Sendang Kali Angke

WARGA kampung Sangiran, tumpah ruah di sepanjang jalan menuju sendang Kali Angke. Mereka bersuka ria menunggu kedatangan kepala Kota Praja, yang akan meninjau Sendang Kali Angke. Tak begitu lama para petugas pengaman datang di tempat itu, mengamankan jalan yang penuh sesak penduduk. Kepala Kota Praja hadir dan seluruh warga duduk tenang.‘’Saudara-saudara harus bangga mempunyai sendang yang begitu indah. Perlu Saudara-saudara ketahui bahwa hasil keputusan pemerintah kota Praja, sendang ini akan dipugar dan dijadikan aset pariwisata. Oleh sebab itu kami atas nama pemerintah Kota Praja meminta agar seluruh warga bisa bekerjasama dalam membangun sendang Kali Angke. Sekian dan terima kasih’’.Sorak dan tepuk tangan warga bergemuruh. Tiba-tiba suara gamelan terdengar mengiringi para penari yang mempertontonkan kemahirannya di depan Kepala Kota Praja. Sementara di pojok rumah Darno berbincang dengan Ranti gadis manis kembang kampung itu. Seluruh penduduk bahagia, nampak beberapa warga ikut berjoget bersama para penari.


Senja menggelantung. Seluruh warga telah pulang dan tempat itu kembali sepi seperti biasanya. Rumah Lik Warno dan Darno yang bersebelahan dengan sendang Kali Angke, juga kembali sunyi.‘“Wah sepi lagi ya Dar?’’ Ucap Lik Warno, sambil duduk di kursi depan rumah.‘’Iya’’ jawab Darno, yang duduk di depan rumahnya.‘’Kau tidak berusaha cari istri lagi Dar?’’‘’Ndak, enak sendiri.’’‘’Apa enaknya hidup sendiri itu? Kamu akan kesepian.’’‘’Biar, aku seneng dalam kesepian.’’ Jawab Darno, sambil menyulut rokok klembak menyan.‘’Kau harus cari istri lagi, biar ada yang melayanimu.’’ Lik Warno melangkah dan duduk di samping Darno. Mulut Lik Warno terus nerocos, menasihati Darno.‘’Sudah! Aku mau pergi’’‘’Mau kemana? Aku belum selesai bicara.’’Darno tidak menggubris omongan Lik Warno. Ia berdiri dan melangkah meninggalkan rumahnya.‘’Dar, mau kemana?‘’Dari istri’’Mendengar jawaban itu, Lik Warno cengengesan. Lalu melangkah pulang menyalakan lampu minyak yang digantung di pojok rumah. Kemudian melangkah masuk rumah.


Pagi menjelang. Bedug subuh memecah kesunyian. Para warga yang hampir semuanya berprofesi sebagai petani bersiap pergi ke sawah. Ayam jantan berkokok seakan memberi isyarat bahwa malam telah berganti pagi.Yu Sempi istri Lik Warno membuka jendela dan pintu rumah. Setelah menyapu halaman, ia pergi ke Sendang untuk mencuci. Tiba-tiba Yu Sempi menjerit dengan tubuh gemetar.‘’Tolong!! Ada Mayat!!... tolong!!!’’Darno dan Lik Warno melompat dari tempat tidur dan berlari, ke arah suara Yu Sempi. Lik Warno memeluk Yu Sempi yang tubuhnya gemetar dan dingin karena ketakutan. Darno setelah melihat mayat perempuan yang terapung di sendang itu, segera memukul kenthongan yang tergantung di rumahnya.‘’Thok!!! Thok.. Thok!!!!....’’Dalam sekejab sendang itu penuh sesak oleh warga. Mereka saling bicara, berbisik bagai dengung lebah. Pagi itu Kampung Sangiran geger, sebab mayat perempuan yang terapung di sendang itu, adalah Ranti, gadis kembang desa yang selalu di incar oleh pemuda-pemuda kampung. Orang-orang jadi kebingungan, sebab tidak ada yang berani mengangkat mayat Ranti dari sendang. Pak Lurah yang sudah datang di tempat itu juga tidak bisa berbuat banyak. Setiap orang yang ia minta mengangkat mayat Ranti selalu menggeleng.‘’Sudah, aku yang mengangkat mayat Ranti!’’ Suara Darno, dengan nada tinggi. Suasana jadi sangat tegang, seluruh warga yang ada di tempat itu terdiam. Darno melangkah dan berdiri di pinggir sendang.‘’Dar, Kamu jangan macem-macem. Ranti itu sudah di butuhkan penunggu sendang. Kalau kamu mengangkatnya kampung ini akan terkena mala petaka.’’ Ucap Sastro dengan lantang. Seluruh penduduk meng-iya-kan dengan apa yang di katakan Sastro. Darno menoleh ke arah Sastro, warga kampung saling menatap bingung.Tiba-tiba Darno menjeburkan ke sendang, mengangkat mayat Ranti. Melihat itu seluruh penduduk Berhamburan, Yu Sempi dan Lik Warno meloncat masuk rumah mengunci pintu. Pak Lurah yang menunggu di pinggir sendang hanya mampu menggelengkan kepala.Malam setelah penguburan jenazah Ranti, kampung Sangiran seperti tak berpenghuni. Orang-orang takut keluar rumah, tapi hal itu tidak terjadi pada Darno. Ia justru berdiri di depan rumahnya, perasaannya meronta-ronta. Di kepalkan tangan kanannya lalu dihantamkan di pintu rumah.

‘’Praak!!’’Pintu itu pecah. Darno ambruk di depan pintu, menangis sesugukan, dan matanya merah, seperti menahan sesuatu dalam tubuhnya.

Lalu ia lari ke sendang dan berteriak sangat keras.‘’Aaaaaaaaa!!’’Teriakan Darno, membangunkan Lik Warno. Ia mengintip dari pintu yang sedikit di buka. Lik Warno heran melihat tingkah laku Darno.‘’Kenapa malam-malam Darno berteriak-teriak dan mencuci muka di sendang?’’ Lik Warno, berbicara dalam hati.


Belum habis rasa heran Lik Warno, ia cepat-cepat menutup pintu sebab Darno membalikkan badan melangkah pulang.Malam semakin larut. Suara burung malam mengicaukan kesunyian. Rembulan di sapu awan hitam. Darno masuk rumah, tak tak begitu lama ia keluar lagi melangkah meninggalkan rumah hilang di telan kegelapan malam.Siang itu Lik Warno, mengumpulkan beberapa tetangga dan di depan rumah, lalu menceritakan peristiwa yang ia lihat semalam.‘’Betul, Darno sudah gila. Tadi malam aku lihat sendiri. Ia berteriak-teriak dan tak begitu lama mencuci mukanya di sendang’’ Ucap Lik Warno, berapi-api.‘’Tapi aku yakin yang kamu lihat semalam itu, bukan Darno yang sebenarnya. Badannya memang Darno, tapi ruhnya penunggu sendang itu.’’ Jelas Sastro, sambil mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.‘’Wah, gawat ini. Kita harus membatalkan pemugaran sendang ini. Kalau di teruskan bisa jadi korbannya akan semakin banyak’’ Sahut Karto.‘’Betul!!, kita harus protes ke Pak Lurah. Kita tuntut Pak Lurah agar membatalkan pemugaran sendang Kali Angke. Teriak Jono, emosional.‘’Begini saja, sekarang kita ajak masyarakat ke kantor kelurahan’’ Ucap Lik Warno, bersemangat.‘’Ayo!!’’ Mereka bergerak mengumpulkan seluruh warga, untuk di ajak ke kantor kelurahan. Yu Sempi yang keluar rumah, melihat kepergian Lik Warno dan beberapa warga itu dengan perasaan was-was.Darno membuka pintu, melihat rombongan warga berjalan dan pergi ke kantor kelurahan.‘’Tidak ikut Yu? Tanya Darno.‘’Ndak’’ JawabYu Sempi, sambil masuk rumah karena takut.

Mata Darno, terus memandang tajam ke arah rumah Yu Sempi. Tiba-tiba mata Darno memerah. Perasaannya semakin gelisah seperti menahan sesuatu dalam tubuhnya. Darno memandang sekitar rumah yang sepi. Kemudian Darno berlari masuk rumah Yu Sempi dan menutup pintu dari dalam.‘’Mau apa kamu? Teriak Yu Sempi ketakutan.Darno tak lagi menggubris teriakan-teriakan Yu Sempi. Ia terus mendekap Yu Sempi, merobek baju dan membuka kain dengan paksa. Darno bagai srigala menemukan mangsa, memperkosa Yu Sempi dengan garang. Yu Sempi hanya mampu meronta dan menangis.Matahari menyebarkan cahaya panas. Warga Sangiran dengan marah menyeret Pak Lurah dan di gelandang di pendopo kelurahan.‘’Pokoknya kamu harus membatalkan pemugaran Sendang!!’’ Ucap Sastro sangat marah.‘’Betul!!!’’ suara Warga bergemuruh marah.‘’Saya tidak punya wewenang membatalkan, sebab itu program pemerintah Kota Praja’’ jawab Pak Lurah, ketakutan.‘’Ingat, kalau pemugaran sendang itu sampai tidak batal!!’’ Ancam Lik Warno.‘’Bunuh!!! Saja!!!’’ Sahut warga dengan garang.Baik... baik, saya akan laporkan ke Kota Praja’’ suara Pak Lurah, dengan gemetar.Darno membuka pintu rumah Yu Sempi, lalu memakai baju. Saat ia akan melangkah, Yu Sempi berteriak histeris sambil memukulkan botol di kepala Darno. Kepala dan muka Darno bersimbah darah. Tubuhnya sempoyongan, dan dengan kekuatan yang ada, Darno mendorong tubuh Yu Sempi hingga terpelanting jatuh. Darno terus menerkam Yu Sempi dan mencekik lehernya hingga mati. Tubuh Yu Sempi pelan-pelan di seret lalu dilempar ke sendang.‘’Maafkan aku Yu Sempi, aku tidak mampu menahan penyakitku ini’’ Darno menangis, kemudian pelan-pelan melangkah pergi dari kampung Sangiran.***Yogya, 2002.

2 komentar:

MerekeThengTheng mengatakan...

Joss...

MerekeThengTheng mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.