Sinden



DESA KEMBARAN malam itu, begitu ramai. Panggung besar berdiri megah di sudut lapangan. Para pedagang sudah menjajakan dagangannya sejak pagi. Usai bedug maghrib,Orang-orang kampung telah memadati lapangan pojok desa itu. Mereka rela berdesak-desakan di depan panggung, untuk melihat dari dekat Sinden yang terkenal cantik dan merdu suaranya. Tak begitu lama, para pengrawit tiba dan menempatkan diri mereka di panggung. Seperangkat gamelan nampak berkilat di timpa lampu berwarna-warni. Orang-orang nampak bersorak-sorak riang, sebab jika pengrawit sudah siap pertunjukan akan segera mulai. Maka orang-orang semakin berdesak-desakan, untuk duduk di depan panggung.
“Jam berapa sinden itu datang?” Ucap Pak Lurah, gelisah
“Sebentar lagi Pak, mereka dalam perjalanan” Jawab Karyo
“Sampai kapan orang-orang itu, harus menunggu? Siapa yang kamu suruh menjeput?” Ucap Pak Lurah, sambil menyelipkan sebatang rokok ke mulutnya.
“Joyo Pak. Pakai mobil bapak dari jam lima sore. Kalau tidak ada apa-apa sebentar lagi akan sampai.” Jawab Karyo, sambil mencoba menenangkan diri.
“Kalau sampai tidak datang, kamu harus bertanggung jawab. Orang-orang itu, bisa ngamuk dan kalau sudah kecewa, mereka tidak akan memilihku lagi jadi Lurah” Ucap Pak Lurah, semakin tegang.
“Iya pak, saya tahu” Ucap Karyo
“Iya Pak, saya tahu. Tahu apa kamu ini. Sekarang sudah jam delapan malam tapi sinden itu belum datang.
Nampaknya kegelisahan tidak saja, menyelimuti Pak Lurah dan seluruh panitia. Orang-orang juga dirasuki kegelisahan, sebab terlalu lama mereka menunggu. Sehingga tanpa di komando, orang-orang itu berteriak-teriak.
“Ayo cepat di mulai, kami telah capak menunggu!!” Teriak seseorang
“Betul!!! Mana sindennya!!” Teriak yang lain
“Kita robohkan saja panggungnya!!” Teriak salah satu warga.
“Betul kita robohkan saja panggungnya!” Suara orang-orang dengan emosi
Melihat orang-orang sangat marah, pimpinan pengrawit dengan sigap. Mengkomando pengrawit yang lain.
“Kita mainkan lagu pembuka!” ucap pimpinan pengrawit setengah teriak
Bersamaan orang-orang akan merengsek maju ke panggung, tiba-tiba suara musik berbunyi bertalu-talu. Hingga mengurungkan niatan orang-orang yang marah itu, untuk merobohkan panggung. Saat musik pembuka akan berakhir, sinden dan Joyo datang ditempat itu.
“Syukurlah kalian telah datang, kalian telah menyelamatkan pertunjukan ini dari malapetaka. ” Ucap Pak Lurah
“Maaf kami terlambat Pak” Ucap Joyo, pelan
“Sudah tidak apa-apa, cepat Sinden itu,segera suruh naik ke panggung” Perintah Pak Lurah.
LAMPU WARNA-WARNI, menebar disegala sudut panggung. Saat sinden yang cantik dan bahenol itu, masuk panggung. Orang-orang berteriak-teriak girang.
“Selamat malam semua, sudah kangen pada saya” Ucap Sinden itu, genit
“Iya!!!” Jawab seluruh penonton yang memadati lapangan
‘Baik, malam ini saya akan menghibur anda sekalian nembang dan goyang habis-habisan. Setuju!!”
“Setuju!!!!!!” sahut penonton bersemangat
Tanpa bicara panjang lebar lagi, Sinden mulai beraksi dengan suara yang merdu, genit dan goyangan ala Inul Daratista.
BULAN TERUS BERJAGA. Joyo duduk diam di sudut panggung. Pak Lurah tersenyum puas, berdiri di samping Joyo.
“ Kamu kok tidak joget, biasanya kamu joget seperti kuda lumping yang kesurupan” Ucap Pak Lurah, sambil menghisap rokok kreteknya.
Joyo hanya tersenyum,mendengar ucapak Pak Lurah. Kedua matanya terus memandangi sinden yang beraksi diatas panggung.
“Kamu itu tidak usah takut, acara sudah berjalan lancar. Sinden sudah sampai kesini, walau terlambat sedikit. Sekarang senang-senanglah dulu, nanti kalau sudah selesai kamu ngantar lagi Sinden itu pulang” Ucap Pak Lurah
Lagi-lagi Joyo hanya tersenyum, mendengar perintah Pak Lurah itu. Ia tetap tidak bergeming dari tempat duduknya. Pak Lurah heran, melihat sikap Joyo yang nganeh-anehi itu. Sebab memang tidak biasa Joyo, bersikap diam seperti itu. Apalagi kalau mendengar sinden menyanyi dan bergoyang.
“Joyo ini pasti merasa bersalah” Ucap Pak Lurah dalam hati.
MALAM SEMAKIN PANAS. Sinden terus bergoyang dan melantunkan lagu-lagu dangdut. Orang-orang semakin girang dan ikut berjoget. Bahkan ada beberapa orang yang diamankan hansip kelurahan, gara-gara joget sambil meneguk minuman keras. Warga Desa Kembaran malam itu, benar-benar mendapatkan hiburan yang luara biasa. Semua orang bergembira, dan mengacungi jempol kepemimpinan Pak Lurah Waskito.
“Kita besuk pilih lagi saja Pak Waskito, biar kita bisa joget terus” Ucap Jamingun sambil bergoyang
“Bener Pak Waskito itu, tahu kebutuhan kita” Sahut Kirun
“Pokoknya kalau Pak Waskito jadi lurah lagi, kita minta Inul Daratista untuk manggung kesini” Ucap Lik Jiwo.
“Wah bugus Sinden ini, daripada Inul’ Sela Kirun
“Ya kta minta Inul dan Sinden ini” Sahut Jamingun
‘Wah iyo, betul itu” Sahut yang lain.
TEPAT PUKUL 12 MALAM. Pertunjukan itu berakhir. Orang-orang benar-benar terhibur dengan kehadiran sinden. Pak Lurah serta merta menghampiri Sinden dan Joyo.

“Terima kasih. Malam ini kamu memberikan hiburan bagi desa kami” Ucapak Pak Lurah sambil memberikan amplop pada Sinden.
”Tidak usah Pak, kehadiran kami disini untuk membahagiakan masyarakat bapak. Permisi. Ucap Sinden datar, sambil melangkah menuju mobil dimana Joyo telah menunggu di belakang stir.
Belum juga hilang rasa bingung Pak Lurah, mobil itu telah berlalu dari hadapannya. Pak Lurah seperti tersadar dari tidur, dengan tangan masih menggenggam amplop berisi uang. Ia semakin heran kenapa sinden itu, tidak mau menerima uang. Ia juga heran mengapa Joyo, jadi kurang ajar tidak pamit padanya. Padahal mobil yang di pakai mengatar itu, monil miliknya. Perasaan pak Lurah semakin bingung, dengan kejadian-kejadian yang mengherankan itu.
“Ah, semoga ini bukan firasat buruk” Bisik Pak Lurah dalam hati.
BEDUG SUBUH MEMECAH SUNYI. Orang-orang masih terlelap dalam tidurnya. Pak Lurah justru semakin gelisah, setiap ia mencoba memejamkan kedua matanya, tapi justru semakin terang benderang. Rasa kuatir semakin merambat keseluruh tubuhnya. Rumah besar itu menjadi sangat sunyi, hanya terdengar beberapa kokokan ayam jantan mengisyaratkan pagi.
Akhirnya Pak Lurah keluar dan duduk di teras rumah. Ia terus merokok untuk mengusir kegundahan hatinya. Selang beberapa saat, menjelang matahari merekah.
“Thing,.. thong… thing… thong….” Suara bel, menganggetkan lamunan Pak Lurah.
“Mohon maaf pak, kami terlalu pagi untuk bertamu” Ucap orang berperawakan besar dan berjacket hitam itu.
“Tidak apa-apa. Anda berdua ini siapa? Ucap Pak lurah, setelah kedua tamu itu, dipersilahkan duduk.
“Kami dari kepolisiaan, saya Sersan Agus dan ini Sertu Winata” Ucap Sersan Agus, memperkenalkan diri.
“Oh, ada yang bisa saya bantu Pak” Ucap pak Lurah gugup.

“Kami ingin memberitahukan, kalau mobil Bapak terjadi kecelakaan. Sopir bernama Joyo dan sinden yang ia jemput meninggal dunia” Jelas Sersan Agus
‘Kapan terjadinya pak?” Tanya Pak Lurah
“Kemarin sore sekitar jam lima” Jelas Sersan Agus
“Lho semalam sinden itu nyanyi di sini, Joyo yang menjemput dan mengatar pulang Sinden itu” Ucap pak Lurah bingung.
“Tidak mungkin Pak, mobil yang mereka tumpangi ringsek. Kedua orang itu terjepit dan baru bisa kita evakuasi saat adzan subuh tadi.” Sela sertu Winata.
“Jadi semalam adlah arwah mereka” Bisik Pak Lurah dalam hati
“Bagaimana pak? Tanya Sersan Agus
“E,e Saya akan urus jenasahnya Pak” Jawab Pak Lurah gelagapan.
MATAHARI MENYIRAM CAHAYA KE SELURUH JAGAT. Melepas jenasah Sinden dan Joyo dalam rumah keabadian. Orang-orang Desa Kembaran, masih terus bertanya-tanya. Benarkah semalam yang menghibur mereka arwah Sinden iitu.


Yogya. 2004


Tidak ada komentar: