Manten Anyar

SUPENI, harus menerima kenyataan dengan menerima pinangan dari seorang pemuda bernama Sukendar. Orang tuanya memang sudah sepakat untuk menjodohkan mereka, agar tali persaudaraan kedua keluarga itu tidak putus. Walau tidak di landasi oleh cinta pernikahan kedua sejoli ini, berlangsung meriah. Orang tua Supeni sengaja mendatangkan kelompok campur Sari, untuk memeriahkan pesta perkawinan putri satu-satunya itu. Kondangan yang datangpun terbilang cukup banyak untuk sebuah perkawinan di sebuah kampung.
SENJA TIBA. Orang-orang telah meninggalkan acara pesta. Rumah Supeni kembali sepi seperti sedia kala. Ibu Supeni, sudah tidur sejak pesta usai. Rasa lelah dan capek benar-benar menggrogoti seluruh penghuni rumah itu. Kursi, meja dan perlengkapan pesta sudah ditata rapi disudut rumah. Para pemuda dengan cepat membereskan segala perabotan pesta sebelum petang.
Ranjang pengatin yang sudah dihiasi berbagai bunga dan kelambu warna merah muda yang menyelimuti seluruh ranjang begitu indah. Aroma bunga yang menebar keseluruh ruangan menambah kesejukan bagai di alam impian. Supeni dan Sukendar tak mampu menahan gejolak, rasa gelisah terus menggelanyuti perasaan mereka. Kamar pengatin berukuran 4x4 meter itu, tak menawarkan bunga-bunga cinta. Malam pengatin yang mestinya penuh gelora cinta, mereka lewati dengan diam tak bertegur sapa.
SEPEKAN sudah usia perkawinan mereka, Supeni telah di boyong ke rumah Sukendar. Namun malam demi malam, justru semakin menyiksa perasaannya. Kamar yang mestinya mampu menjadi tempat merebahkan segala kepenatan batinya, kini tak ubahnya bagai ruang pengap yang menyesakkan dada. Supeni yang ia harapkan menjadi tambatan kegundahannya, tak lebih bagai sebongkah batu. Diam dan sunyi.
“Untuk apa kamu, mau aku nikahi?” Tanya Sukendar
“Aku tidak pernah merasa kamu nikahi” Jawab Supeni
“Nyatanya kita sudah menikah selama dua belas hari” Kata Sukendar
“Kamu menghitung usia pernikahanmu sendiri, bukan pernikahan kita” Jelas Supeni, sambil duduk dipinggir ranjang.
“Lalu apa arti semua ini?” Tanya Sukendar, heran
“Perlu kamu tahu, aku tak pernah sedikitpun mencintaimu dan aku tak pernah setuju dengan pernikahan ini” Kata Supeni, ketus
“Kamu pikir aku mencintai kamu?” Jawab Sukendar, tak kalah ketus
“Lalu mengapa kau nikahi aku?” Tanya Supeni
“Mengapa kau mau aku nikahi, jika kita tak saling mencintai” Jawab Sukendar, sambil duduk di kursi sudut kamar.
Malam itu perdebatan mereka terhenti, tak ada yang mampu menjawab. Hanya perasaan mereka yang bicara pada dirinya sendiri. Apalagi pintu kamar mereka di ketuk dari luar.
“Ndar, Sukendar di cari kawanmu itu lho, katanya sudah janji” Panggil Ibu Sukendar
“Iya bu” Jawab Sukendar, sambil melangkah membuka pintu kamar.
“Kamu itu mau kemana, lha wong manten anyar kok mau kelayapan” Kata perempuan tua itu, sambil melangkah ke ruang tengah.
“Ada urusan pekerjaan, sebentar juga pulang” Jawab Sukendar.
Sukendar melangkah masuk kamar, menyambar jacket hitamnya. Saat Sukendar akan melangkah keluar kamar.
“Kita harus selesaikan persoalan antara kamu dan aku” Kata Supeni
“kamu tidak perlu cemas, dalam dua hari ini. Antara aku dan kamu sudah tak akan lagi menjadi suami istri. Ingat kamu juga jangan menyesal atas tindakanmu ini” Ucap Sukendar, melangkah keluar kamar.
Ketegaran yang Supeni sembunyikan dan ia pertahankan ketika berhadapan dengan Sukendar akhirnya runtuh. Tangis Supenipun pecah. Betapa ia sangat menyesal, telah memperlakukan laki-laki yang syah menjadi suaminya itu. Supeni sadar, bahwa Sukendar juga tak pernah mencintainya. Malam itu, Supeni terus menangis sesugukan. Keangkuhan telah membutakan hatinya, kesombongannya telah telah mengecewakan suaminya yang telah mencoba mencintai dan memperhatikannya. Supeni terus disergap perasaan bersalah yang bertubi-tubi. Hingga mengingatkan pada pesan Ibunya, menjelang pesta perkawinan berakhir.
“Cintailah suamimu, seperti kamu mencintai dirimu sendiri yo nduk” Ucap Ibu Supeni
“Iya bu” Jawab Supeni
“Kamu janji sama Ibu” Tanya perempuan itu, penuh harap
“Peni janji Bu” Jawab, Supeni, sambil memeluk Ibunya.
Ingatan itu membuat Supeni, dengan serta merta melangkah di depan cermin. Ia usap kedua matanya yang sembab, Ia menatap wajah cantiknya dengan senyum merekah.
“Siapapun kamu, kamu sudah menjadi suamiku. Mulai malam ini aku akan abdikan seluruh hidupku padamu” Janji Supeni, dalam hati.
PAGI MEREKAH. Supeni nampak gelisah sebab semalaman Sukendar tidak pulang. Supeni pagi itu, ingin menunjukan rasa cinta dan perhatihannya pada Sukendar. Ia sengaja bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Namun sampai menjelang sore, Sukendar tak menampakan batang hidungnya.
“Mungkin Sukendar langsung kerja” ucap Ibu mertuanya
“Mungkin juga Bu” Jawab Supeni, pelan
“Kalau sampai maghrib belum pulang, kau susul saja ke rumah Joko” Kata perempuan tua itu.
MALAM MENJELANG. Angin mengibaskan udara basah. Supeni melangkah dengan segenggam harap, Sukendar akan memaafkan atas perlakuaannya selama ini. Ia terus melangkah, menuju rumah Joko di pojok desa. Sunyi malam tak membuatnya resah, rasa cinta yang ia tumbuhkan dalam hati terus mendorongnya agar cepat sampai ke rumah temen suaminya itu.
“Mas Sukendar ada Pak? Tanya Supeni, setelah sampai kerumah Joko
“Lho pergi sampai joko,dari tadi pagi” Jawab laki-laki tua itu
“Tidak bilang mau kemana pak?” tanya Supeni, gelisah
“Lha katanya, ada pekerjaan penting itu” Jelas laki-laki tua itu
“Kalau begitu saya pamit Pak” Ucap Supeni, sambil melangkah pergi.
“Ya, hati-hati Nak” Jawab laki-laki tua itu, sambil menatap kepergian Supeni.
MALAM SEMAKIN LARUT,Bulan bercahaya perak. Supeni mempercepat langkahnya. Ia merasa ada langkah yang membuntuti dibelakangnya. Ia berhenti sejenak, untuk menyakinkan bahwa ada orang yang sengaja membutinya. Supeni tiba-tiba di sergap ketakutan yang luar biasa. Ketika sesosok tubuh kekar, dengan penutup muka sudah berdiri di depannya.
“Siapa kamu!!” Teriak Supeni, gemetar
Sosok kekar itu, tak menjawab pertanyaan Supeni. Namun dengan cepat meraih tangan Supeni dengan paksa. Supeni meronta-ronta dengan ketakutan yang luar biasa. Teriakan-teriakan Supeni lenyap oleh gelapnya malam. Tubuh kekar itu, terus menyeret Supeni dalam semak-semak. Lalu dengan gesit merobek baju Supeni.
“Tolong!!! Tolong!!! Jangan!!!” Teriak Supeni, sambil terus meronta sekuat tenaga.
Teriakan dan rontaan Supeni, membuat sosok kekar itu, semakin buas. Namun tiba-tiba
“Plak!! Plak!!” Bogem mentah, mendarat di kedua pipi Supeni
Pukulan itu, membuat kepala Supeni pening. Tenaganya semakin lemah hingga rontaan dan teriakan supeni semakin tak bertenaga dan pingsan. Sosok kekar itu, dengan beringas melepas pakaian Supeni dengan paksa. Lalu dengan leluasa memperkosa tubuh tak berdaya itu, bagai anjing kelaparan.
BULAN TERTUTUP AWAN. Burung malam menjadi saksi kebiadaban anak manusia. Angin menebarkan dingin kebengisan. Sukendar duduk di teras rumah gelisah.
“Kamu susul istrimu, sejak sore Supeni mencarimu” Kata Ibu, Sukendar
“Sebentar lagi juga pulang” Jawab Sukendar
“Kalau kamu tidak mau mencari istrimun biar aku yang cari!!” bentak perempuan tua, sambil melangkah keluar menemui Pak RT. Sukendar dengan perasaan gelisah mengikuti Ibunya ke rumah Pak RT.
MALAM itu, dengan cepat Pak RT mengumpulkan warga. Orang-orang dengan membawa obor berkumpul di depan rumah Pak RT.
“Pardi kamu ajak beberapa orang ke rumah Joko, tanya apa Supeni tadi kesana” Perintah Pak RT
“Iya Pak” Jawab Pardi, sambil melangkah diikuti beberapa warga
“Yang lain ikut aku, kita susuri jalan yang kira-kira dilalui Supeni” Ucap Pak RT tegas
“Inggih!!” sahut warga
BULAN TERUS BERJAGA KELAM, Supeni dengan tubuh lunglai, menangis meratapi nasipnya. Ia merangkak mengambil pakaian yang telah robek, untuk menutupi tubuhnya. Ia terus menangis, perasaannya hancur. Ia telah kehilangan kehormatan yang selama ini di jaganya. Dengan sisa-sisa tenaga, Supeni melangkah pelan. Namun baru beberapa langkah, ia sempoyongan.
“Buuk” Supeni terjatuh dan pingsan
Suara itu terdengar Pardi dan beberapa warga, yang berjalan beberapa meter dari Supeni jatuh. Mereka cepat lari kearah suara.
“Ya, Allah Mbak Supeni” Ucap Pardi, sambil melepas sarungnya untuk menutupi tubuh Supeni.
“Cepat panggil Pak RT” Perintah Pardi
“Yo!!” Ucap salah satu warga, sambil berlari
Dengan cepat tempat itu, jadi ramai. Orang-orang saling berbisik, siapa kiranya yang melakukan perbuatan tak berprikemanusiaan itu.
Sukendar dengan cekatan, membopong tubuh istrinya itu ke rumah.
SEPANJANG MALAM Supeni menangis, memohon maaf pada Sukendar. Namun Sukendar hanya tersenyum tipis, betapa rencananya telah berhasil. Meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan Supeni.

Sanggar Komunitas Seni Timoho Yogya, 2004

Tidak ada komentar: