Perempuan Berkalung Tasbih

MALAM itu, kampung Kembangan terasa sunyi. Hujan mengguyur seluruh desa sejak sore. Kampung itu serasa mati. Masjid di pojok desa yang biasanya ramai hanya terisi beberapa jemaah. Kampung pinggiran kota dan belum mendapat aliran listrik dari PLN itu, benar-benar sunyi. Orang-orang banyak yang menunaikan sholat tarawih di rumah. Sejak berbuka puasa, Cahyo dihinggapi rasa malas yang luar biasa. Kedua matanya diserang rasa ngantuk dan seluruh badannya terasa ngilu. Maka sesudah melaksanakan sholat isya, Cahyo merebahkan tubuhnya di kursi panjang ruang tamu. Hampir satu jam ia berusaha memejamkan kedua matanya, dan berusaha tidur. Tapi justru kedua matanya semakin terang benderang. Pikirannya justru meloncat-loncat terus dan menerobos dalam ruang dan waktu yang tak mampu dikendalikannya. Ketika tiba-tiba seorang perempuan berparas cantik, berkerudung putih dengan berkalung tasbih sudah ada di hadapannya.“Kamu tidak berangkat ke masjid”, ucap perempuan berkalung tasbih itu, sambil duduk di sampingnya.“Tidak, aku capek sekali. Apalagi hujan juga belum reda”, jawab Cahyo pelan.“Bulan Ramadhan itu, bulan yang baik lho. Kamu harus banyak berdoa, Tuhan akan mengabulkan segala permintaanmu”, jelas perempuan itu, sambil senyum mengembang.“Iya, aku juga baru malam ini tidak ke masjid,” jawab Cahyo keki.Bulan Ramadhan tahun kemarin, kamu jarang ke masjid. Kamu juga ndak puasa to”, kata perempuan itu, sambil memencet hidung Cahyo.“Kamu kok tahu aku jarang ke masjid dan tidak puasa?” tanya Cahyo, penuh selidik.“Kamu itu aneh, lha wong aku setiap hari menemani kamu. Makanya aku tahu segalanya tentang diri kamu. Ini tasbih untuk kamu. Hujan sudah reda, aku pulang ya”, ucap perempuan itu, sambil melepas kalung tasbihnya dan diletakkan di dada Cahyo.Cahyo hanya mampu mengangguk, sambil tangannya menggenggam tasbih di dadanya. Kedua matanya terus menatap tajam perempuan itu, saat ke luar rumah. Cahyo merasa perempuan itu sudah sangat dikenalnya. Wajah, bibir, mata yang bercahaya, rambut sebahu, kulit, aroma parfum.“Astaghfirullaahal azhiim” ucap Cahyo sambil meloncat dari kursi panjang tempatnya tidur. Ia segera mengejar perempuan itu, ke luar rumah.“Win! Win!” teriak Cahyo.MALAM merambat pelan. Cahyo duduk lesu di depan pintu rumah, udara yang basah membelai seluruh tubuhnya. Kedua matanya terus memandang gelapnya malam. Hingga tanpa terasa, matanya telah sembab oleh air mata.“Astagfirullahal azhiim, maafkan aku” ucap Cahyo sambil terus menangis. Perasaannya terus dihantui penyesalan yang luar biasa. Tasbih berwarna emas yang basah oleh airmata itu, terus digenggamnya dengan erat. Kehadiran perempuan berkalung tasbih malam itu, telah menggedor-gedor batinnya. Perempuan yang hampir tujuh tahun menjadi pendamping hidupnya. Perempuan yang tak pernah menuntut apapun dari suaminya. Perempuan yang selalu mengalirkan cintanya bagai sungai Gangga. Perempuan berhati samudra. Pikiran dan perasaan Cahyo terus membubung, melepas awan hitam di sepanjang jagat.“Mas, seluruh tubuhku sakit. Bawa aku ke rumah sakit ya mas!” ucap istri Cahyo dengan nafas tersengal.“Iyo, aku akan bawa kamu ke rumah sakit”, ucap Cahyo gugup.

HAMPIR sebulan istri Cahyo dirawat di rumah sakit. Wajah yang dulu sumringah kini tampak pucat. Tubuhnya semakin kurus digerogoti penyakit yang tak kunjung lenyap dari tubuhnya. Cahyo hanya mampu pasrah melihat kondisi istrinya yang tergolek lemas. Selang pernafasan yang terus terpasang di kedua hidungnya, membuat perasaan Cahyo teriris-iris.

SENJA itu, Cahyo sengaja membawa putri satu-satunya ke rumah sakit untuk bertemu ibunya. Sudah hampir seminggu putrinya tidak menengok ibunya.“Besuk boleh pulang Mas”, kata istri Cahyo tersenyum.“Jarum infus di tanganmu belum dicopot”, jawab Cahyo sambil membopong putrinya.“Infus ini botol terakhir, nanti malam kalau habis akan dicopot”, jelas istrinya sambil bangkit.“Kamu sudah siap pulang?” tanya Cahyo pelan.“Sudah. Lagi pula aku ndak betah di rumah sakit”, jawab istri Cahyo sambil mencium kedua pipi putri satu-satunya itu. Cahyo menatap haru, ia merasakan betapa rindunya istri pada gadis mungil berumur enam tahun itu. Cahyo juga merasakan ada perubahan yang menakjubkan pada istrinya. Wajahnya tampak segar, walau tubuhnya masih kurus. Ada keceriaan yang selalu mengembang di kedua bibirnya. Keinginan untuk pulang sudah tak terbendung lagi. Apalagi dokter yang merawatnya, juga sudah mengizinkan pulang.“Benar Mbak? istri saya besuk bisa pulang?” tanya Cahyo pada perawat yang masuk ke ruangan sambil membawa obat.“Benar, pak. Pesan dokter begitu,” jawab perawat itu.

REMBULAN berjaga. Cahyo diliputi kebahagiaan yang luar biasa. Betapa ia merasakan, hari-hari esok adalah hari-hari yang penuh gemerlapnya bintang. Sejak istrinya di rumah sakit, rumah yang tak terlalu luas itu tampak sunyi. Malam itu, Cahyo mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat malam. Cahyo berniat mengucapkan rasa syukur, istrinya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Walau istrinya belum sembuh benar, tapi malam itu ia ingin memohon kesembuhan istrinya dan akan ia serahkan segala cobaan yang diderita istrinya pada Sang Pencipta.PAGI cerah. Udara berputar dan berhembus sejuk. Hati Cahyo penuh kebahagiaan yang tersembunyi. Betapa seluruh perasaannya, tercipta dari perilakunya. Cahyo memang tidak tampak tersenyum atau tertawa lebar. Namun pagi itu, seluruh ruangan rumah ia bersihkan, dari mulai dapur, kamar, maupun halaman. Bahkan kemarin ia sengaja membeli bantal dan guling baru, untuk menyambut kepulangan istrinya dari rumah sakit.“Pak, kok dibersihkan to?” tanya Yaya putrinya sepulang dari sekolah.“Nanti Ibu pulang, makanya rumah ini harus bersih dan segar”, jawab Cahyo, sambil mengganti baju putri satu-satunya itu.“Lho, Ibu sudah sembuh to. Asyik....!”

SIANG menjelang. Cahyo dan putrinya berangkat ke rumah sakit. Setelah membereskan seluruh urusan administrasi, akhirnya istrinya keluar dari rumah sakit. Ada kebahagiaan yang memancar dari wajah istrinya, sepanjang lorong rumah sakit. Apalagi Yaya putrinya, minta pangku di kursi roda tempatnya duduk yang didorong perawat jaga.“Sudah sehat to nduk” ucap Mbah Suto, ketika istrinya sampai rumah.“Nggih lumayan Mbah”, jawab istri Cahyo, pelan.“Yang penting jangan terlalu capek”, sela Bude Jum.“Iya, harus banyak istirahat”, ucap perempuan yang duduk di sudut ruang.

SENJA merangkak. Cahyo mencuci dan istrinya tidur siang setelah kecapekan menemui sedulur-sedulur yang datang.“Aku dimandikan di kamar tidur atau kamar mandi?” tanya istrinya ketika Cahyo masuk ke kamar.“Kamar mandi”, jawab Cahyo sambil memberikan handuk pada istrinya. Cahyo keluar untuk mempersiapkan air hangat.“Buk!” terdengar suara benda jatuh di kamar. Cahyo melompat lari masuk kamar.“Astagfirullaahal azhiim!!” Cahyo merangkul istrinya yang terjatuh dari tempat tidur. Kepanikan Cahyo semakin bertambah ketika istrinya lunglai tak berdaya. Cahyo terus menyebut nama Allah, mohon perlindungan dan mohon ampun. Cahyo teriak-teriak histeris ketika degup jantung istrinya tiba-tiba berhenti. Ia terus mencoba menolong istrinya dengan memberi bantuan pernafasan.“Ya Allah, tolong istri saya! Astagfirullaahal azhiim!!” Cahyo terus mencoba menolong. Akhirnya strinya dilarikan ke rumah sakit. Namun Allah telah memanggilnya. Allah telah meminta kembali istrinya.

SENJA bergerak pelan. Menaburkan berjuta-juta kepiluan. Angin berhembus, menebarkan duka luka. Cahyo terduduk lesu, memandang jenazah perempuan yang selama ini menjadi pendamping hidupnya. Mulut Cahyo terus berzikir dengan tasbih di tangannya. Bersama lelehan airmata dari kedua kelopak matanya.“Pak, besuk ke makam Ibu ya pak?” ucap Yaya sambil berdiri di samping Cahyo.“Lho, kamu bangun to?”“Lha Bapak ndak tidur kok”.“Ini Bapak baru mau tidur”, jawab Cahyo sambil menggendong putrinya.“Tapi besuk ke makam Ibu, ya, Pak. Aku kangen”, Cahyo hanya mampu mengangguk, sambil mencium kedua pipi putrinya, sekaligus menyembunyikan wajahnya yang mulai sembab lagi karena air mata.....Yogya, 2003* Untuk almarhumah istriku tercinta

Tidak ada komentar: