Kabar dari Pulau Kulingkinari



GANIS, Jatuh persis di depan pintu rumah, aroma alkohol keluar dari mulutnya. Hampir setiap hari Ganis menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan di warung Pak Binar, dan pulang dalam kondisi teler berat. Nasehat dan bentakan orang tuanya sudah tak digubris lagi. Bahkan Ia berani mencuril perhiasan Ibunnya untuk membeli minum-minuman keras. Hingga puncaknya kemarahan Ayahnya sudah tak tertahankan lagi. Malam itu Ganis dalam keadaan teler berat diseret Ayahnya.
“Kau bisa menghentikan kebiasaan mabuk ndak!!?” bentak , Ayahnya sambil menampar pipi Ganis.
“ Jika kau tak bisa di atur, lihat saja Bapak akan pergi dari rumah ini” Ancam, Ayahnya dengan mata memarah.
Ganis, diam dan tubunya lemas. Kepalanya sangat berat dan akhirnya muntah-muntah di ruang tamu. Melihat itu Ayahnya hanya menggeleng dan cepat-cepat melangkah masuk kamar.
Ganis, hanya tersenyum tipis mendengar ancaman yang keluar dari mulut Ayahnya itu. Sebab ancaman itu sudah sangat sering di lontarkan Ayahnya, tapi tidak pernah terjadi. Ayahnya tidak pernah meninggakan rumah terlalu lama. Apalagi sampai pergi dari rumah dan tidak kembali.
Belum juga rasa sinis dalam hati Ganis hilang. Tiba-tiba Ibunya menangis sambil berteriak-teriak minta tolong.
“Ganis, tolong Ayah!!”
Dengan sempoyongan Ganis, meloncat masuk kamar. Tapi sungguh kaget dan terpana saat mata Ganis melihat tubuh Ayahnya. Tubuh renta itu kejang-kejang tak berdaya.
“Cepat kau minta tolong tetangga untuk mengatar Ayah Ke Rumah Sakit” Perintah, Ibunya dengan terus menangis.
Ganis tak mampu bicara, kecuali mengangguk dan bergegas lari kerumah tetangga.
Hampir dua bulan Ayah Ganis, di rawat di Rumah Sakit karena Stroke. Peristiwa mengerikan itu, membuat Ganis tidak menyentuh minuman yang memabukan. Hingga Ganis, di kirim ke Yogya untuk melanjutkan kuliah. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, saat Ibunya mengirimkan kabar kalau Ayahnya sudah sembuh Ganis mulai lagi mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol lagi. Bahkan Ganis, sudah jarang masuk kuliah.
Ayah dan Ibu Ganis, sangat lega. Mereka pikir Ganis, sudah berubah. Apalagi sudah setahun Ganis di Yogya, selalu mengabarkan berbagai kesibukannya di kampus. Ibunya yang pernah datang ke Yogya, juga terlihat gembira melihat kamar kost Ganis yang penuh buku. Ganis benar-benar mampu memperdaya dan menipu kedua orang tuanya itu dengan sangat lihai. Sehari sebelum kedatangan Ibunya, Ia bersihkan kamar kostnya dan Ia pinjam buku-buku teman-temannya untuk di pajang di rak buku kamar kostnya
Kepiawaian Ganis menipu itu, memompa semangat Ayahnya hingga mampu bekerja kembali. Perjalanan rumah tangga keluarga Ganis, kembali normal. Hingga siang itu, Ganis berkenalan dengan seorang gadis manis, asal Solo. Hilda begitu kalau Ganis memanggilnya, gadis berkaca mata dan berambut panjang itu akhirnya jadi kekasihnya. Romantika perjalanan cinta mereka, tak ada yang menghalangi. Apalagi orang tua Hilda, juga merestui hubungan cinta mereka.
Setengah tahun Ganis menjalin cinta dengan Hilda. Cinta mereka terus tumbuh bermekaran bagai cendawan di musim hujan. Tapi pagi itu, Hilda menangis di pangkuan Ganis.
“Ada apa?” Tanya, Ganis penuh kelembutan
Hilda bangkit dan duduk di samping Ganis, dan menatap Ganis penuh kecemasan.
“Ayolah, kamu punya persoalan apa?, kalau kamu tidak bicara bagaimana aku akan tahu apa yang membuat kamu menangis” Bujuk, Ganis.
“Mas Ganis mencintai saya?” Tanya, Hilda sambil mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.
“Aku sangat mencintai kamu” Ucap, Ganis sambil mencium dan memeluk kekasihnya itu.
“Tapi kenapa kamu tanyakan itu? Tanya, Ganis heran
“Aku hamil” Ucap, Hilda pelan.
Detak jantung Ganis, berdetak sangat keras, mendengar ucapan Hilda. Ganis melangkah menghela nafas, sebab tiba-tiba dadanya begitu sesak. Bingung dan cemas nampak diraut muka Ganis, sebab wajah Ayahnya secepat kilat sudah ada dihadapannya. Ganis begitu Khawatir, bila kejadian ini ketahuan Ayahnya dan penyakit strokenya akan kambuh.
“Kamu mau bertanggung jawab to Nis?” Tanya, Hilda
Ganis menatap kekasihnya itu dengan perasaaan iba. Tapi Ganis juga tak mampu menjawab pertanyaan Hilda itu, suaranya seperti tersangkut ditenggorokan. Pikiran Ganis, justru melesat jauh di rumahnya. Bagaimana Ia akan memberi kabar pada kedua orang tuanya di Sulawesi Tengah. Lalu bagaimana Ayahnya kalau tahu, Ia telah menghamili seorang gadis.
“Gimana Nis?” Tanya, Hilda memecah lamunan Ganis.
“ Kita akan menikah” Jawab, Ganis geragaban.
Hilda menangis mendengar jawaban Ganis, Ia lari dan memeluk Ganis dengan perasaan yang sangat gembira.
Matahari berjaga, membilas dedaunan di sepanjang jagat raya. Ganis dengan kekuatiran yang teramat sangat, akhirnya memberi kabar kedua orang tuannya di Sulawesi tengah. Kedua orang tuanya hanya pasrah mendengar kabar dari Ganis. Walau Ayahnya, sangat terpukul dan kecewa mendengar kejadian itu, tapi tidak nampak di raut mukanya. Ia merasakan selama ini tak mampu mendidik anak. Getir dan perih membalut-balut jiwanya.
“Suatu saat, aku akan pergi meninggalkan semuanya, sebab aku tak mampu menjadi Ayah bagi anak-anakku” Ucapnya, pelan.
Ganis dan Hilda akhirnya menikah walau tanpa kehadiran orang tua Ganis. Keramaian pernikahan tapi sunyi hati Ganis, kedua orang tuanya yang diharapkan bisa hadir dalam acara pernikahan, ternyata tidak bisa memenuhi harapan Ganis.
Natalpun tiba, Hilda telah melahirkan bayi mungil dan cantik. Ibu Ganis sangat gembira mendengar kabar itu, tapi hal itu tidak terjadi pada Ayah Ganis. Ia terus di hantui perasaan bersalah, karena tidak mampu mendidik anak. Ayah Ganis justru banyak diam dan terkadang merenung sendiri di kamarnya.
Malam itu Ganis dan Hilda tidak bisa tidur. Anaknya yang berumur tiga bulan itu, menangis terus-menerus. Terkadang mata bayi itu, menatap langit-langit kamar lalu menangis lagi. Ganis dan Hilda semakin bingung. Belum juga tangis anaknya reda, tiba-tiba Ganis meloncat kaget. Sebab kepalanya kejatuhan cicak, tepat di ubun-ubunnya.
“Ada apa Nis?’ Tanya, Hilda sambil menggendong bayinya.
“Aku kejatuhan cicak” Jawab, Ganis
“Ya, Tuhan, ini firasat apa?” Ucap, Hilda sambil mencium bayinya.
Sungguh di luar dugaan, tiba-tiba tangis bayi itu berhenti dan tidur dengan pulas.
Pagi menjelang, Ayah Ganis mengeluarkan motor yang baru seminggu di belinya.
“Mau pergi kemana Pak? Tanya, Ibu Ganis
“Aku mau ke Wakay, mengecek kayu-kayu yang akan di kirim” Jawab, Ayah Ganis sambil duduk di atas motor.
Kapal penyebrangan antar pulau KM. Wana Bakti telah menunggu. Ayah Ganis, masuk ke kapal dengan motornya. Penumpang mulai berdatangan, kapal kecil itu akhirnya penuh sesak dengan penumpang. Mereka saling berdesakan sebab kapal itu membawa penumpang melebihi kapasitas.
Udara Cerah menghembus di teluk Tomini, Kapal KM. Wana Bakti bergerak pelan meninggalkan pelabuhan Ampana menuju pelabuhan Wakay. Orang-orang mulai berbincang, dari persoalan politik, keamanan, dan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang beranjak naik.
Ayah Ganis dan beberapa teman sekampunnya, duduk dibagian depan kapal Wana Bakti. Air laut yang tenang, seperti terbelah saat kapal melaju kencang.
“Bang, berapa kau beli motor ini?” Tanya, Udin
“Sepuluh juta, tapi aku kridit. Uang mukanya Cuma satu juta” Jawab, Ayah Ganis.
“Aku tertarik juga Bang, dimana kau kridit motor ini?”
“Daeler Sahabat”
“Bisa kau antar aku setelah pulang dari Wakay?”
“Bisa” Jawab, Ayah Ganis sambil menyelipkan sebatang rokok kretek di mulutnya.
Sudah hampir dua jam, kapal Wana Bakti melaju di tengah laut. Jam menunjukan pukul sebelas waktu Indonesia Tengah. Sungguh di luar dugaan ketika Kapal Wana Bakti sampai antara pulau Tanjung Api dan pulau Kulingkinari. Tiba-tiba hujan turun sangat deras dan angin bertiup kencang. Orang-orang mulai terdiam dengan perasaannya masing-masing. Ada yang berdoa, ada yang cemas tapi ada juga yang justru bergurau.
Kapal Wana Bakti terus bergerak pelan, walau terkadang goyang dan bergerak tidak stabil karena di gempur angin kencang. Namun tiba-tiba orang-orang berteriak dan panik.
“Awas ada badai!!” Teriak, salah satu penumpang dengan cemas.
Hujan semakin deras, badai melabrak kapal Wana Bakti dengan sangat kencang. Orang-orang menjerit, menangis penuh kecemasan yang luar biasa. Air laut sudah merengsek mulai masuk lambung kapal, beberapa penumpang menjeburkan diri ke laut. Belum juga selesai orang-orang melihat air masuk ke lambung kapal. Tiba-tiba…..
“Praaaaaak!!”
Kayu beberapa bagian kapal mulai pecah, air masuk lambung kapal semakin besar. Para penumpang semakin banyak yang menjeburkan ke laut.
“Awas badai besar datang lagi!!” Teriak, salah satu penumpang.
Orang-orang semakin cemas, melihat kapal bagian belakang sudah terendam air.
“Tolong!!” Teriak, penumpang
Teriakan-teriakan minta tolong dan jerit tangis seperti tertelan deburan ombak yang mengantam kapal yang mereka tumpangi. Ayah Ganis, duduk tenang dengan beberapa temannnya dibagian depan kapal yang belum terendam air.
Satu jam mereka begelut dengan badai, sepertiga penumpang sudah hanyut terbawa ombak. Hujan mulai reda, kapal-kapal penolong sudah berdatangan. Para penumpang harus antri untuk naik kapal-kapal penolong.
Ayah Ganis dan beberapa temannya masih duduk dibagian depan kapal yang belum terendam. Hingga satu kapal penolong datang lagi.
“Pak Ganis, ayo cepat naik” Teriak kawannya
“Aku terakhir saja, dahulukan orang tua dan anak-anak kecil” Jawab, Ayah Ganis.
“Baik, kau hati-hati sebentar lagi kapal penolong akan datang lagi” Jelas, kawan Ayah Ganis sambil menyelamatkan penumpang yang lain.
Kapal Wana Bakti yang pecah itu, tinggal berisi sepuluh orang termasuk Ayah Ganis. Tapi hujan turun lagi, angin juga bertiup sangat kencang. Ayah Ganis dan beberapa teman, semakin gelisah. Kapal penolong belum juga nampak.
“Awas badai!!” Teriak, Ayah Ganis
Penumpang yang tinggal sepuluh orang itu panik, berteriak-teriak histeris. Mereka saling meloncat, Ayah Ganis terlempar bersama motor barunya. Saat kapal penolong datang, sepuluh penumpang itu sudah hilang tak berbekas.
Penyisiran untuk mencari sepuluh penumpang itu, tak membawa hasil. Ayah Ganis, dinyatakan telah hilang bersama sembilan penumpang yang lain. Ibu Ganis, hanya pasrah menerima cobaan ini.
Dua hari setelah Ayah Ganis, dinyatakan hilang. Ibu Ganis menelpon Ganis di Yogya.
“Kriiiing…..”
“Hallo, ini Ganis?”
“Iya, ini siapa?” Tanya. Ganis
“Ibu”
“ada apa Bu”
“Kau harus pulang, Ayah kecelakan di pulau Kulingkinari dan mayatnya belum di ketemukan” Jelas, Ibu Ganis sambil menangis.
“Sudah ya, cepat kau pulang”
Ganis, menutup telepon, perasaan bersalah pada Ayahnya. Tiba-tiba berderet muncul di hadapannya.
Setahun setelah peristiwa tragis itu, Ganis masih tidak percaya kalau Ayahnya telah meninggal. Tiap hari Ia selalu berdoa dan berdoa. Semoga Ayahnya belum meninggal.
“Ayah, pulanglah, kami sangat merindukanmu” Ucap, Ganis, menutup doanya.

Untuk Teman Mamat Abas, di Sulawesi Tengah
dan Ayahmu yang entah ada dimana
Yogyakarta, 2002


Tidak ada komentar: