Sekar Panggung Kisti


KISTI, begitu orang-orang kampung Kembangan memanggilnya. Gadis berwajah cantik dan berkulit putih, berusia kurang lebih 18 tahun itu, setiap hari menghabiskan hari-harinya dengan menari. Kedua orang tuanya, sudah tak mampu lagi membendung keinginan putri satu-satunya itu, untuk tidak menari. Padahal mereka berharap anak gadis itu, untuk segera kawin dan punya anak. Sebab hampir semua gadis di Kampung Kembangan, umur 18 tahun merupakan aib besar jika belum menikah. Sudah belasan pemuda yang melamar Kisti, namun semuanya pulang dengan tangan kosong. Kisti sangat lihai untuk menolak dengan halus, setiap pemuda yang melamarnya. Orang tuanyapun juga heran, hampir semua pemuda yang di tolak tidak ada satupun yang dendam dan sakit hati. Mereka justru bangga akan keteguhan hati dan sikap Kristi yang ingin tetap menari.
“Nduk, sampai kapan, kamu akan menari? Tanya Ibunya,ketika menemui Kisti di kamar tidurnya
“Kenapa Ibu selalu tanya seperti itu?” Jawab Kisti, sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur
“Kamu akan jadi perawan tua, kalau tidak memutuskan untuk segera kawin. Apa yang kamu cari dengan menari, toh akhirnya ke dapur juga” Ucap, perempuan setengah baya itu.
“Ibu tidak usah kuatir, aku pasti akan Kawin” Ucap Kristi
“Kapan dan dengan siapa?” Tanya Ibunya, penuh kegembiraan
“Suatu saat akan aku perkenalkan dengan Ibu dan bapak” jawab Kisti sekenanya.
“Jawabanmu selalu itu-itu saja, besuk, lusa, bulan depan, tahun depan” Sahut Ibu Kisti dengan sewot.
“Lalu aku mesti jawab apa? Ibu selalu tanya itu-itu juga” Ucap Kisti Jengkel
“Sudahlah, jangan pernah menyalahkan Ibu, kalau kamu jadi perawan tua” Ucap Ibu Kisti, sambil keluar kamar.
SIANG MERANGKAK SENJA. Bias cahaya kemerahan membelah cakrawala. Kisti menyiapkan segala perlengkapan menarinya. Bedak, lispstik, pakaian tari, di masukkan di dalam tas hitam. Malam itu, Kisti diundang menari di tempat Pak Wiryo yang mengkhitankan anak sulungnya. Sudah menjadi kebiasaan di kota itu, jika mempunyai hajatan, baik itu pengantin,khitanan, syukuran selalu mengundang Kisti untuk menari. Maka warga kota itu, terasa ada yang kurang bila mempunyai hajatan dan Kisti tidak menari.
“Sudah siap Mbak Kisti” Ucap seorang pemuda, setelah matanya melihat Kisti keluar rumah.
“Sudah. Ayo berangkat” Jawab Kisti, sambil membonceng sepeda motor pemuda utusan Pak Wiryo itu.
Rumah Pak Wiryo, sudah penuh para tamu. Para undangan itu, sengaja datang sebelum Kisti menari. Maka tak heran rumah Pak Wiryo jadi penuh dan sesak. Apalagi di sepanjang jalan, para pedagang memasang tenda-tenda untuk menjajakan dagangannnya. Maka hajatan itu, seperti perayaan pasar malam. Setelah para tamu makan, Kistipun muncul dengan alunan musik jaipong. Para tamu tepuk tangan meriah, semua orang memuji kecantikan dan keluesan Kisti dalam menari.
“Wah, memang cantik dan luwes anak itu? Ucap seorang yang duduk di kursi barisan depan.
“Betul. Nak Kisti itu, menari apapun selalu luwes dan juga cantik” Sahut perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Sayang, tidak ada satupun pemuda yang dapat memilikinya” Ucap seorang bapak yang duduk di pojok, sambil terus memperhatikan gerakan-gerakan Kisti.
“Kisti belum mau, kisti masih ingin terus maenari” Sahut perempu berkebaya hijau yang teranyata istrinya itu.
Semua tamu, memuji-muji Kisti. Bahkan Pak Wiryo ikut-ikutan di puji karena mendatangkan Kisti dalam hajatannya. Bahkan para pemuda sengaja meminta ijin pada Pak wiryo untuk mengantarkan Kisti pulang.
HAJATANPUN USAI. Kisti memasukan segala perlengkapan tarinya di tas hitam. Sementara di luar rumah Pak Wiryo, lima orang pemuda sedang bersitegang berebut untuk mengatar Kisti pulang.
“Tidak bisa, Pak Wiryo dari awal sudah meminta saya untuk mengantar” ucap Balu, sambil mengisap rokok filternya.
“Ndak bisa, Kisti yang menjemput aku dan aku yang akan mengatarnya” Sahut Duwek, sombong.
“Sudah kalian tidak usah berebut, aku saja yang mengantar” Sela Paijo, sambil cengengesan.
“Kalian tidak usah berebut, Pak Wiryo sudah memintaku untuk mengantar Kisti” Ucap Prembun, sambil duduk di atas jok motornya.
“Pak Wiryo juga memintaku untuk mengantar” Sahut Genthong, sambil mendorong tubuh Prembun hingga terjengkang dari motor.
Perselisihanpun terjadi, diantara kelima pemuda itu. Mereka saling ngotot, saling mendorong hingga terjadi perkelahian. Orang-orang yang melihatpun takut melerai bahkan Pak Wiryo juga ketakutan. Sebab kelima pemuda itu, terkenal jagoan dikampung itu. Maka tak heran kalau suasana rumah Pak wiryo jadi kacau.
“Ada apa Pak?” Tanya Kisti saat bertemu Pak Wiryo
“Lima orang pemuda berkelahi, mereka berebut mengantar Nak Kisti” Jawab Pak Wiryo, sambil memegang kepalanya.
“Oh, begitu” ucap Kisti tenang, sambil melangkah keluar
“Nak Kisti jangan keluar dulu, nanti malah tambah ribut’ Ucap Pak Wiryo
“Tidak apa-apa Pak, saya akan menyelesaikannya” Jawab Kisti, sambil melangkah keluar rumah.
Kelima pemuda itu, masih terus berkelahi. Mereka saling menendang, memukul, mendorong. Bahkan Genthong yang bertubuh gendhut itu, sudah berdarah pelipis kanannya.
“Berhenti!!!” Teriak Kisti, sambil memegang tangan kanan Prembun
Mendengar suara Kisti, kelima pemuda itu, menghentikan perkelahiannya. Mereka menunduk malu dihadapan Kisti. Mereka mencoba bersikap manis pada Gadis penari berwajah cantik itu.
“Kalian berkelahi hanya untuk mengantar aku. Kalian tidak usah repot-repot, aku tidak mau diantar pemuda-pemuda berandalan seperti kalian” Ucap Kisti, sambil melangkah mendekati seorang pemuda yang duduk di jok motornya.
“Kamu mau mengantar aku” Tanya Kisti, sambil duduk di jok belakang
“E.ee ya..ya, saya mau” Jawab pemuda bernama Bayu itu, sambil menstater motornya dan hilang di kegelapan malam.
BULAN TERTUTUP AWAN. Burung malam menjadi saksi kedua anak manusia berlainan jenis itu, menerobos kegelapan. Angin menebarkan dingin kebengisan.
“Mbak kita berhenti dulu” Ucap Bayu, sambil mematikan mesin sepeda motor
“Berhenti bagaimana? Kamu jangan macam-macam ya?” Ucap Kisti, penuh kecurigaan.
“Saya tidak akan macam-macam ,kalau Mbak Kisti mau saya cium” Ucap Bayu, sambil tertawa cengengesan
“Kurang ajar, kamu anggap apa aku ini” Bentak Kisti
Ayolah Mbak” Rayu Bayu, sambil memoncongkan mulutnya akan mencium Kisti
“Plak!!!” Kisti menampar pipi Bayu
“Sompret!!” Keluh Bayu, sambil mengelus pipinya yang panas.
“Pergi kamu!!! Bajingan!! Pergi!!!” Teriak Kisti
Melihat kemarahan Kisti, Serta merta Bayu menstater motornya dan bergegas pergi dari tempat itu.
MALAM SEMAKIN LARUT,Bulan bercahaya perak. Kisti mempercepat langkahnya agar segera sampai. Namun belum lagi beberapa meter berjalan, Ia merasa ada langkah yang membuntuti dibelakangnya. Ia berhenti sejenak, untuk menyakinkan bahwa ada orang yang sengaja membutinya. Kisti tiba-tiba di sergap ketakutan yang luar biasa. Ketika sesosok tubuh kekar, dengan penutup muka sudah berdiri di depannya.
“Siapa kamu!!” Teriak Kisti, gemetar
Sosok kekar itu, tak menjawab pertanyaan Kisti. Namun dengan cepat meraih tangan Kisti dengan paksa. Kisti meronta-ronta dengan ketakutan yang luar biasa. Teriakan-teriakan Kisti lenyap oleh gelapnya malam. Tubuh kekar itu, terus menyeret Kisti dalam semak-semak. Lalu dengan gesit merobek baju Kisti.
“Tolong!!! Tolong!!! Jangan!!!” Teriak Kisti, sambil terus meronta sekuat tenaga.
Teriakan dan rontaan Kisti, membuat sosok kekar itu, semakin buas. Namun tiba-tiba
“Plak!! Plak!!” Bogem mentah, mendarat di kedua pipi Kisti
Pukulan itu, membuat kepala Supeni pening. Tenaganya semakin lemah hingga rontaan dan teriakan supeni semakin tak bertenaga dan pingsan. Sosok kekar itu, dengan beringas melepas pakaian Kisti dengan paksa. Lalu dengan leluasa memperkosa tubuh tak berdaya itu, bagai anjing kelaparan.
PAGI MENJELANG. Pak Wiryo tersenyum tipis. Betapa ia masih teringat pergumulannya semalam. Ia juga masih teringat dengan tangan kekarnya,ia setubuhi Kisti Sekar Panggung itu, dengan penuh birahi.

Komunitas Seni Timoho Yogyakarta, 2004



Tidak ada komentar: