Kalung


SUKEMI, terus uring-uringan dengan Sekro suaminya. Sebab menjelang lebaran suaminya malah kedhanan main judi togel. Setiap pagi, siang, sore, membawa kertas ramalan dan mengutak-atik angka. Kalau sudah begitu, Sekro tidak mau di ganggu apalagi di srempil gawean rumah.
“Kang mbok cari kerja, dari pada mikirne angka-angka itu!!” Ucap, Sukemi gregetan.
“Kamu pikir ini ndak kerja? Kalau angka-angkaku ini tembus, kamu tak belikan kalung, giwang, gelang dan pakaian baru. Kita akan jadi orang kaya saat lebaran nanti. Biar sedhulur-sedhulurmu pada mendhelik lihat kamu” Jawab, Sekro sambil menuliskan angka-angka di kertas.
“ Alaaaah, gombal tiap hari beli ndak pernah nembus saja”
“Ini lain, aku dapat firasat kalau nomor-nomor ini bakalan tembus”
“Tiap hari kamu juga, ngomong begitu, pokoknya aku ndak mau lagi ngasih uang untuk beli nomer buntutan!” Ucap, Sukemi sambil melangkah meninggalkan rumah.
Sekro terus mengutak-atik angka-angka hingga menjelang mahgrib. Tapi saat angka-anga jitu Sekro sudah ditemukan, Ia blingsatan sendiri lantaran Sukemi tidak kunjung pulang. Mata Sekro terus memperhatikan detik-detik jam, satu jam, dua jam tapi tidak ada tanda-tanda Sukemi pulang. Rasa jengkel dan marah menghatui jiwanya. Hingga pelan-pelan Sekro membongkar lemari dengan sebilah pisau.
“Pletaak!!” Suara pintu lemari yang di buka secara paksa. Dengan secepat kilat Sekro mengambil kalung emas istrinya dan melangkah keluar rumah.
Setiba di rumah Sukemi, hanya duduk lemas ketika matanya melihat lemarinya sudah terbuka. Ia sudah dapat menduga kalau suaminya pasti mengambil kalung emas peninggalan orang tuanya itu. Air bening merembes dari kelopak mata Sukemi. Ia tak habis pikir, kenapa suaminya jadi keranjingan judi togel hingga tega mengambil barang miliknya yang paling berharga. Padahal kalung itu, selalu Ia pakai saat bertemu dengan saudara-sudaranya saat lebaran. Hati Sukemi di landa kecemasan yang luar biasa. Sebab bayangan orang tuanya, tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia juga teringat betul, pesan orang tuanya sehari sebelum meninggal.
“Semiskin apapun kalian, jangan pernah menjual kalung ini” Suara, Ibunya mengiang-ngiang di telinga Sukemi. Ia juga masih merasakan saat Ibunya mengalungkan kalung di lehernya dan juga mengalungkan kalung di leher saudara-saudara perempunnya. Sukemi benar-benar di hinggapi ketakutan dan kekuatiran, Ia tidak akan mampu menjawab berondongan pertanyaan dan cibiran dari saudara-saudaranya ketika ketemu saat lebaran karena Ia tidak memakai kalung peninggalan orang tuanya.
Kecemasan dan ketakutan yang membelenggu perasaan hati Sukemi, mengakibatkan dirinya jadi kurang waras. Orang-orang kampung jadi kasihan dan iba melihat kondisi Sukemi. Apalagi Sekro tidak pernah pulang, semenjak mengambil kalung Sukemi. Setiap hari Sukemi hanya merenung di rumah yang tidak terlalu luas itu. Terkadang Ia tertawa cekikian, sebentar kemudian menangis bahkan seringkali marah-marah mencari kalungnya yang hilang.
Malam menjelang lebaran, gema Takbir berkumandang. Merayakan kemenangan karena sebulan berpuasa. Orang-orang menyiapkan berbagai keperluan lebaran untuk menyambut saudara, kerabat dan handai taulan. Malam itu semua orang penuh kegembiraan. Hati Sukemi justu dibalut-balut kedukaan yang mengerikan. Ia bersujud dan menghantamkan kepalanya di meja hingga berdarah. Gema Takbir terus berkumdang, mengiringi kepasrahan Sukemi.
Pagi Setelah Sholat Idul Fitri, kampung Bale Kambang di buat geger. Sukemi ditemukan sudah tergantung kaku dengan tali menjerat lehernya. Orang-orang yang akan bersilaturahmi mengurungkan niatnya. Mereka bergerombol menuju rumah Sukemi. Dalam sekejab rumah Sukemi penuh sesak dengan orang-orang yang ingin melihat mayat yang tergantung kaku itu. Mayat Sukemi nampak pucat, rasanya Ia ingin mengabarkan ke semua orang akan derita yang dialaminya.
Orang-orang kampung segera menurunkan mayat Sukemi dan memakamkan di pekuburan pojok desa. Lebaran di kampung itu menjadi sebuah duka, sebab orang-orang jadi iba dan kasihan memikirkan nasip tragis yang di alami Sukemi. Hingga akhirnya seluruh warga menghujat dan mempersalahkan Sekro suami Sukemi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Sukemi mati bukan gantung diri tetapi sengaja di gantung oleh Sekro. Pendapat matinya Sukemi kerena di bunuh Sekro, semakin hari semakin santer dan di percaya oleh warga.
“Saya yakin Sukemi mati di bunuh oleh Sekro” Ucap, Lik Gino
“Betul Lik, Dulu Sekro itu minggat karena mencuri kalung” Jelas, Kimpling
“Pasti Sekro pulang dan mencuri lagi sambil membunuh Sukemi” Ungkap, yang lain.
“Biar tidak mencurigakan, mayat Sukemi di gantung. Iya to?”
“Kalau ketemu Sekro, tak ajar tenan kok!!” Ucap. Gino Emosional
“Kita harus bunuh Sekro ramai-ramai!!” Tegas, Kimpling
Matahari memancarkan cahaya keganasan, mata-mata warga penuh api amarah. Sejak kematian Sukemi setiap warga memasang mata dan telinga untuk mencari keberadaan Sekro. Lebaran yang mestinya menjadi tempat saling memaafkan justru menjadi titik awal keganasan dan kemarahan.
Seminggu setelah lebaran, kampung itu di buat geger lagi dengan munculnya Sekro. Orang-orang terheran-heran dengan tingkah laku Sekro. Niatan warga untuk membunuh Sekro tiba-tiba kehilangan nyali. Keganasan dan kemarahan yang pernah terlontar berganti sebuah penghormatan. Sekro yang dulu miskin dan keblinger karena judi togel, kini datang dengan sebuah mobil mewah dan di kawal oleh beberapa orang berperawakan besar. Sekro membagi-bagikan uang ke seluruh warga. Sekro juga menjelaskan kepada warga mengapa Sukemi jadi tidak waras dan akhirnya bunuh diri.
Kedatangan Sekro di kampung itu, benar-benar seperti dewa. Bahkan Kehadiran Sekro selalu di tunggu-tunggu dan dielu-elukan bagai pejabat pemerintah.
“Hebat Sekro, sekarang jadi konglomerat” Ucap Kimpling
“Iya. Itu gara-gara putus judi togel jadi kaya “ Ucap, yang lain
“Tapi kita juga ikut seneng lho, lha wong kampung kita jadi makmur”
Lebaran tahun ini merupakan lebaran yang paling membahagiakan bagi kampung Bale Kambang. Hampir seluruh warga kebagian hadiah dan kado dari Sekro. Dalam seminggu ini kampung Bale Kambang pesta pora, Sekro memang memberikan segala kebahagian bagi warga kampung. Dari mulai hiburan, dangdut, karaoke, layar tancep, campur sari sampai wayang kulit. Kampung kecil itu bagai pasar malam, sebab hampir setiap malam ada pertunjukan kesenian. Peristiwa langka ini membuat warga kampung yang lain, berbondong-bondong datang ke kampung Bale Kambang. Kampung yang tenang itu dalam sekejab seperti kota. Lalu lalang kendaraan dan hilir mudik orang-orang membuat Sekro tersenyum puas. Harapan dirinya untuk berubah menjadi kenyataan. Judi Togel telah membawa dirinya dalam sebuah istana yang megah dan menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat.
“Siapa sekarang yang tidak kenal dengan Sekro, konglomerat terkaya di kota ini.
Sekarang siapa yang tidak akan mengelu-elukan dan membungku-bungkuk untuk minta tolong padaku” Ucap, Sekro dengan tertawa sombong.
Sekro menjadi pembicaraan utama tidak saja di kampung-kampung tapi juga sudah menjadi pembicaraan para pejabat dan tokoh-tokoh partai politik di kota itu. Bahkan mereka saling berebut mendekati Sekro, ada yang sekedar basi-basi. Ada juga yang sudah terang-terangan meminta Sekro, untuk menjadi penyandang dana partai politik dan akan memasukan Sekro menjadi pengurus partainya. Ada juga yang meminta Sekro, untuk mendanai salah satu calon Kepala Daerah dalam pemilihan Kepala Daerah di kota itu. Hidup Sekro, benar-benar di penuhi gemerlapnya bintang.
Malam itu bulan berjaga, bintang-bintang bertebaran murung. Sekro duduk di kursi goyang sambil mengisap cerutu. Pikirannya melompat jauh dan tiba-tiba Sekro kaget sebab ketakutan menyergapnya tanpa ampun. Wajah Sukemi, tiba-tiba muncul dihadapannya dengan tali ditangan. Mata Sukemi memerah penuh dendam.
“Kalung…. Kembalikan kalungku..” Suara Sukemi, membuat bulu kuduk Sekro berdiri. Nafas Sekro semakin sesak dihantui ketakutan yang luar biasa. Sekro meronta dan berteriak histeris. Teriakan Sekro, tidak membuat Sukemi hilang dari pandangannya. Sekro berusaha lari dari kamarnya yang megah itu, tapi seluruh pintu tiba-tiba terkunci. Wajah Sekro semakin pucat, tubuhnya gemetar hebat. Sekro tak mampu lagi bergerak, tubuhnya terjepit di pojok kamar. Sukemi terus mendekati Sekro dengan tali jerat ditangan.
“Jangan… ja..ja. ngan.. ampuni aku…” Ucap, Sekro dengan gemetar. Sekro, terus memohon ampun pada Sukemi dengan tubuh yang gemetar. Sukemi tidak menggubris permohonan ampun Sekro, dengan kamarahan dan dendam yang kesumat. Ia jeratkan tali ke leher Sekro.
“Matilah kamu pencuri kalung!!” Teriak Sukemi, sambil menarik tali jeret di leher Sekro. Hingga Sekro, seperti tercekik lehernya dan susah bernafas.
“Akh… akh… Am. Pun,..” Suara Sekro, tersendat
“Bangun-bangun, sudah jam tujuh. Memangnya ini rumah Bapakmu!! ” Bentak , penjaga sambil memukul besi bui.
Sekro geragaban, dan cepat tersadar. Ia ambil sabun dan sikat gigi lalu antri mandi sesama penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Hampir sebulan Ia menjadi penghuni Rutan dan pikirannya terus dihantui oleh perasaan bersalah karena mencuri kalung istrinya dan mengakibatkan istrinya bunuh diri.

Yogya, 2002



Tidak ada komentar: