Perang


ASAP HITAM, membumbung di angkasa. Kobaran api melalap rumah Dalijo yang berdinding papan itu, tanpa menyisasakan harta seperserpun. Dari mulai kasur,lemari,baju dan beberapa perkakas rumah tangga hancur menjadi abu. Bangunan rumah yang menjadi pelindung hampir sepuluh tahun itu, rata dengan tanah. Orang-orang kampung yang berusaha memadamkan api tak mampu berbuat banyak.
Pagi itu Dalijo duduk dipinggir reruntuhan rumah yang sisakan asap dibeberapa tumpukan kayu. Pikirannya terus dihantui perasaan heran dan tak mengerti, ia tak habis pikir kenapa semalam emosinya jadi tak terkendali. Ia hanya ingat kalau semalam ia bertengkar hebat dengan istrinya gara-gara saling debat siapa yang bersalah antara Amerika Serikat dengan Irak. Setelah nonton televisi yang menyiarkan penyerangan Amerika dengan sekutunya ke negara Irak. Dan……
“Amerika itu namanya ngawur, sok kuasa!” Ucap, Warni sambil meletakan secangkir kopi di meja.
“Ngawur piye?, kalau tidak diserang sikumis tebal Saddam itu, bisa mencelakakan orang-orang sedunia lho.” Sanggah Dalijo, sambil mensruput kopi pahitnya.
“mencelakakan piye. Lha wong Saddam sudah mengijinkan negaranya digledah dan mau menghancurkan senjata-senjata yang dianggap mengerikan itu” Sahut Warni dengan terus nerocos tak mau kalah
“Tapi belum semua senjata dimusnahkan, makanya Bush marah-marah” Ucap Dalijo, geregetan
“Ya ndak bisa begitu, sama saja itu nama mau menange dhewe, Saddam itu pasti juga ndak mau mengacurkan senjata-senjatanya semuanya. Lha wong diancam mau diserang kok senjatanya mau dihancurkan, itu namanya Saddam bunuh diri” jelas Warni, ngotot
“lha kamu itu Cuma ngotot, ndak mau kalah” Ucap Dalijo, sambil melangkah mematikan TV
Warni dengan terus bicara mengomentari tindakan-tindakan Amerika dengan sekutunya sambil melangkah menghidupkan TV. Mata warni terbelalak di depan televisi, ketika melihat seorang bayi dan beberapa terkapar tanpa nyawa.
“Lihat ini, Amerika itu memang biadab. Bayi dan orang-orang itu tadi tidak salah to, tapi mereka harus mati karena kelakuan Bush itu. Ucap Warni, sinis.
“sudah matikan saja Tv itu” bentak Dalijo
“Biar aku mau lihat, biar kamu juga tahu kalau Amerika itu memang salah. Amerika itu ngawur dan sok kuasa” Ucap Warni, tak kalah keras
Pertengkaran mereka semakin sengit, untuk merebutkan tombol televisi. Mereka saling mematikan dan menghidupkan tombol Tv dan akhirnya Dalijo dengan kemarahan memuncak mengangkat dan membanting Tv yang tak terlalu besar itu.
“Prang.. prang!!” Suara TV pecah, menghentikan perdebatan mereka. Warni duduk diam di sudut ruang dan Dalijo duduk di kursi sambil menahan kemarahan.
Malam itu rumah mereka jadi sepi. Namun tak begitu lama perdebatanpun mulai lagii dan lebih sengit. Suami istri itu bermusuhan bagai Saddam dan George Walker Bush. Mereka saling mencaci, saling menunjukan kekuatan dalam peranya di rumah tangga.
“kalau tidak ada aku kamu pasti kelaparan ndak ada yang ngurus” Ucap Warni, dengan mata tajam.
“Kamu pikir aku ndak bisa hidup tanpa kamu, justru kamu yang ndak bisa hidup” Ucap Dalijo, celelekan.
Malam semakin larut. Perdebatan suami istri itu tak juga reda tetapi semakin memuncak. Beberapa tetangga yang mencoba meleraipun tak digubrisnya.
“Sudah kita cerai saja!!!” Teriak Dalijo, membungkam mulut Warni. Beberapa tetangga berangsur-angsur pergi dari depan rumah mereka, sebab mereka pikir situasinya akan mereda jika sudah bicara perceraian. Para tetangga itu juga sudah tidak mau turut campur kalau sudah membicarakan perceraian.
Warni diam, matanya sembab oleh air mata. Ia tidak mengira kalau Dalijo akan mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu. Sejak mereka berumah tangga kata-kata itu yang selalu mereka hindarkan, pertengkaran apapun boleh tetapi mereka sepakat untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu dari mulut mereka.
“Betul apa yang kamu ucapkan itu kang?” Suara Warni, serak
“Kamu pikir aku main-main, aku tidak akan menarik lagi kata-kata yang keluar dari mulutku” Ucap Dalijo, dengan nada tinggi.
“Tapi Kang, apa salah saya hingga Kang Dalijo akan menceraikan aku?” Ucap warni, dengan terus menangis.
“Kita sudah tidak cocok lagi, kita sudah bersembrangan kalau kita teruskan rumah tangga ini, kita akan selalu perang” Teriak Dalijo, emosional
“Sadar Kang, nyebut Kang” rintih Warni, sambil memeluk Dalijo.
Sungguh diluar dugaan sambutan Dalijo terhadap Warni perempuan yang sudah lebih sebelas tahun ia nikahi itu. Pelukan tangan Warni dilepas dan
“Plak!! Plak!!! Plak!!!!” Bogem mentah mendarat ke muka Warni hingga terjerembab dilantai.
Warni menangis sesunggukan dengan muka membiru. Perasaan Warni begitu perih, sedih, marah dan bingung campur aduk. Ia tak mengerti dengan kelakuan Dalijo. Namun tiba-tiba kemarhan Warni tak terbendung lagi, ia merasa dilecehkan dengan perlakuan suaminya itu. Lalu dengan bersijengkat berdiri dan menyambar kursi kayu dan di pukulkan di kepala Dalijo.
“Prak!!!”
Dalijo mengaduh kesakitan dengan memegang kepalanya yang bersimbah darah. Tubuhnya terhuyung dan dengan sisa-sisa tenaganya ia dorong Warni hingga terpelanting kepalanya terbentur tiang rumah hingga tak sadarkan diri. Tubuh perempuan itu, lemas dan ambruk disudut ruang.
“Bajingan!! Perempuan laknat” Ucap Dalijo, sambil terus menendang tubuh yang tak berdaya itu.
Melihat Warni tak bergerak, tidak menyurutkan kemarahan Dalijo, ia lari kedapur mengambil minyak tanah dan ia guyurkan ke tubuh warni dan seluruh dinding rumah.
“Kamu yang kalah dalam perang ini, kau yang mati, kau yang akan terbakar dan menjadi abu lebih dulu. Perempuan busuk !! perempuan sundel!! Kau kalah perang, aku yang menang!!” Ucap Dalijo, sambil tertawa.
Tangan Dalijo meraih korek di kursi dan dengan terus tertawa ia sulut istrinya. Api dengan cepat membakar tubuh perempuan itu. Melihat istrinya mengerang Dalijo justru tertawa terbah-bahak.
“kang tolong kang… tolong” Tubuh itu lalu mengejang dan diam dalam posisi duduk.
Api terus berkobar dengan cepat merembet ke dinding rumah dan melahap seluruh isi rumah. Dalijo terus meloncat keluar dengan terus tertawa puas.
“Aku menang!! Musuhku telah mati!! Perang !! aku menang Perang!!” Ucap Dalijo dengan bangga.
“Sudah Pak, kita harus berangkat ke kantor Polisi” Ucap perwira polisi itu, sambil menepuk pundak Dalijo.
Dalijo melangkah pelan dengan borgol mengunci kedua tangannya. mengunci seluruh kehidupan cinta kasihnya dengan Warni.
“Warni, Aku nyuwun pangapura” Ucap Dalijo dalam hati.

Sanggar Komunitis Seni Timoho Yogya




Tidak ada komentar: