu itu, Lelaki yang mengejar impian, tanpa memikirkan keluarga” Sela Yu Suti, sambil melengos.
“Kalau kamu tidak nekat ke Jakarta, istrimu tidak akan sakit seperti ini” Ucap Lik Prenggo, sambil melangkah keluar rumah.
Sukendar tak mampu berbuat apa-apa, kecuali menunduk. Mulutnya seperti terkunci, walau hatinya bergemuruh keras. Ia ingin menjawab seluruh cemooh dan makian yang ditujukan padanya. Namun keinginan itu, hanya berkobar-kobar di dalam hatinya. Hingga….
“Makan-makan!! Kita istirahat silahkan makan malam!” Teriak kondektur Bus, sambil menghidupkan lampu di dalam bus.
Sukendar geragapan, ia usap kedua matanya. Bus yang bergerak berlahan dan berhenti tepat di depan Rumah makan. Tak lebih dari setengah jam bus istirahat, untuk memberi kesempatan para penumpang makan dan minum.
MALAM KELAM. Bulan disaput awan hitam. Hampir semua penumpang tertidur pulas. Sukendar pelan-pelan mencoba memejamkan kedua matanya. Jalanan yang halus, membuat sang sopir memacu bus lebih cepat. Namun kecepatan laju bus itu, tak secepat pikiran dan perasaan Sukendar yang telah sampai di kampung halamannya.
PAGI MENJELANG. Bus bergerak memasuki terminal Yogyakarta. Sukendar sengaja naik becak, untuk mengantar sampai ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang, ia tak mampu menyembunyikan perasaan rindunya pada kota kelahirannya itu. Kota yang mempertemukan dirinya dengan perempuan yang akhirnya menjadi pendaping hidupnya. Kota yang menjadi saksi,seluruh kenangan manis bersama istri tercintanya. Kota yang terpaksa ia tinggalkan, untuk mengejar impian-impian duniawi.
‘Mas kamu tidak usah mendengarkan omongan orang lain, yang penting istrimu sudah merestuimu untuk pergi ke jakarta” Ucap Wandri, istri Sukendar
“Sebenarnya aku terlalu berat, meninggalkan kamu” Jawab Sukendar, sambil menghisap rokok filter.
“Mas Sukendar ndak perlu mikir aku dulu, aku akan jaga anak kita” Jawab istrinya, meyakinkan
“Tapi kamu itu sakit lho” Sela Sukendar
“Makanya mas Kendar harus cari duit banyak, untuk bawa aku ke Rumah Sakit” Ucap istrinya, sambil tersenyum.
“Kamu tega bener to, awas nanti kalau kangen” Jawab Sukendar, sambil tangannya menepuk pantat istrinya. Tawa Suami istri itupun akhirnya pecah.
“Ada apa Mas Kok tertawa sendiri” Tanya tukang becak, sambil mengayuh pedalnya.
“Ndak apa-apa, saya ingat anak saya” Jawab Sukendar, geragapan.
“Ooo, nggihpun. Saya kira ada apa, kok gemujeng kiambak” Ucap, lelaki tua itu, sambil mengayuh becaknya perlahan.
“Sampun Pak, berhenti di depan Gapura itu” ucap Sukendar
“Njih…” Jawab, Lelaki tua itu, sambil menghentikan laju becak.
MATAHARI BERCAHAYA TERANG. Saat Sukendar menapakan kaki di teras rumah. Semua keluarga sudah menunggu, menatap penuh berjuta tanya. Setelah mencuci muka dan kaki, Sukendar bergegas menemui istrinya yang terbaring di kamar.
“Jam berapa kemarin dari Jakarta?” Tanya Wandri, pelan
“Jam lima sore” Jawab Sukendar, sambil duduk disisi tempat tidur
“ Sudah sarapan, kalau belum ini ada roti” Kata Wandri, sambil menunjuk roti diatas meja.
Sukendar menatap istrinya, penuh keharuan. Betapa istrinya masih saja memperhatikan dirinya dalam kondisi sakit seperti ini. Betapa Kasih sayangnya pada dirinya, bagai sungai gangga. Betapa ia tak memikirkan kondisi tubuhnya, hanya untuk membahagiakan suaminya. Tak terasa butiran bening, jatuh dari kelopak mata Sukendar.
“Lho mas, suruh sarapan kok malah nangis. Ucap istri Sukendar
“Aku tidak tega, lihat kamu seperti ini. Maafkan aku ya” Ucap Sukendar, sambil mencium kening istrinya.
“ Aku sudah lega Mas Kendar pulang” Ucap Wandri, sambil tersenyum
SUDAH SEMINGGU. Sukendar berada di rumah. Ia sudah bertekat merawat anak dan istri tercintanya. Segala pekerjaan yang selama ini dikerjakan istrinya, kini ia yang mengerjakannya. Dari mulai masak air, mencuci, setrika. Memandikan putri satu-satunya hingga mengantar sekolah.
HINGGA SENJA ITU TIBA. Istrinya kesakitan dengan nafas tersengal.
“Bawa aku ke rumah sakit Mas” ucap istrinya, pelan
“ Cari taksi” Teriak Sukendar gugup.

HAMPIR DUA MIMGGU. Istri Sukendar terkulai lemas di Rumah Sakit. Selang pernafasan dan jarum infus terus terpasang di tubuhnya. Sukendar tak mampu bicara banyak, dihadapan istri tercintanya. Ia hanya mampu berdoa semoga Tuhan menolong istrinya. Menyembuhkan segala penderitaan istrinya.
“Katup Jantung istri anda bocor” Ucap Dokter Budi
“Bagaimana agar istri saya sembuh Dok” Ucap Sukendar, gemetar
“Jalan satu-satunya hanya dengan operasi”
“Operasi Dok?, berapa biayanya?” Tanya, Sukendar
“50 juta, bagiama?” Tanya dokter, sambil menulis resep
“Apa dengan operasi istri saya, akan sembuh Dok?”
“Kemungkinan berhasilnya hanya 5 persen. Bapak pikir dulu dan ini saya kasih resep untuk menghilangkan sesak nafas dan kebugaran tubuhnya. Ucap Dokter budi, sambil menyerahkan resep.
SENJA TEMARAM. Sukendar tak henti-hentinya meneteskan air mata. Betapa berat cobaan yang menimpa keluarganya. Pikiran dan perasaanya terus dihantui kecemasan yang luar biasa.
“Tuhan tolong saya, apa yang mesti aku lakukan” Mulut Sukendar terus berdoa, setelah ia mengerjakan sholat malam. Sukendar menangis sesunggukan, diatas sajadah. Ia terus memohon ampun, atas segala yang ia lakukan. Apapun akan ia lakukan asal istri tercintanya sembuh.
“Besuk boleh pulang” Ucap istrinya, dengan senyum mengembang
“Infus di tanganmu belum dicopot” Kata Sukendar, sambil menggendong putri satu-satunya.
“Ini infus terakhir, nanti malam kalau habis akan di copot” Ucap istrinya, sambil mencium gadis berumur 6 tahun itu.
Sukendar haru melihat, istrinya yang begitu bahagia. Betapa istrinya sangat kangen bercanda dengan putri satu-satunya itu.
SIANG MENJELANG. Sukendar dan putrinya berangkat ke Rumah Sakit. Setelah membereskan seluruh urusan administrasi, akhirnya istrinya keluar dari Rumah sakit. Ada kebahagiaan yang memancar dari wajah istrinya, sepanjang lorong Rumah Sakit. Apalagi Mentari putrinya, minta pangku di kursi roda tempatnya duduk yang didorong perawat jaga.
“Sudah sehat to nduk” Ucap Mbah Darmo, ketika istrinya sudah sampai rumah.
“Nggih lumayan Mbah” Jawab istri Sukendar, pelan
“ Yang penting jangan terlalu capek” Sela Bude Darmi
‘Iya, harus banyak istirahat” Ucap, perempuan yang duduk di sudut ruang
SENJA MERANGKAK. Sukendar mencuci dan istrinya sudah tidur siang setalah kecapaian menemui sedulur-sedulur yang datang.
“Aku mau dimandikan di kamar atau di kamar mandi” Tanya istrinya, ketika Sukendar masuk ke kamar
“Kamar Mandi” Jawab Sukendar, sambil memberikan handuk pada istrinya. Cahyo keluar untuk mempersiapkan air hangat.
“Buk!!” Terdengar suara benda jatuh dari kamar. Cahyo segara melompat lari masuk kamar.
“Astagfirulaahal’ Azhiim!!!!!” Sukendar terus merangkul istrinya yang terjatuh dari tempat tidur. Kepanikan Sukendar semakin bertambah ketika istrinya lunglai tak berdaya. Sukendar terus menyebut asma Allah, mohon perlindungan dan mohon ampun. Sukendar terus teriak-teriak histeris, ketika degup jantung istrinya tiba-tiba berhenti. Ia terus mencoba menolong istrinya dengan memberi bantuan pernafasan.
“ Ya Allah, tolong istri saya!!! Astagfirulaahal’ Azhim!!” Sukendar terus mencoba menolong istrinya. Senja itu, Istrinya segera di larikan ke Rumah sakit. Namun Allah telah memanggilnya, Allah telah meminta kembali istrinya.
SENJA BERGERAK PELAN. Menaburkan berjuta-juta kepiluan. Angin berhembus, menebarkan duka yang luka. Sukendar terduduk lesu, memandang Pusara perempuan yang selama ini, menjadi pendaping hidupnya. Mulut Sukendar terus berzikir.
“Pak sudah selesai berdoanya?” Ucap Mentari, sambil berdiri di samping Sukendar.
Sukendar hanya mampu menggangguk, sambil mencium kedua pipi putrinya.
“Pun nggih Bu ” Ucap mentari, Sambil menggandeng tangan Sukendar.

Yogya, 2004
Untuk Almarhumah tercinta
Dari Mutiara Harwinda cahya mentari


Tidak ada komentar: