Bulan Seribu Cahaya

BULAN SERIBU CAHAYA, telah tiba. Menemui kembali umat untuk senantiasa mengoreksi diri. Melakukan puasa, mempertebal iman dan taqwa. Begitu juga dengan seluruh warga desa Pring Sewu. ‘’Kamu tidak ke Masjid?’’ tanya Mbok Kemi. ‘’Tidak’’ jawab Sodron. ‘’Kamu harus ke masjid, semua penduduk desa pada salat tarawih. Ini bulan baik, mintalah ampunan pada Gusti Allah’’ ucap perempuan tua itu, sambil melipat mukena.‘’Aku tidak yakin, apa Gusti Allah masih mau mengampuni aku. Semua orang di desa ini saja, tidak mau memaafkan aku,’’ ucap. Sodron, sambil merebahkan tubuhnya di kursi tamu.‘’Gusti Allah itu, maha pemurah, maha pengampun. Semua umatnya akan diampuni segala dosanya, jika umatnya itu benar-benar mau bertobat’’ jelas Mbok Kemi, sambil melangkah dan duduk di samping putra satu-satunya itu.‘’Tidak Mbok. Simbok saja yang berangkat ke Masjid. Aku belum siap untuk salat di Masjid, biar aku salat tarawih di rumah saja,’’ ucap Sodron penuh harap.‘’Ya sudah, Simbok berangkat dulu,’’ ucap perempuan itu, sambil melangkah keluar rumah.

RAMADAN kali ini, benar-benar menebarkan seribu cahaya. Masjid di sudut desa yang sehari-harinya sepi. Kini penuh sesak jemaah yang melakukan salat tarawih. Bahkan masjid tak mampu menampung seluruh jemaah hingga sebagian jemaah terpaksa salat di halaman masjid.SUDAH SEMINGGU, Sodron puasa dan melakukan salat tarawih di rumah. Nasihat-nasihat Mbok Kemi, sudah tak di gubrisnya lagi. Namun setelah berbuka puasa Sondron selalu diliputi kegelisahan yang datang bertubi-tubi. Perasaan bersalah dan berdosa atas pembunuhan terhadap istrinya sendiri selalu datang menyergapnya tanpa ampun. Peristiwa tragis yang membawa dirinya mendekam di penjara selama sembilan tahun. Itu, seperti mata pisau yang berkilat-kilat yang menghujam ke hatinya. Nyeri, pilu dan membuatnya gemetaran dan seluruh tubuhnya penuh keringat dingin. Jika sudah dalam kondisi seperti itu hanya satu yang selalu ia ingat yakni Ustad Sholeh, kawan satu selnya yang telah mati dieksekusi sehari setelah ia keluar tahanan.‘’Kau harus datang ke rumah Allah. Mohon ampun dan bertobatlah’’ ucap Ustad Sholeh saat Sodron akan keluar dari tahanan.‘’Aku takut datang ke rumah Allah, seluruh tubuhku penuh lumuran dosa. Aku sudah menjadi Tuhan bagi istriku sendiri, ucap Sodron menangis sesenggukan.‘’Jangan pernah takut datang ke rumah Allah, sebab Allah Maha pengampun. Dekatkan dirimu pada Allah hingga kamu tidak dikejar-kejar perasaan berdosa’’ jelas Ustad Sholeh, teman satu selnya itu.‘’Apa Allah akan mengampuni saya’’ tanya Sodron.‘’Allah pasti akan mengampuni segala dosa-dosamu. Sekarang keluarlah dari tempat terkutuk ini dan jangan pernah kembali ke sini, ucap Ustad Sholeh dengan tersenyum.

***
SENJA MENENGGELAMKAN SANG SURYA. Bedug pertanda maghrib berkumandang bersahutan ke penjuru raya. Sodron menyruput teh hangat yang telah disiapkan Simboknya di meja makan. Sebab Simboknya berbuka puasa di masjid. Maka Simboknya telah menyiapkan segala makanan untuk berbuka puasa anak satu-satunya itu. Usai berbuka puasa Sodron meyakinkan diri, menata hati dan perasaannya. Sebab ia berniat datang ke rumah Allah untuk salat tarawih berjamaah. Apapun risikonya akan ia hadapi.‘’Bismillahirramaanirrahim’’ ucap Sodron saat keluar rumah.MENJELANG ISYA. Masjid sudah penuh para jemaah. Mereka dengan khusuk berdoa, ada yang melakukan salat sunah. Beberapa anak-anak kecil berlarian mengambil air wudhu, agar tidak terlambat untuk salat isya berjamaah. Namun keheningan dan kekhusukan jamaah masjid itu, tiba-tiba berubah menjadi riuh ketika seorang jemaah melihat Sodron melangkah masuk masjid.‘“Saudara-saudara kita harus keluar dari masjid, sebab masjid ini sudah kotor’’ ucap Sadeli dengan lantang.‘’Benar!!! kita harus sucikan masjid ini sebab seorang pembunuh telah menjadikan masjid ini menjadi najis’’ sahut Lik Sujak.‘’Usir dia dari masjid!!!’’ teriak ketua takmir masjid.‘’Ya. Seret saja orang itu, keluar dari masjid’’ ucap yang lain.‘’Jangan!!! tidak boleh melarang siapapun yang datang kerumah Allah’’ ucap Ustad Harun.‘’Allah memang tidak melarang Ustad, tapi kami melarang pembunuh keji itu, salat di masjid ini, jawab Lik Sujak dengan geram.‘’Kalian tidak boleh melarang orang bertaubat dihadapan Allah’’ ucap Ustad Harun, penuh kearifan.‘’Tapi masjid ini, kaki bangun dengan swadaya seluruh warga desa ini. Dan perlu Ustad tahu kami sudah sepakat untuk melarang pembunuh itu melakukan salat di masjid ini’’ ucap Sadeli.‘’Sudah!! Walau Ustad tidak setuju, kita harus tetap usir Sodron dari masjid ini teriak Lik Sujak.‘’Ya. Usir pembunuh itu!!!’’ teriak yang lain.Sodron tak bergerak sedikitpun, ia sudah pasrah apapun yang akan dilakukan para jamaah yang semuanya tetangganya itu. Ia hanya merasakan jantungnya berdetak lebih keras, menggedor-gedor dadanya.‘’Sodron lari!!!’’ teriak Mbok Kemi histeris.‘’Tidak Mbok. Kalau memang Allah telah menentukan mereka harus menjadi Tuhan bagi diriku’’ ucap Sodron dengan gemetar.‘’Jangan le, mereka tidak berhak atas nyawamu’’ ucap Mbok Kemi, dengan terus menangis.‘’Biar Mbok, aku ikhlas kalau memang aku harus mati di rumah Allah’’ ucap Sodron sambil melangkah dan memeluk Simboknya.‘’Sudah le keluarlah dari masjid’’ ucap Mbok Kemi tersendat.‘’Tidak Mbok, tidak seorangpun yang boleh melarangku datang ke rumah Allah’’ ucap Sodron dengan ketabahan yang luar biasa.‘’Bangsat!!! Seret pembunuh itu!!!’’ teriak ketua takmir masjid.Maka para jamaah dengan kemarahan yang memuncak menyeret Sodron keluar masjid. Namun Sodron tetap bertahan dan tidak melawan perlakuan para jemaah itu. Tak pelak lagi pukulan, tendangan para jemaah mendarat keseluruh tubuh Sodron. Ustad Harun dan teriakan Mbok Kami tak digubris lagi. Dengan kemarahan di ubun-ubun, Sodron digelandang keluar masjid bagai seorang pencuri. Masjid itu gaduh dengan teriakan. Namun mereka juga tak mampu berbuat apa-apa.Para jemaah terus menghajar Sodron di depan serambi masjid. Bibir Sodron pecah. Seluruh persendian Sodron sudah terasa sakit, terkena pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi. Namun tiba-tiba sebatang kayu dihantamkan di kepala Sodron.‘’Praaakkkk’’Darah segar mengucur deras, Sodron mengaduh dan roboh dengan kepala bocor. Namun para jamaah terus menghajar Sodron.‘’Sudah!!! Berhenti!!!. Apa kalian akan membunuhnya’’ Ucap Ustad Harun.Mbok Kemi, serta merta berlari memeluk putra satu-satunya itu. Dengan di bantu Ustad Harun dan beberapa jemaah tubuh Sodron diangkat pulang.Sejak peristiwa itu, masjid menjadi sepi. Warga desa enggan untuk ke masjid. Mereka sengaja melakukan salat di rumah masing-masing atau melakukan salat di masjid desa sebelah. Masjid itu menjadi sunyi. Para pengurus masjidpun enggan datang untuk sekadar membersihkan masjid.Tujuh belas hari bulan Ramadan. Masjid itu tetap sunyi tanpa jemaah. Adzan sudah tak berkumandang di masjid itu.

DINI HARI Sodron melangkah pelan masuk ke dalam masjid. Setelah salat malam ia berdoa memohon ampun atas segala perbuatannya. Sajadah telah basah oleh air mata. Namun Sodron terus berdoa dan berdoa sampai menjelang subuh.

UDARA BASAH. Embun menetes dari pucuk dedaunan. Kicau burung dan kepakakan ayam jantan melepas malam. Sodron tiba-tiba menghidupkan mikrofon. Dan....‘’Allahu Akbar, Allahu Akbar’’ adzan subuh, mengumandang dari mulut Sodron. Warga desa yang mendengar adzan dari masjid heran. Bahkan orang-orang yang akan berangkat ke masjid di desa sebelah, mengurungkan niatnya. Mereka seperti dikomando, berbondong-bondong menuju masjid. Mereka berkumpul di luar masjid, penuh keheranan. Sebab mereka tidak menyangka kalau Sodron yang mengumandangkan adzan subuh tadi. Melihat orang-orang berkumpul di depan serambi masjid, Sodron segera melangkah menyambut mereka.‘’Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh’’ ucap Sodron dengan senyum.‘’Wallaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh’’ jawab seluruh warga, dengan serentak dengan tetap heran.Namun Sodron tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia segera turun dan menjabat mereka satu persatu dengan penuh keramahan. Merekapun melakukan salat subuh berjamaah, Sodron yang menjadi imam. ***Yogya, Ramadan 2004

Tidak ada komentar: