Eksekusi


MENJELANG BEDUG SUBUH, kamar Wiro, di dobrak dari luar. Rasa kaget membuat kedua matanya yang ngatuk, spontan terbuka lebar. Dalam kegelapan, ia masih melihat dua sosok manusia bertubuh tegap dengan topeng seperti film Ninja masuk kamarnya. Tiba-tiba tangan salah seorang dari mereka, menghantam ulu hatinya
“Buk!! Buk!!”
Pukulan itu, membuat dadanya sesak. Matanya berkunang-kunang, bumi seakan berputar dengan sangat cepat. Dalam kondisi hampir pingsan itu, ia juga masih ingat tubuhnya diseret dan dimasukan ke dalam mobil. Ia juga masih mendengar walau sangat samar-samar, ucapan-ucapan beberapa orang yang menunggunya di dalam mobil.
“Kita tembak saja, orang ini sudah ndak punya hati” Ucap, salah seorang laki-laki bertopeng itu, sambil menginjak kepalanya.
“Jangan gegabah, kita tunggu perintah selanjutnya” Ucap seseorang yang duduk di samping sopir.
“Kalau tidak ingat ini perintah, sudah aku pecah batok kepala manusia berhati binatang ini!!” Ucap laki-laki bertopeng yang memukulnya di kamar.
Ucapan itu yang terakhir ia dengar, sebab tiba-tiba matanya gelap, dan Wiro sudah tak ingat apa-apa lagi.
WIRO, tak mampu menghitung berapa jam ia tak sadarkan diri. Ia hanya merasakan tubuhnya basah oleh air, matanya gelap tertutup kain hitam dan kedua tangannya terikat di belakang. Ia juga merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit. Ia hanya bisa mendengar makian dan bentakan-bentakan.
“kamu yang memimpin, demonstrasi di depan gedung Kepala Kota Prajakan!!” Bentak seseorang.
“Sekarang kamu ngaku saja, siapa yang menyuruh kamu dan kawan-kawanmu itu” Tanya, seseorang yang lain.
“Saya tidak tahu Pak, saya tidak pernah ikut demontrasi” Ucap Wiro, pelan.
“Plaak!!!” Bogem mentah, tepat mengenai mulut Wiro. Darah segar keluar dari bibir Wiro yang pecah.
“Demi Tuhan Pak, saya tidak pernah ikut Demontrasi” Ucap Wiro, menahan sakit.
“Tidak usah menyebut nama Tuhan disini! Apa prilakumu menunjukan kalau kamu masih punya Tuhan?” Hardik seseorang itu, sambil menampar muka Wiro.
Hampir dua jam Wiro, di paksa mengakui kalau ia memimpin sebuah demontrasi di depan gedung Kepala Kota Praja. Dalam dua jam, pukulan dan tendangan mendarat di sekujur tubuhnya. Ia jadi yakin kalau yang menculik dan menghajarnya habis-habisan itu, adalah aparat keamanan. Cuma ia heran dan bingung mengapa mereka menangkapnya, padahal ia tak pernah ikut demonstrasi apalagi terlibat dalam pergerakan-pergerakan yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah. Pikiran dan perasaannya terus meloncat-loncat dalam kegelapan. Betapa seluruh tubuhnya semakin perih kerena luka, dan kedua matanya pedas oleh ikatan kain hitam yang sangat kencang. Hingga tiba-tiba tubuh Wiro gemetar dan pelan-pelan melemah lalu ambruk tak sadarkan diri.
Sudah hampir seminggu Wiro, menempati ruang gelap dan sempit itu. Ia sudah tak tahu lagi waktu, hari bahkan tanggal dan tahun. Ia hanya merasakan sakitnya pukulan, dinginnya air saat di guyurkan ke tubuhnya dan kerasnya bentakan maupun makian yang terus menyerbu ke tubuhnya.
“Namamu Wiro?” Bisik, seseorang ke telingannya.
“Betul” Desis Wiro, sambil menahan sakit
“Kamu hebat, andai orang-orang pergerakan seradikal kamu. Pasti Negeri ini akan cepat maju, dan tidak dipimpin oleh orang-orang korup dan ingin menguntungkan diri sendiri beserta kelompoknya” Ucap seseorang itu, dengan setengah berbisik.
Orang itu, terus membisikan kata demi kata, yang membuat darah Wiro, mendidih. Kata-kata orang itu, benar-benar mensugesti daya semangat dan keberanian Wiro.
“Kebenaran dan keadilan harus ditegakan!” Ucap seseorang itu, untuk yang terakhir kalinya. Sebab tiba-tiba pintu ruang penyekapan itu, di buka dan orang itu diseret keluar.
“Keparat, kau masih berani juga bicara tentang kebodohanmu disini” Bentak salah seorang aparat itu, smabil memukul dan menyeret keluar ruangan.
“Kawan, namaku Sukendar. Ingat Kebenaran dan keadilan harus di tegakan!!” Teriaknya, sambil meronta.
“Sukendar, jadi nama orang itu Sukendar” Ucap Wiro, dalam hati. Belum juga selesai ia mengingat-ingat nama seseorang yang memberi daya semangat hidupnya itu.
“Dor!! Dor!! Dor!!!” Suara tembakan, memecah kesunyian bersama teriakan Sukendar yang tertahan.
Wiro diserbu ketakutan yang luar biasa, pikirannya dihantui kekuatiran akan nasipnya.
“Ya Tuhan, apakah kematianku telah Kau tentukan hari ini” Ucap Wiro, sambil beringsut di pojok ruang yang sempit dan pengap itu.
Wiro terus menggumamkan beberapa doa yang ia hafalkan, sambil mencoba melepas tali yang mengikat kedua tangannya. Luka yang melingkar di kedua pergelangan tangannya, membuatnya tak bisa berbuat banyak.
“Untuk apa kau berdoa, Tuhan tidak pernah akan mendengar doamu” Ucap salah seorang penjaga, ketika masuk dan melihat Wiro.
“Kau baru ingat Tuhan, saat akan mati” Ucap penjaga yang lain, sambil tertawa
“Biar dia berdoa sepuasnya, toh sebentar lagi juga mati” Ucap yang lain
Ruang yang pengap itu, penuh canda dan tawa dari para penjaga. Wiro terus berdoa bahkan semakin keras, ia tak peduli dengan cemooh para penjaga itu.
Malam merambat, Wiro sudah tak ingat lagi berapa kali ia mengucapkan doa yang sama. Para penjaga itupun, sudah tertidur pulas. Hingga tepat jam dua belas malam, Wiro di seret keluar ruangan.
“Kalian jangan memperlakukan aku seprti ini, aku akan turuti apa yang kalian perintahkan. Kalau malam ini kalian akan menembaku, aku sudah siap” Ucap Wiro, sambil melangkah tenang.
‘Baik, kau tidak akan kami seret.” Ucap salah seorang penjag, sambil menggandeng memegang pundak Wiro.
Pasukan penembak sudah siap, Wiro diikat dalam sebatang kayu. Vonis tembak mati siap dilaksanakan. Wiro hanya pasrah menerima hukuman tanpa pengadilan ini, ia sudah iklas dengan apa yang akan terjadi.
“Ada yang ingin kamu katakan, sebelum kau mati?” Tanya seseorang, yang berdiri disisi kanan badannya.
“Ada, aku ingin melihat siapa kalian ini?’ Ucap Wiro, tegas.
“Baik, kau akan melihat siapa kami” Jawab, seseorang itu, sambil membuka kain penutup mata Wiro.
Pedih dan memerah, saat kedua mata Wiro terbuka. Ia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Lima orang bertopeng sudah lengkap dengan senjata, berdiri sepuluh meter di depannya. Ia terus mengamati semua orang bertopeng itu, dari sepatu, baju, senjata dan badan mereka.
‘Sudah?”
“Satu lagi, aku ingin tahu apa salah saya?” Tanya Wiro.
“Kamu yang menghacurkan Mall, kilang minyak, gedung walikota, gardu PLN, dan instalasi-instalasi vital lainnya” Jelas, seseorang itu.
“Jadi aku terdakwa, bagi kalian?”
“Bukan dengan kami, tapi dengan pemerintah”
“Tapi aku tidak melakukan semua yang dituduhkan itu”
“Itu bukan urusan kami” Ucap, seseorang itu, sambil menutup mata Wiro
Bulan tinggal sepenggal. Wiro terus meronta dan berteriak-teriak. Seseorang itu, memberikan aba-aba dengan sangat lantang dan tegas.
“Tembak!!!!!!”
Serentetan peluru tajam menembus dada Wiro, darah segar muncrat membasahi seluruh tubunya. Pelan nafas Wiro berhenti, bersama dering telepon genggam seseorang itu berbunyi.
“Cepat lepaskan orang itu, kita salah tangkap”
“Tapi Pak?”
“Jangan membantah, detik ini juga kau harus lepaskan orang itu”
“Kami telah menembaknya Pak”
“Apa!!?”
Bulan hilang ditelan awan hitam, para penjaga segera menurunkan mayat Wiro. Tubuh yang penuh darah itu, di mandikan dan letakan di atas meja kantor. Belum juga penyesalan itu berakhir. Tiba-tiba orang-orang bertopeng, dengan senjata lengkap mendobrak pintu kantor dan menembaki mereka.

Sanggar Komunitas Seni Timoho Yogyakarta,2003


Tidak ada komentar: