Ziarah Idul Fitri


AKHIRNYA Handoko, duduk di kereta api eksekutif Taksaka satu yang menuju Yogyakarta. Hatinya melonjak-lonjak penuh kegembiraan yang luar biasa dahsyatnya. Kereta api bergerak meninggalkan Stasiun Gambir. Pikirannya sudah sampai di kampung halaman, jauh mendahului kecepatan Kereta api yang melaju sangat kencang.
Sejak dua puluh tahun yang lalu Handoko, bermimpi untuk dapat menginjakan kaki di kampung kelahirannya yang penuh keramahan dan kesederhanaan para penghuninya itu. Kampung yang selalu melintas-lintas dalam setiap ranjang mimpinya. Kenangan mandi di sungai yang bening airnya, naik kerbau, main gobak sodor, mencari belut di sawah, menimba air untuk mengisi bak mandi. Handoko juga masih ingat betul saat guru ngajinya, membentak dan memarahi lantaran Ia tidak mampu menghafal surat Yasin. Handoko juga sangat ingat, tradisi di keluarganya sesudah sholat Hari Raya Idul Fitri. Semua keluarga berkumpul dan berjalan bersama ziarah di makam Bapak.
Ziarah di makam Bapak, hanya Handoko rasakan sekali saat masih berumur sepuluh tahun. Sebab setelah itu Ia harus tinggal di Jakarta di rumah Budenya sampai dewasa. Pekerjaan di Jakarta benar-benar membuat nurani dan kemanusiaannya mati. Setiap detik, setiap jam dan setiap matanya terbuka hanya bagaimana mendapatkan uang dan uang. Hidup Handoko, selalu dihantui kekawatiran dan ketakutan bila hidup miskin. Maka niatan untuk mudik lebaran tahun ini sudah tak terbendung lagi, apapun yang terjadi Ia harus pulang, apalagi simboknya dalam surat sudah wanti-wanti agar Ia pulang dan ziarah di makam Bapak.
Menjelang senja kereta api berhenti di Stasiun Tugu. Bergegas Handoko, turun dan sengaja naik andong agar bisa melihat-lihat kota Yogya yang sudah lama ditinggalkan. Handoko benar-benar bagai turis domistik yang baru melihat Yogya pertama kali. Hampir semua sudut-sudut kota sudah berubah, Maliboro, Alun-alun, sepanjang jalan Gondomanan, Kotagede, semua sudah berubah.
“Rupanya kemacetan juga sudah menghantui di kota yang penuh berbagai macam predikat ini.” Ucap, Handoko dalam hati.

Jam tujuh malam Handoko, sampai di rumah. Rumah peninggalan Bapaknya ini tak banyak perubahan, kecuali warna cat yang membilas pintu dan jendela. Simbok dan adiknya sudah menunggu di kursi bambu depan rumah. Rukmini adik satu-satunya itu, meloncat dari kursi saat Handoko, masuk pekarangan rumah.
“Mas dari jakarta Jam berapa?’
“Bawa oleh-oleh apa Mas?”
Rukmini terus nerocos menghujamkan pertanyaan-pertanyaan, sambil merebut tas dari genggaman Handoko.
“Sudah, biar Mas Handoko istirahat dulu” Ucap Simbok
“Biar saja Mbok, aku seneng. Lagi pula aku juga tidak pernah ketemu” Ucap, Handoko sambil memeluk perempuan yang telah melahirkannya itu dengan sangat erat. Ia benar-benar sangat rindu, sudah lama sekali Ia tak merasakan pelukan Simboknya. Ia seperti masih umur lima tahun dalam dekapan Simbok, Tanpa terasa Handoko meneteskan air mata begitu juga dengan Simboknya.
“Simbok sehat to?” Tanya Handoko, pelan
Simbok mengangguk sambil melepas pelukannya. Mata yang sayu itu terus menatap Handoko, tak kedip.
“Mas kok di luar to, sudah tak buatkan minum di meja ruang tengah” Suara Rukmini memecah kesunyian. Handoko dan simboknya seperti tersadar dari lamunan.
Malam itu pertama kali Handoko makan bersama dengan orang-orang yang sangat dirindukan selama ini. Simbok dan Rukmini juga merasakan kegembiraan yang sama seperti yang dirasakan Handoko. Setelah makan Rukmini meminta Handoko bercerita pengalamannya kerja di Jakarta. Bahkan malam itu mereka tidur jam satu malam hanya untuk mendengarkan cerita Handoko hidup di Jakarta.
Pagi itu beberapa tetangga berdatangan. Kabar kepulangan Handoko, menjadi pembicaraan utama di kampung. Ada yang hanya ingin melihat wajahnya, ada juga yang memang ingin tahu pekerjaan Handoko di Jakarta.
“Kamu masih ingat aku to Le?” Tanya perempuan setengah baya itu, sambil mengulurkan tangannya yang sudah mulai berkerut.
Handoko, menyambut uluran tangan itu, dengan penuh hormat. Tapi Ia benar-benar tidak ingat, siapa perempuan yang berdiri tepat dihadapannya.
“Aku Mbah Rawit, waduh kamu lupa to. Dulu kamu sering tak gendong” Jelas perempuan itu sambil tersenyum.
“Maaf Mbah, saya lupa”
“Ya ndak apa-apa, Lha wong sudah lama ndak ketemu je”
Seharian itu, banyak tetangga yang datang. Dari yang tua-tua sampai temen-temen Handoko semasa kecil. Mereka sangat ramah dan baik menyambut kedatangannya. Handoko seperti orang asing yang baru pertama kali mereka lihat.
Malamnya Rukmini dan Simboknya, sengaja tidur lebih awal karena capai seharian menerima tamu, hingga Handoko tak ada teman ngobrol. Ia duduk di ruang keluarga yang tidak terlalu luas, pakirannya melompat jauh ketika Bapaknya masih hidup. Sepertinya Bapaknya ada di sebelahnya. Beliau duduk menatap Handoko, sambil mengisap rokok klembaknya.
“Kapan datang?”
“Kemarin pagi” Jawab Handoko, pelan
“ Mestinya setiap tahun kamu datang ke tempat Bapak, Jangan hanya kalau libur. Kamu tidak kangen sama Bapakmu ini”
“ Ya, kangen Pak, tapi sulit mendapatkan cuti dari kantor”
“Ya sudah, sekarang kamu sudah kesini, cepat kerumah Bapak”
Tiba-tiba sosok Bapaknya hilang dari tempat duduk.
Suara derit roda kereta api yang bergesekan dengan rel, membuyarkan semua lamunannya. Handoko geragaban dan mengusap kedua matanya yang tidak gatal. Dan saat itu juga, sudah berdiri di sampingnya seorang pegawai restorasi menawarkan makan.
“Pak silahkan makan siang dan Bapak mau minum teh atau kopi?”
“ Teh saja” Jawab, Handoko.
Setelah makan dan minum Handoko, menjadi semakin bingung, sebab Bapaknya sudah duduk di sebelahnya. Memakai baju putih dan celana hitam melihat Handoko sambil tersenyum.
“Kamu itu tak tunggu kok tidak terasa kalau di tunggu” Ucapnya pelan.
“Bapak menunggu saya?” Jawab, Handoko binggung.
“Katanya mau kerumah Bapak” Jawab Bapak heran
“Aku mau kerumah Bapak?” Tanya, Handoko tak kalah heran
“Iya, kamu mau ziarah to? Jelas Bapak
“Iya Pak” Jawab, Handoko penuh keraguan
“Ayo, bareng Bapak” Ajak, Bapak Handoko sambil berdiri dan menggandeng tanganya.
Seperti orang yang terbius Handoko, mengikuti ajakan Bapaknya. Sungguh fantastis jalanan yang dilalui Handoko, sungguh cerah dan halus. Bunga-bunga bernekaran di kanan kiri jalanan. Orang-orang yang bertemu Handoko, semua menunduk hormat. Hingga bapaknya mengajak masuk di pemakaman. Handoko hanya mampu mengikuti apa yang di lakukan Bapaknya. Hingga berhenti di dua buah kundukan makam. Bapak meminta Handoko, untuk jongkok dan berdoa, Ia mengikuti permintaan Bapaknya itu. Tapi alangkah kagetnya Handoko, ketika melihat kedua gundukan itu. Ia tampar sendiri kedua pipinya.
“Tidak mimpi” Pikirnya dalam hati.
“Kamu tidak mimpi, ini sungguhan” Ucap Bapak, seperti mengetahui apa yang ada di pikiran Handoko .
Handoko, semakin mencermati nama yang tertulis di kayu nisan yang menancap di gundukan tanah di depan Bapaknya jongkok dan berdoa.
“Suparjo, meninggal 10 Juni 1980” Handoko, membaca dalam hati.
Handoko semakin bingung, bagaimana mungkin orang yang sudah di makamkan berdoa untuk dirinya sendirinya.
Angin bertiup kencang, menghamburkan dedaunan kering diseputar tempat Handoko jongkok. Ia kemudian berdoa di gundukan yang terletak persis didepanya. Handoko, dilanda kecemasan yang luar biasa dan seperti tidak percaya, ketika matanya melihat tulisan di kayu nisan yang menancap di gundukan tanah. Lagi-lagi Handoko, menepuk kedua pipinya, untuk meyakinkan kalaut tidak mimpi. Matanya terus menatap tajam tulisan di kayu nisan itu.
“Handoko, meninggal 10 Nopember 2000” Suaranya, seperti tersangkut di tenggorokan. Bagaimana mungkin namaku ada di kayu nisan ini?”,
Handoko menatap arloji untuk melihat tanggal. Alangkah terkejutnya Handoko, bahwa tanggal di arlojinya menunjukan tanggal 10 bulan sebelas tahun 2000. Belum juga rasa terkeujutnya hilang, tiba-tiba Bapaknya sudah memegang tangannya.
“Tidak Pak, jangan Pak” Pintanya memohon sama Bapaknya
“Kamu harus temani Bapak, Kita akan tinggal di rumah Bapak” Ucap Bapaknya sangat lembut dan pegangan tangannya semakin kuat
Handoko meronta sekuat tenaga, sambil memohon agar Bapaknya tidak mengajak tinggal bersamanya. Akhirnya bapaknya melepaskan pegangan tangannya lalu memeluk Handoko dengan penuh kasih sayang.
“Pulanglah Nak, tapi seringlah kau tengok Bapak” Ucapnya lirih
Handoko mengangguk dan cepat-cepat pergi dari tempat itu. Menyusuri jalanan yang penuh kedamaian. Hingga tak terasa tubuhnya begitu lemas, kaki kanannya terasa ngilu. Sedang tangan kanannya sudah di tusuk Jarum infus. Simbok dan adiknya Rukmini sudah berdiri di sisi tempat tidur yang serba putih itu sambil menangis. Mereka memeluk dan mencium Handoko.
“Ada apa Mbok” Tanya Handoko pelan?
“Kereta Api yang kamu tumpangi bertabrakan dan puluhan orang meninggal dan terluka” Ucap Simbok sambil menangis.
“Jadi aku… ?”
“Benar kamu selamat” Jelas Simbok dengan menangis
Adzan Magrib berkumandang ke segala penjuru raya, bersama senja menggelantung di cakrawala. Mengumandangkan kebesaran Tuhan.
“Bapak damailah di pembaringanmu, aku pasti ziarah di rumahmu” Ucap Handoko”. Sambil meneteskan air mata.

Untuk Almarhum Bapak
Yogyakarta, 2002



Tidak ada komentar: