Wajah-Wajah Iblis


SUKRON, Meletakan buku kumpulan cerita pendek yang hampir seminggu di bacanya. Ia pandangi sampul buku bergambar iblis yang di paku kepalanya itu dengan perasaan ketakutan yang luar biasa. Ia merasakan hari – hari esok adalah hari yang penuh keganasan. Apalagi kalau ingat kejadian beruntun dalam seminggu ini. Sewaktu Ia membersihkan sanggar, tiba-tiba Ia di datangi tiga orang berperawakan besar dan berambut gondrong, mengancam akan membunuh bila tidak mau melepas jabatannya sebagai ketua Paguyubn Seni Rakyat (PSR).
Saat itu Ia berpikir hanya gertakan saja, tetapi dua hari berselang Ia mendapati sekretariat sanggar berantakan dan seluruh isinya mabul-mabul bahkan foto –foto yang ada gambarnya di sobek-sobek tanpa ampun. Kemudian Ia di panggil seluruh anggota Paguyuban Seni Rakyat (PSR), lantaran dicurigai membawa uang organisasi.

Sekarang Sukron, merasakan setiap langkah dalam menapaki hari esok mengandung aroma kematian. Kemanapun Sukron melangkah Ia selalu di buntuti wajah-wajah iblis dalam segala bentuk rupa. Rumah yang dulu sangat tentram dan nyaman untuk merebahkan badannya yang lelah kini seprti raksasa berwajah iblis yang siap mencabut nyawanya. Mata Sukron kelihatan rembes karena kurang tidur, setiap malam sepertinya ada yang menyatroni rumah kontrakannya. Sukron benar-benar dihantui ketakutan, sebab nyawanya akan dapat hilang setiap saat.

“Pak tolong saya Pak, Saya benar-benar takut. Sungguh, saya tidak mengada-ada. Saya yakin mereka adalah orang-orang suruhan yang ingin saya mundur dari ketua Paguyuban Seni Rakyat. Benar Pak, tolong saya” Sukron menuturkan pada Pak Joko mantan Paguyuban Seni Rakyat itu di rumahnya.
“Apa saya salah, kalau tidak mau melepaskan jabatan saya sebagai ketua? Saya itukan dulu dipilih secara syah oleh anggota. Bapak juga melihat sendiri pemilihannya. Makanya saya datang kesini dan saya percaya kalau Bapak dapat menyelesaikan persoalan ini.”
Pak Joko hanya tersenyum tipis dan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Sukron.
“Pak tolong saya Pak”
“Begini Mas Sukron, saya ini hanya mantan anggota. Mas Sukron juga tahu sendiri, bahwa namanya mantan anggota itu tidak bisa berbuat banyak. Paling-paling hanya memberi dorongan agar Paguyuban Seni rakyat tetap maju dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya ingin mementingkan kebutuhan pribadi. Saya kan sering ngomong dalam pertemuan-pertemuan anggota maupun pengurus. Dahulukan kepentingan organisasi dari pada kepentingan pribadi. Apalagi sampai mengambil uang organisasi.”
“Tapi, saya tidak mengambil atau memakai uang itu. Saya belum pernah sepeserpun meminta uang pada bendahara. Saya berani sumpah!”
“Saya itu hanya mendengar, kalau Mas Sukron mengambil uang organisasi.”
“Fitnah Pak, itu hanya fitnah!”
“Sudahla Mas Sukron mundur saja dan mengembalikan uang yang dipakai.”

Sukron kaget, mendengar ucapan Pak Joko. Ia merasa Pak Joko yang selama ini Ia hormati dan menjadi panutannya, berubah bagai manusia berwajah iblis yang siap menerkamnya. Sukron cepat-cepat kabur dari tempat terkutuk itu.
“Bajingan!, sompret!, ini benar-benar sudah edan” Sukron memaki dalam hati sambil terus berjalan.
“Ini organisasi apa? Setiap hari mengembar-gemborkan tentang moral, tetapi penghuninya justru tidak bermoral. Seni kita ini untuk rakyat jadi kita harus bermoral. Prek!!”

Langit kelam. Sukron menyusuri lorong-lorong kampung. Masuk Gang dan keluar Gang. Pikiran Sukron jauh menerawang menerobos kekelaman batinnya. Jalanan yang becek sudah tak digubrisnya. Ia terus berjalan masuk perkampungan belok, masuk ke Gang-gang sempit hingga tiba di sebuah rumah kecil dan bersih. Di depan rumah itu Sukron berhenti, tapi Sukron sudah mantap akan meminta bantuan pada Lastri, gadis manis yang juga mantan anggota Paguyuban Seni Rakyat.
“Ada apa Mas? Ada yang bisa saya bantu?” Ucap Lastri pelan. Setelah Sukron di persilahkan duduk di ruang tamu.
“Saya mau pinjam uang, karena saya di tuduh melarikan uang organisasi”
“Siapa yang menuduh Mas? Lastri heran
“Semua tapi kelihatannya di dukung orang-orang mantan anggota PSR. Sebab mereka menginginkan aku mundur dari ketua KSR” ucap Sukron mantap.
Lastri sejenak diam, mendengar penuturan Sukron. Lalu Lastri bangkit dari kursi.
“Ini fitnah Mas, sebab saya yakin Mas Sukron tidak mungkin mengambil uang itu. Saya tahu orang-orangnya Mas, mereka hanya ingin menggantikan posisi Mas Sukron sebab hanya dengan cara memfitnah Mas Sukron mereka mampu menyingkirkan Mas.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Saya lama kenal mereka, bahkan sebelum Mas Sukron masuk di PSR. Sudah Mas Sukron mundur saja dengan begitu masalahnya akan selesai.”
Sukron terpana mendengar penjelasan Lastri yang berapi-api itu.
“Bener juga” Pikir Sukron
“Mereka hanya menginginkan Mas Sukron mundur, setelah itu mereka akan melupakan masalah uang.”
“Kamu tahu siapa di balik semua ini?”
“Ndak usah saya sebutkan, nanti juga tahu sendiri kalau Mas Sukron sudah mundur dari ketua.”

Sukron tersenyum melangkah keluar dari rumah Lastri. Panas matahari terasa memompa setiap langkah kakinya. Ia hanya berharap segara sampai sampai ke rumahnya. Ia akan tulis surat pengunduran diri sebagai ketua Paguyuban Seni Rakyat.

Senja menggelantung. Sukron yang berjalan sedikit berlari, sampai di rumahnya. Tapi alangkah terkejutnya Sukron. Di usap kedua matannya, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Isi Rumahnya berantakan, baju buku, lemari hancur. Sukron duduk lemas diatas tempat tidur yang telah pecah. Ia pandangi seluruh sudut-sudut rumahnya yang telah porak-poranda. Hingga matanya tertuju pada secarik kertas dengan tulisan berwarna hitam. Bergegegas Sukron mengambil itu dan dibacanya pelan.
“Cepat tinggalkan kampung ini, sebelum kami bunuh!” Wajah Sukron pucat dan tubuhnya gemetar hebat. Wajah-wajah iblis itu tiba-tiba hadir di depan mukanya dan makin lama semakin banyak. Sukron menjerit dan meronta lalu ambruk
Hari demi hari di lalui Sukron dengan diam, tanpa makan dan minum hingga tubuhnya semakin kurus. Tetangga yang melihat tingkah laku Sukron, yang semakin nganeh-anehi juga bingung. Bahkan terkadang Ia melempari warga yang melewati di depan rumahnya.
Hingga puncaknya kampung itu di buat geger, karena Sukron di temukan mati mengenaskan, dengan tubuh penuh luka. Darah muncrat-muncrat keseluruh ruangan rumah yang tidak terlalu luas. Agaknya Ia mengalami sakaratul maut yang panjang. Dengan sekejab orang-orang sudah berkerumun bagai dengung lebah. Berdesak-desakan untuk melihat mayat Sukron.

Para anggota Paguyuban Seni Rakyatpun mulai curiga dan bertanya-tanya, siapa kiranya yang melakukan pekerjaan tak berprikemanusiaan itu. Kerumunan berangsur-angsur bubar ketika Pak Joko memberi komando untuk segera memandikan jenazah Sukron dan hari itu juga di makamkan.
Malam hari usai pemakaman Sukron, Pak Joko tersenyum tipis di tempat tidurnya. Ia telah selesaikan tugasnya dengan baik. Hatinya puas sebab Ia akan menggantikan ketua Paguyuban Seni Rakyat yang akan mendapat bantuan dana sepuluh juta. Ia juga teringat bagaimana tadi malam, dengan tangan gemetar, Ia ayunkan pedang membacoki tubuh Sukron.


Yogyakarta, Oktober 2002


3 komentar:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
cute-angel mengatakan...

selamat atas bloggernya,
setahu saya anda pernah mengikutkan salah satu cerpen anda dalam ajang escaeva, cerpen tersebut anda buat teruntuk seseorang yang pernah singgah dalam hidup anda. judulnya "Aku Ingin Kau Pulang" mohon dimuat juaga agar kami dapat menikmatinya. foto2 pra weddingnya sangat harmonis "circle family".
selamat menjadi keluarga baru semoga bahagia lahir dan batin. trim's
surabaya

ubay_ze mengatakan...

bukan wajah-wajah iblis tp hanya seonggok tubuh yg melewati waktu saja....hehehhee

smoga lestari selalu buat pakde menthol hartoyo

warm regards,

ayub